Dari lubuk hati saya menyatakan turut berduka cita atas berpulangnya Pak Tan 
Swie Ling.Bagi saya Almarhum Pak Tan Swie Ling adalah sosok seorang putra 
bangsa Indonesia berasal dari suku Tionghoa yang patut dijadikan teladan dalam 
perjuangan melawan penyidik rezim militer Suharto yang kebuasannya hanya bisa 
disamakan dengan kebuasan Geheime Staatspolizei (Gestapo) rezim Jerman Nazi.Dua 
buah buku yang ditulis oleh Almarhum -- "G30S 1965, PERANG DINGIN & 
KEHANCURANNASIONALISME" (2010) dan "MASA GELAP PANCASILA.Wajah Nasionalisme 
Indonesia" (2014)-- adalah termasuk buku buku kesayangan saya.Saya berharap 
semoga Keluarga dan handai tolan yang ditinggalkan Almarhum tabah menghadapi 
kedukaan ini.Pak Tan, beristirahatlah di tempat peristirahatan abadi Bapak nan 
sejuk dan damai.
Noroyono24/01/2019 

 

    Op woensdag 23 januari 3:27 2019 schreef "ChanCT sa...@netvigator.com 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> het volgende:
 

    

  BERITA DUKA Tan Swie Ling, pagi 06, 22 Januari 2019, telah meninggal dunia. 
Akan dikremasi tgl. 25 Januari 2019, pagi jam 07:30 berangkat dari Rumah Duka 
Harapan Kita. Tan Swie Ling ditahun 1964-1965 adalah wk. Ketua PPI, 
Permusyawaratan Pemuda Indonesia, organisasi PEMUDA nya BAPERKI. Setelah G30S 
meletup, salah satu tokoh utama PKI, Sudisman bersembunyi dirumah Tan, .... 
akhirnya diakhir tahun 1966 karena ada penghianatan, bersama-sama Sudisman 
ditangkap, ...
  
 https://tirto.id/mereka-yang-mengaku-dipaksa-teken-bap-bGZT 
     
Mereka yang Mengaku Dipaksa Teken BAP
                        
Tan Swi Ling penulis buku berjudul G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran 
Nasionalisme. [Foto/youtube.com]
    Oleh: Petrik Matanasi - 6 September 2016 Dibaca Normal 3 menit   Mereka tak 
kuat jalani siksaan akhirnya menandatangani BAP. Belakangan mereka mengaku 
dipaksa di pengadilan, meski pengakuan ini seringkali tak dihiraukan. tirto.id 
- Banyak proses hukum di negara ini yang sesungguhnya patut dikritisi. Salah 
satunya terkait pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Beberapa orang yang 
diperiksa mengaku mengalami siksaan sehingga terpaksa menandatangani BAP. Di 
pengadilan, baru mereka  buka-bukaan tentang pemaksaan tanda tangan BAP itu.
 
 Pengakuan semacam ini biasanya diacuhkan karena si tersangka dianggap sudah 
mengaku dengan tanda tangan di BAP yang sudah dianggap sah. Tersangka 
barangkali hanya dianggap berusaha meloloskan diri dari jerat hukum dengan 
mengaku dipaksa tanda tangan BAP. Ini  adalah praktik yang sudah berlangsung 
sejak lama. 
 
 Salah satu kasus lawas pemaksaan BAP yang terkenal adalah yang melibatkan 
anggota Politbiro PKI bernama Sudisman di tahun 1967. Sekretaris Sudisman yang 
dipaksa petugas untuk tanda tangan BAP memberikan pengakuan di pengadilan. Ada 
lagi kasus persidangan  Muhammad Siradjudin alias Pakde yang dituduh membunuh 
Ditje si peragawati cantik itu pada 1987. 
 
 Sidang Sudisman
 
 Tersebutlah seorang pemuda Tionghoa bernama Tan Swie Ling. Dua hal yang 
membuat dia tidak disukai Orde Baru adalah: Tionghoa dan sekretaris Sudisman si 
Anggota Politbiro PKI. Pemuda ini jadi saksi dalam sidang Sudisman. Hakim 
menanyainya soal pembangunan kembali  PKI. Pemuda itu menjawab, tidak mengerti. 
Hakim lalu menyuruhnya mendekat ke meja hakim. Hakim berkata, “coba lihat! Ini 
tanda tangan siapa?”
 
 “Tanda tangan saya, Pak,” jawab Tan dengan santai. Hakim lalu menyuruhnya 
duduk kembali untuk ditanyai lagi. Hakim lalu mengulang pertanyaan yang sama. 
Tan pun kembali tidak paham dengan pertanyaan hakim. Hakim lalu mendekat lagi 
ke meja dan bertanya, “ini tanda  tangan siapa?”
 
 “Tanda tangan saya, Pak,” jawab Tan lagi dengan santai juga. Hakim menyuruhnya 
duduk lagi. Tan diminta lagi menjawab pertanyaan yang dia tidak paham, soal 
pembangunan kembali PKI. Tan kembali mengakut tidak paham soal pertanyaan itu. 
Hakim naik pitam. 
 
 “Lihat sekali lagi! Ini tanda tangan siapa?”
 
 “Tanda tangan saya, Pak.”
 
 “Kembali ke tempatmu!” perintah hakim. Tan kembali duduk, seperti yang dimaui 
hakim. Sementara hakim mulai mengamuk sambil menggebrak meja. 
 
 “Kamu tahu ini tempat apa?”
 
 “Tahu, Pak Hakim.”
 
 “Tempat apa?”
  
 “Sidang Mahmilub.”
 
 “Apa itu Mahmilub?”
 
 “Mahkamah Militer Luar Biasa”
 
 “Jadi kamu tahu ini bukan tempat main-main, mengerti?”
 
 “Mengerti, Pak.”
 
 “Nah, sekarang jelaskan soal pembangunan kembali PKI,” ulang hakim.
 
 “Saya tidak mengerti pertanyaan Bapak Hakim.”
 
 “Bagaimana kamu terus-terusan menjawab pertanyaan hakim, kalau pertanyaan ini 
diambil dari keterangan di atas tanda tanganmu?” bentak hakim, namun si pemuda 
Tionghoa oitu tetap tenang. 
 
 “Kalau semua itu ada di atas tanda tangan saya, mohon Bapak Hakim 
membacakannya. Mudah-mudahan saya akan terpandu untuk bisa memberikan 
keterangan sesuai permintaan Bapak,” ucap Tan. “Bukan kamu yang memberi 
perintah di sini, melainkan kamu harus melaksakan  perintah menerangkan soal 
pembangunan kembali PKI!” bentak hakim dengan nada yang semakin keras.
 
 “Mohon maaf Bapak Hakim, saya tetap masih belum bisa mengerti pertanyaan 
Bapak.”
 
 “Bagaimana kamu terus bersikeras tidak mengerti, padahal yang ditanyakan 
diambil dari keterangan yang kamu tanda tangani?” bentak hakim yang makin panas.
 
 “Mohon maaf Bapak Hakim, kondisi saya semasa itu bisa membubuhkan tanda tangan 
dibawah keterangan apapun,” aku Tan. Maksud Tan dia terpaksa menandatangani 
keterangan itu dibawah tekanan dan terpaksa.
 
 “Apa?” teriak hakim. “Kamu mau mengatakan kalau kamu dalam keadaan terpaksa 
ketika membubuhkan tanda tanganmu?”
 
 “Benar Bapak Hakim,” jawab Tan tanpa ragu. Tan masih ingat adegan yang 
ditulisnya dalam memoarnya G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme 
(2010) itu. Tan tak lupa seorang pegawai sipil Hankam memakinya sebagai wirog 
kalen alias tikus got. 
 
 Ben Anderson, juga Yap Thiam Hien jadi penonton dalam sidang itu. Ben ingat, 
ketika Tan digiring ke panser untuk dipulangkan ke Rumah Tahanan Militer, 
aparat yang menjaganya justru angkat topi atas keberaniannya untuk jujur. 
Namun, Ben sangat khawatir pada nasib  Tan. Ben yang pencemas itu khawatir Tan 
akan dibunuh di penjara. Selama puluhan tahun masih sering memikirkan nasib 
Tan. Beruntunglah Ben, dia bertemu lagi Tan yang jadi sahabatnya itu di tahun 
1999. 
 
 Ketika proses persidangan Sudisman berlangsung, Ben selalu mengikuti bahkan 
hingga pembacaan vonis matinya. Menurut Ben, Sudisman yakin akan dihadiahi 
vonis mati. Apalagi, publik yang sayang pada orde baru tentu benci setengah 
mati pada hal berbau PKI,  termasuk Politbironya. Ben mengamati Sudisman dan 
para saksi yang merupakan anggota-anggota PKI dari kelas teri hingga kelas 
kakap. 
 
 “Mereka sudah betul-betul rusak mental dan badan akibat siksaan-siksaan paling 
sadis selama ditahan. Apa saja yang ditanya hakim, mereka bungkuk dan coba 
kasih jawaban persis dan klop dengan berita acara pemeriksaan yang telah mereka 
teken (tanda tangani)  habis disiksa,” tulis Ben dalam pengantar memoar Tan 
G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme (2010). 
 
 Menurut Ben Anderson, sidang terhadap Sudisman bersifat terbuka. Pengamat 
asing boleh menonton sidang tersebut. Sudah pasti karena tekanan dunia 
internasional terhadap Indonesia. Sudisman akhirnya dijatuhi hukuman mati 
seperti yang sudah dia duga.
 
  
 
 Tersiksa Karena BAP
 
 Kasus pemaksaan BAP lainnya yang cukup heboh adalah kasus pembunuhan 
pramugari, Ditje. Perempuan yang berprofesi sebagai pragawati itu, ditemukan 
tewas di sekitar Kalibata. Dokter Forensik Abdul Mun'im Idries yang menulis 
dalam Indonesia X File (), dia ikut  melakukan otopsi terhadap seorang 
perempuan cantik yang mengalami lima tembakan. Tak lama kemudian, penyelidikan 
polisi mengarah ke Muhammad Siradjudin aluas Pakde sebagai pembunuh perempuan 
bernama Ditje itu. Tak hanya Ditje, Pakde juga dituduh membunuh Endang Sukitri 
pemilik toko bangunan di Depok. Lengkap sudah derita Pakde sebagai tersangka 
lalu terpidana. 
 
 Dalam sidang, Pakde membantah juga tuduhan yang tertera dalam BAP. Pengakuan 
yang terpaksa diteken itu karena dia tidak tahan menghadapi siksa di kantor 
polisi. Alibi Pakde yang tak kalah penting adalah, ketika malam pembunuhan dia 
berada di rumah bersama  beberapa kawannya. Dalam pengadilan, saksi yang 
menguatkan bahwa Pakde di rumah pada malam itu sudah dihadirkan. Namun tak 
dihiraukan majelis hakim, tulis Mun'im Idries. 
 
 Ketua Majelis Hakim, Reni Retnowati pada 11 Juli 1987, menghadiahi Pakde vonis 
seumur hidup karena pembunuhan berencana. Pakde sempat mengajukan banding dan 
meminta kasasi selama menjalani masa penjara di Penjara Cipinang hingga tahun 
2000. Semua dosa harus  ditanggung Pakde, karena di belakang kasus tersebut ada 
nama-nama penting yang berkuasa di Republik Indonesia.
 
 Tak hanya Pakde yang mengaku dipaksa tanda tangan BAP. Pesohor macam Marcella 
Zalianty juga mengaku dipaksa tanda tangan dalam kasus penganiayaan pada 2009. 
Pemaksaan juga terjadi pada Antonius Malaru dan Yunus CS Nomleni sebagai saksi 
dalam pengadilan Hercules  Rosario Marshal tahun 2013. Dalam sidang kasus 
pelecehan seksual siswa Jakarta Internasional School, Virgiawan Amin, Zainal 
Abidin dan Syahrial juga mengaku dipaksa menandatangani BAP pada tahun 2014.
 
 Mendapatkan pengakuan untuk sebuah proses keadilan bagi korban memang penting. 
Namun, yang tak kalah penting adalah agar jangan sampai pengadilan mengadili 
orang yang tidak bersalah.   
 Baca juga artikel terkait atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
    (tirto.id - Hukum) 
 
 Reporter: Petrik Matanasi
 Penulis: Petrik Matanasi
 Editor: Nurul Qomariyah Pramisti        
 
|  | 不含病毒。www.avg.com  |

   #yiv1907605826 -- #yiv1907605826ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-mkp #yiv1907605826hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mkp #yiv1907605826ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mkp .yiv1907605826ad 
{padding:0 0;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mkp .yiv1907605826ad p 
{margin:0;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mkp .yiv1907605826ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-sponsor 
#yiv1907605826ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-sponsor #yiv1907605826ygrp-lc #yiv1907605826hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-sponsor #yiv1907605826ygrp-lc .yiv1907605826ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv1907605826 #yiv1907605826actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv1907605826
 #yiv1907605826activity span {font-weight:700;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv1907605826 #yiv1907605826activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv1907605826 #yiv1907605826activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv1907605826 #yiv1907605826activity span 
.yiv1907605826underline {text-decoration:underline;}#yiv1907605826 
.yiv1907605826attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv1907605826 .yiv1907605826attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv1907605826 .yiv1907605826attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv1907605826 .yiv1907605826attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv1907605826 .yiv1907605826attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv1907605826 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv1907605826 .yiv1907605826bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv1907605826 
.yiv1907605826bold a {text-decoration:none;}#yiv1907605826 dd.yiv1907605826last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv1907605826 dd.yiv1907605826last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv1907605826 
dd.yiv1907605826last p span.yiv1907605826yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv1907605826 div.yiv1907605826attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv1907605826 div.yiv1907605826attach-table 
{width:400px;}#yiv1907605826 div.yiv1907605826file-title a, #yiv1907605826 
div.yiv1907605826file-title a:active, #yiv1907605826 
div.yiv1907605826file-title a:hover, #yiv1907605826 div.yiv1907605826file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv1907605826 div.yiv1907605826photo-title a, 
#yiv1907605826 div.yiv1907605826photo-title a:active, #yiv1907605826 
div.yiv1907605826photo-title a:hover, #yiv1907605826 
div.yiv1907605826photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv1907605826 
div#yiv1907605826ygrp-mlmsg #yiv1907605826ygrp-msg p a 
span.yiv1907605826yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv1907605826 
.yiv1907605826green {color:#628c2a;}#yiv1907605826 .yiv1907605826MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv1907605826 o {font-size:0;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826photos div {float:left;width:72px;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv1907605826
 #yiv1907605826reco-category {font-size:77%;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826reco-desc {font-size:77%;}#yiv1907605826 .yiv1907605826replbq 
{margin:4px;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-mlmsg select, #yiv1907605826 input, #yiv1907605826 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-mlmsg pre, #yiv1907605826 code {font:115% 
monospace;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-mlmsg #yiv1907605826logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-msg 
p#yiv1907605826attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-reco #yiv1907605826reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-sponsor 
#yiv1907605826ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-sponsor #yiv1907605826ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-sponsor #yiv1907605826ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv1907605826 #yiv1907605826ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv1907605826 
#yiv1907605826ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv1907605826 

   

Kirim email ke