-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1963-biarkan-anak-belajar-berpolitik



Jumat 16 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Biarkan Anak Belajar Berpolitik 

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | Editorial 

  Biarkan Anak Belajar Berpolitik MI/Ebet Usman Kansong Dewan Redaksi Media 
Group. BERUNJUK rasa merupakan ekspresi politik dalam koridor kebebasan 
menyatakan pendapat. Konstitusi tidak membatasi orang dewasa saja yang bebas 
menyatakan pendapat. Oleh karena itu, semestinya anak tidak perlu dilarang 
berunjuk rasa. Hak anak berunjuk rasa dan berpolitik malah selayaknya 
dilindungi. Sejarah mencatat anak Indonesia telah terjun ke politik paling 
tidak sejak masa kemerdekaan. Ketika itu barisan pemuda yang berhimpun dalam 
unit bernama Bo-ei Teisintai menduduki stasiun radio dan kantor polisi. Mereka 
melakukan itu karena geram dengan para elite yang dinilai terlalu lamban 
bergerak. Bo-ei Teisintai beranggotakan para pelajar SMP. Yang mesti dihindari 
ialah penyalahgunaan anak-anak dalam kegiatan politik. Undang-Undang Nomor 34 
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 15a menyatakan setiap anak berhak 
mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Itu artinya 
yang haram ialah menyalahgunakan anak dalam kegiatan politik. Bila anak 
berpolitik tidak untuk disalahgunakan, itu halal. Kalau anak ikut dalam 
kampanye politik tidak dalam konteks disalahgunakan, itu tak mengapa. Jika anak 
berunjuk rasa tidak untuk disalahgunakan, itu tak melanggar undang-undang. Kita 
mempersoalkan anak-anak atau pelajar yang berunjuk rasa menentang Omnibus Law 
Cipta Kerja baru-baru ini. Pun, kita mempersoalkan anak-anak dan pelajar yang 
berunjuk rasa menentang revisi Undang-Undang KPK akhir tahun lalu. Kita 
sesungguhnya tidak mempersoalkan atau melarang anak berunjuk rasa. Kita kiranya 
mempersoalkan penyalahgunaan anak-anak dalam kegiatan unjuk rasa. Anak-anak 
yang ditangkap polisi saat unjuk rasa menentang Undang-Undang Cipta Kerja 
mengaku mereka dimobilisasi untuk berunjuk rasa. Mereka bahkan mengaku mendapat 
bayaran untuk berunjuk rasa. Lebih celaka lagi, ada indikasi anak-anak 
disalahgunakan dalam unjuk rasa itu untuk bertindak anarkistis, misalnya 
melempari polisi dengan batu atau bom molotov serta merusak fasilitas publik. 
Itu bukannya melindungi, melainkan menjerumuskan anak dalam kegiatan politik 
anarkistis. Ini terang benderang melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. 
Pelaku penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik anarkistis itu semestinya 
diproses secara hukum. Pelibatan anak dalam unjuk rasa yang mengandung 
kekerasan juga melanggar undang-undang. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 
tentang Perlindungan Anak Pasal 15d menyebutkan setiap anak berhak memperoleh 
perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. 
Dalam konteks inilah, kita juga mengecam pelibatan anak dalam kegiatan 
terorisme. Kita tidak boleh melarang anak berunjuk rasa atau terjun dalam 
kegiatan politik sejauh tidak ada penyalahgunaan di dalamnya. Gebyah uyah 
melarang anak berunjuk rasa atau berpolitik justru menjauhkan anak dari 
politik. Apalagi, melarang anak berpolitik kiranya lebih didasari pada 
imajinasi politik itu pasti kotor. Pada 1916 Sarekat Islam menyelenggarakan 
kongres pertamanya di alun-alun Kota Bandung. Seluruh lapisan masyarakat 
berpartisipasi, termasuk pelajar. Dengan mengikuti perhelatan Kongres Sarekat 
Islam itu, pelajar ikut berpolitik, setidaknya belajar politik. HOS 
Tjokroaminoto pada kongres itu berpidato, “Semakin lama, semakin tambah 
kesadaran orang, baikpun di Nederland maupun di Hindia, bahwa pemerintahan 
sendiri adalah perlu. Lebih lama lebih dirasakan, bahwa tidak patut lagi Hindia 
diperintah oleh Nederland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya. Tidak 
patut lagi untuk memandang Hindia sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat 
makan karena susunya; tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai 
tempat untuk didatangi dengan maksud mencari untung, dan sekarang juga sudah 
tidak patut lagi, bahwa penduduknya, terutama putera-buminya, tidak punya hak 
untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan, yang mengatur nasibnya….” Soekarno 
semasa pelajar tinggal di rumah Tjokroaminoto. Soekarno tentu kerap mengikuti 
kegiatan politik Tjokroaminoto. Tjokroaminoto pasti tidak menyalahgunakan 
Soekarno dalam kegiatan politiknya. Soekarno belajar politik dari 
Tjokroaminoto. ‘Dialah orang yang mengubah seluruh kehidupan saya…’. tulis 
Soekarno dalam autobiografi nya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. “Cerminku 
adalah Tjokroaminoto. Aku memperhatikannya menjatuhkan suaranya. Aku melihat 
gerak tangannya dan kupergunakan penglihatan ini pada pidatoku sendiri.” 
Mengizinkan anak terlibat dalam kegiatan politik yang tanpa ada unsur 
penyalahgunaan di dalamnya merupakan pendidikan politik. Serupa Soekarno, anak 
bisa belajar kepemimpinan, berani menyatakan pendapat, kritis, peduli, bekerja 
sama, jujur, adil, dan bertanggung jawab.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1963-biarkan-anak-belajar-berpolitik






Kirim email ke