-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5058556/berharap-ultra-petita-dalam-kasus-novel-baswedan?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Berharap "Ultra Petita" dalam Kasus Novel Baswedan

Fachrurrozy Akmal - detikNews

Kamis, 18 Jun 2020 13:35 WIB

0 komentar
SHARE URL telah disalin
Ilustrasi Palu Hakim
Foto: Ari Saputra

Jakarta -

Pengadilan tertinggi bukanlah pengadilan keadilan, melainkan pengadilan hukum ~ 
Oliver Wondell Holmes

Dalam proses pengadilan, derap langkah hakim ke dalam ruang persidangan 
sejatinya turut membawa mission sacree (misi suci). Itulah sebabnya dalam 
undang-undang pokok kekuasaan kehakiman setiap putusan hakim wajib mencantumkan 
irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Menurut Bisma siregar, dalam putusan hakim irah-irah merupakan ruh sekaligus 
sumpah hakim bahwa segala putusan yang telah ia bacakan akan 
dipertanggungjawabkan pertama kali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kemudian 
kepada Negara. Dengan adanya irah-irah sebagai rumusan teologis di awal putusan 
diharapkan hakim tidak melakukan kesalahan dalam memutus perkara dan putusannya 
tidak meresahkan dan menjadi pergunjingan masyarakat umum.

Catat, irah-irah ini cukup sakral, sebab tanpanya putusan akan batal demi 
hukum. Zaman sudah semakin mudah dengan teknologi. Kemungkinan kelupaan 
meletakkan irah-irah di dalam putusan rasanya merupakan kasus yang sulit 
terjadi hari ini. Syukur hari ini hakim kita tidak ada yang berdalih, "Saya 
tidak sengaja melupakan irah-irah di putusan saya."

Seperti yang hari-hari ini ramai kita dengarkan tuntutan hukuman yang 
menyatakan penyiram air keras dalam kasus Novel Baswedan dituntut rendah karena 
"tidak sengaja" melukai mata, padahal berniat melukai badan dan memberi 
pelajaran kepada korban Novel Baswedan.

Hari-hari ini, masyarakat baik dari kalangan aktivis, praktisi, maupun 
akademisi hukum turut menyoroti dakwaan yang disusun oleh JPU dalam kasus Novel 
Baswedan. Pasalnya, kasus ini merupakan kasus yang telah menarik perhatian 
publik sejak tiga tahun terakhir dan hari ini dituntut dengan hukuman yang 
cukup ringan bagi tindak pidana yang mengakibatkan cacat permanen bagi korban.

Jika dakwaan telanjur dibacakan dalam persidangan, maka bola panas saat ini 
tentu berada di tangan majelis hakim yang mulia. Menyoal majelis hakim sebagai 
pejabat negara yang memegang penuh kekuasaan memeriksa dan mengadili perkara 
dalam kasus ini, kita akan teringat pesan Presiden Jokowi tentang kepercayaan 
publik terhadap penegakan hukum:

"Tumbuhnya kepercayaan pada peradilan adalah bagian dasar dari tumbuhnya 
kepercayaan pada hukum. Untuk itu, pengawasan hakim perlu diperketat. Kualitas 
hakim juga perlu ditingkatkan."

Kepercayaan Publik

Data dari Komisi Yudisial, Juli 2019 menjelaskan tingkat kepercayaan publik 
dari tahun 2017 hingga 2018 turut mengalami kenaikan. Berdasarkan survei, pada 
2017 kepercayaan publik kepada hakim berada pada angka 7,3 dan naik secara 
signifikan pada 2018 hingga 8,1 yang artinya tergolong dipercaya. Dari data ini 
tentu kita menaruh harapan lebih penegakan hukum dalam kasus Novel Baswedan 
berjalan seiring dengan rasa keadilan korban dan masyarakat luas.

Dakwaan JPU yang terasa ganjil dan mengganjal tentu menjadi benang kusut yang 
harus di urai saat ini. Kasus Novel Baswedan bukanlah kejahatan jalanan biasa 
yang terjadi karena spontan dan adanya kesempatan. Tetapi kejahatan ini 
merupakan tindakan yang telah direncanakan. Sebab, mens rea-nya (niatan) untuk 
menimbulkan penderitaan dengan menyiram air keras kepada korban sudah 
terpenuhi. Terbukti, pelaku memiliki persiapan sebelumnya bersama rekannya.

Actus rea-nya (tindakan) jangan ditanya, tindakannya telah terlaksana bahkan 
bisa dikatakan sukses membuat korban cacat permanen. Sementara hari ini kita 
menyaksikan JPU mengabaikan dakwaan primer dengan dalih "ketidaksengajaan" 
pelaku menyiram air keras ke mata Novel hingga "sebaiknya" hanya dihukum 1 
tahun penjara.

Persepsi publik, kejahatan yang dialami oleh Novel Baswedan sebagai penyidik 
KPK diduga kuat berkaitan dengan tugasnya sebagai penyidik KPK yang menangani 
kasus-kasus mega royek korupsi pejabat publik. Selain itu, dalam konteks 
pengadilan kasus novel kebenaran materill cenderung tidak tersaji secara 
komprehensif. Dalam dakwaan JPU, kita tidak menemukan fakta atau informasi 
tentang aktor intelektual yang (mungkin saja) sebagai dalang di balik tindak 
pidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Padahal, ini bisa saja menjadi objek galian di dalam persidangan untuk 
menemukan fakta materiil baik melalui bukti maupun keterangan saksi. Selain 
itu, kaburnya fakta tentang air keras yang digunakan pelaku untuk penyiraman 
bertentangan dengan temuan Komnas HAM, 21 Desember 2018. Jika seperti ini, 
tentu harapan publik dan korban yang terakhir sepenuhnya bersandar pada putusan 
hakim yang memeriksa perkara ini.

Harapan

Mengharapkan ultra petita (putusan hakim yang melebihi tuntutan) mungkin 
menjadi satu dari sekian banyak harapan atas kasus ini. Prinsip kebebasan hakim 
yang ada di dalam Pasal 24 UUD 1945 dan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 
Kehakiman dapat menjadi dasar penting untuk membaca kemungkinan ultra petita 
dapat terjadi dalam kasus Novel Baswedan ini.

Dalam tinjauan normatif tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mewajibkan 
hakim memutus perkara sesuai dengan tuntutan Jaksa. Hakim memiliki kebebasan 
dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya; 
bisa lebih tinggi, bisa juga lebih rendah dari apa yang dituntut.

Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan 
ultra petita dengan batasan tertentu seperti tidak melebihi dari ancaman 
maksimum yang didakwakan dan harus memuat pertimbangan dan dasar yang kuat. 
Selain kemerdekaan hakim, kita tentu ingat dalam UU Kekuasaan Kehakiman, hakim 
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan 
yang hidup dalam masyarakat.

Frasa "wajib" menggali rasa keadilan di tengah masyarakat tentu merupakan hal 
yang sebaiknya dilihat kembali oleh hakim dalam kacamata penegakan hukum yang 
komprehensif. kita bisa membayangkan jika simulasinya seperti ini, vonis yang 
dijatuhkan pada Juni 2020 ini adalah 1 tahun penjara, maka terdakwa yang 
ditahan sejak 26 Desember 2019 sudah berhak diusulkan remisi pada 17 Agustus 
2020 dan bisa mendapatkan 1 bulan remisi.

Kemudian, jangan lupa program asimilasi rumah dengan syarat terpidana telah 
menjalani setengah masa pidana dan dua per tiga masa pidananya tidak lewat dari 
31 Desember 2020 dan pelaku merupakan kriminal umum, jika memenuhi syarat 
administratif dan substantif, maka pelaku bisa langsung melaksanakan asimilasi 
rumah.

Hal ini mungkin luput oleh kita, namun sangat mungkin terjadi dalam praktik 
pemidanaan di Indonesia. Lantas jika seperti itu, apakah terlalu mahal jika 
masyarakat dan korban mengharapkan putusan ultra petita dari majelis hakim, 
mengingat ada kewajiban menggali rasa keadilan di tengah masyarakat yang harus 
ditunaikan oleh majelis hakim yang mulia?

Fachrurrozy Akmal, S.H Ketua Dewan Pembina SIMPOSIUM (Serikat Mahasiswa 
Penggiat Konstitusi dan Hukum) Sulawesi Selatan, penggiat literasi hukum dari 
perpustakaan rakyat Simposium di Kab Gowa

(mmu/mmu)
kasus novel baswedan
novel baswedan






Kirim email ke