Bersua HRS, Bumerang Bagi Anies?J61 - Friday, November 13, 2020 17:15
https://www.pinterpolitik.com/bersua-hrs-bumerang-bagi-anies
 
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. (Foto: spf.org)
7 min read

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menjadi sosok elite pemerintahan pertama 
yang mengunjungi Habib Rizieq Shihab pasca kepulangannya dari Arab Saudi.. 
Lantas, apakah langkah tersebut menguntungkan secara politik baginya atau 
justru sebaliknya?

--------------------------------------------------------------------------------

PinterPolitik.com

Menjadi yang pertama seringkali bermakna istimewa dalam konteks apapun. 
Keistimewaan itu yang kemungkinan besar ingin diimpresikan oleh Gubernur DKI 
Jakarta Anies Baswedan, ketika pada Selasa malam lalu mengunjungi Habib Rizieq 
Shihab (HRS).

Bagaimana tidak, siang hari itu Habib Rizieq baru saja touchdown di tanah air 
pasca menetap di Arab Saudi sejak April 2017. Dan malam harinya, Anies menjadi 
pejabat pemerintah pertama yang gercep berkunjung ke kediaman HRS di Petamburan.

Pertemuan itu sendiri disebut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis 
Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain (Tengku Zul) – yang tak sengaja 
kebetulan datang bersamaan dengan Anies – sama sekali tidak membicarakan 
politik.

Ya, dalam unggahan foto Tengku Zul di instagram, Anies yang mengenakan jas 
hitam memang tampak terlibat dalam interaksi hangat dalam sebuah jamuan teh 
oleh HRS yang didampingi menantunya, Hanif Al-Athos.

Akan tetapi pernyataan Wasekjen MUI itu tak lantas meredam reaksi beragam dari 
berbagai kalangan. Politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno misalnya, 
mengatakan ada kemungkinan pertemuan itu merupakan penjajakan menuju 
Pileg-Pilpres mendatang.

Sementara politisi kawakan PKS yang juga anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali 
Sera, menyebut langkah eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu 
merupakan contoh yang baik dari pemimpin yang menghormati ulama.

Mardani kemudian berspekulasi bahwa dalam pertemuan tersebut semua kemungkinan 
pembicaraan ada, akan tetapi jika mengenai konteks Pilpres Ia menyebut masih 
cukup lama dan sangat dinamis.


Kemudian hal berbeda yang juga menjadi perhatian substansial sesungguhnya 
datang dari anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Ima Mahdiah. Dirinya menyebut bahwa 
Anies sebagai Gubernur menunjukkan sikap abai terhadap protokol kesehatan di 
tengah pandemi Covid-19.

Ima menganggap bahwa HRS yang seharusnya menjalani isolasi dan tidak 
dikunjungi, membuat preseden buruk seolah terpampang dari kunjungan Anies 
tersebut.

PDIP bahkan meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi Anies 
karena dinilai telah melanggar Perda wilayahnya sendiri tentang penanggulangan 
covid plus Surat Edaran (SE) Satgas COVID-19 Nasional.

Anies tentu bukan tidak memahami sorotan dari kubu PDIP tersebut, yang secara 
otomatis juga menimbulkan pertanyaan tersendiri perihal mengapa dirinya tetap 
melakukan langkah tersebut, yang bahkan membuat torehan tersendiri sebagai 
pejabat pemerintah pertama yang berkunjung?



Penetrasi Simbolis Awal?
Interaksi simbolik tampaknya dapat menjadi salah satu perspektif yang tepat 
untuk memaknai langkah atau manuver Anies dibalik sowannya ke Petamburan. Teori 
interaksi simbolik sendiri merupakan perspektif interaksional dan pertama kali 
dikemukakan oleh sosiolog sekaligus filsuf asal Amerika Serikat, George Herbert 
Mead.

Elvinaro Ardianto dan Bambang Anees dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu 
Komunikasi, menyebut interaksi simbolik dalam perspektif interaksional 
menganggap bahwa setiap individu memiliki esensi kultural atau kebudayaan dalam 
berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya akan menghasilkan makna tertentu.

Secara aplikatif khususnya dalam konteks politik, Graeme Gill dalam Symbolism 
and Politics menyebut bahwa untuk dapat berhasil mencapai makna dan tujuannya, 
simbol-simbol yang ada harus dapat beresonansi dengan perspektif masyarakat.

Bagi penguasa, simbol itu harus dapat selaras dengan dasar intelektual dan 
emosional masyarakat serta diarahkan untuk mendapatkan dukungan bagi rezim, 
plus, menjadi elemen kunci bagi proses politik yang berkelanjutan.

Sementara bagi oposisi, keselarasan tersebut diimplementasikan dan berlaku 
sebaliknya, yakni sebagai upaya untuk menentang status quo politik yang ada..

Ihwal ini yang juga menjadi simpulan awal dari Refly Harun atas kunjungan 
gercep Anies dengan Habib Rizieq selasa lalu. Refly menyebut bahwa pembahasan 
dalam pertemuan awal tersebut sesungguhnya tak terlampau penting dibanding 
pesan simbolik yang berusaha diejawantahkan.

Signifikansinya tentu terkait ketokohan vital Habib Rizieq, yang oleh Direktur 
Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, disebut merupakan 
keistimewaan tersendiri.


Menurutnya, ketika ada tokoh publik seperti ulama maupun habaib yang 
pengikutnya banyak dan menjadi idola, biasanya banyak politisi yang cenderung 
ingin mengidentifikasikan dirinya dekat atau menjadi bagian dari tokoh itu.

Kendatipun dikatakan Tengku Zul tak membicarakan politik dalam pertemuannya, 
Anies memang mungkin saja berusaha menunjukkan simbol yang signifikan bahwa 
secara dasar intelektual dan emosional memiliki esensi yang lebih terhadap 
Habib Rizieq.

Terlebih secara momentum Anies menjadi pejabat pemerintah dan tokoh politik 
pertama yang menyambangi kediaman Habib Rizieq.

Dan meski saat ini Anies di DKI adalah penguasa, pada konteks nasional dan 
secara umum tak bisa dipungkiri bahwa eks Mendikbud tersebut acapkali tercermin 
sebagai oposisi. Terbukti dari kritik kepadanya selama ini yang datang dari 
kubu politik arus utama, bahkan yang datang dari level nasional.

Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon juga pernah berujar mengapa pemerintah 
pusat alias Istana seperti menempatkan dirinya sebagai oposisi Anies.

Variabel lainnya tentu tak bisa dilepaskan dari dinamika politik saat Pilkada 
DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Kala itu, Anies juga pernah menyambangi markas 
Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan sebagai bagian dari kampanyenya dan 
tampak cukup hangat dengan HRS.

Dengan kata lain, Anies bisa saja ingin menyimbolkan bahwa secara politik 
dirinya “tak sendiri”, mengingat HRS notabene jamak diidentifikasikan juga 
kerap berseberangan dengan pemerintah.

Selain itu, romansa pertemuan di Petamburan juga kemungkinan dapat bermanfaat 
sebagai deposit tersendiri bagi Anies andai kata dirinya akan maju pada 
kontestasi elektoral, baik Pilkada DKI Jakarta 2022 ataupun Pilpres 2024. 
Artinya, makna simbolik bernuansa politis mendalam agaknya memang tampak dari 
inisiatif Anies yang sowan kepada Habib Rizieq pada Selasa lalu.



Langsung Diuji
Kendati hubungan Anies-HRS tampak cukup menjanjikan, relasi keduanya tampak 
langsung mendapat tantangan. Ya, tak lain dari agenda reuni akbar 212 yang 
mengemuka sepulang Habib Rizieq dari Arab Saudi dan akan mengambil tempat di 
Monumen Nasional atau Monas, Jakarta Pusat.

Persoalan tak lepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga membaik serta 
adanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta yang 
merupakan produk regulasi sang Gubernur.


Hal ini tentu akan menjadi ganjalan bagi Anies jika mengizinkan pelaksanaan 
reuni itu. Utamanya dari publik yang tak terwakili oleh segmen tersebut, hingga 
kubu politik yang berlawanan dengan Anies, yang dapat dipastikan akan 
membombardir dirinya dengan kritik tajam.

Oleh karenanya, akan menjadi pertanyaan sendiri apakah restu acara tersebut 
akan menjadi langkah politik dilematis bagi Anies?

Namun jawabannya mungkin saja tidak. Makna dari langkah kunjungan Anies kepada 
HRS yang telah dijelaskan sebelumnya, tampaknya telah dapat memberikan sedikit 
jawaban atas keputusan DKI-1 kelak.

Michael J. Steudeman dalam Entelechy and Irony in Political Time: The 
Preemptive Rhetoric menjabarkan konsep politik preemptive sebagai manuver untuk 
mendisrupsi situasi politik yang ada.

Politik preemptive terjadi ketika para aktor berdialektika pada momen yang 
lebih awal, untuk menciptakan nada yang paling bergema bagi komitmen politik 
dan ideologis mereka.

Mengacu pada postulat Steudeman itu, inisiatif kunjungan Anies ke Petamburan 
tampaknya memberikan gambaran manuver preemptive “yang menentukan” dari 
kemungkinan bahwa dirinya akan tetap mengizinkan acara tersebut terselenggara. 
Balai Kota sendiri telah mengonfirmasi bahwa acara reuni 212 itu tinggal 
bergantung pada Pergub Anies soal PSBB mendatang.

Jika itu terjadi, potensi efek bumerang dinilai memang akan dialami Anies, 
terutama atas kritik dan preseden kontraproduktif dari para lawan politiknya, 
maupun dari kalangan masyarakat yang tak sepenuhnya sependapat dengan tetap 
dilangsungkannya acara tersebut.

Belum lagi ketika mengacu pada hubungan antara pemerintah pusat dan Anies yang 
kadang kala dianggap fluktuatif. Jika pemberian izin itu akhirnya diberikan, 
bukan tidak mungkin pusat akan menganggap Anies mengabaikan persoalan pandemi 
demi kepentingan politik.

Bagaimanapun, pada akhirnya publik secara umum tentu menginginkan kebijakan 
yang mengutamakan kepentingan bersama. Keputusan yang hanya relevan bagi 
sebagian kalangan tetapi berpotensi sebalikanya bagi kalangan yang lebih luas, 
dinilai akan menjadi preseden politik yang justru kurang positif.

Oleh karenanya, berbagai langkah Anies ke depannya dalam menyikapi kembalinya 
HRS kemungkinan akan cukup menentukan atmosfer sosial politik yang ada. Menarik 
untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Kirim email ke