Resesi selalu mengancam kehidupan kaum lapisan masyarakat kelas rendah,
tetapi yang berkelas atas seperti  kaum neo-Mojopahit di negeri harga mati
NKRI tidak akan terganggu sebab selama ini mereka telah mengumpulkan harta
yang menjamin kehidupan keluarga mereka dan anak cucusecara turun
temurun.Jadi bahtera mereka tak tergoyang oleh topan resesi, begitula
kurang lehib ceritanya, kata seorang ahli nujum.



https://sp.beritasatu.com/ekonomi/cikini-studi-resesi-ekonomi-mengancam-indonesia/580421/



*Cikini Studi: Resesi Ekonomi Mengancam Indonesia*
------------------------------
*Suara Pembaruan*
<https://sp.beritasatu.com/ekonomi/cikini-studi-resesi-ekonomi-mengancam-indonesia/580421/#>

Kamis, 17 Oktober 2019 – 15:46
<https://sp.beritasatu.com/ekonomi/cikini-studi-resesi-ekonomi-mengancam-indonesia/580421/#>

*Jakarta, Beritasatu.com* - Ekonomi Indonesia ke depan berada dalam kondisi
waspada. Bahkan, resesi ekonomi mengancam Indonesia, jika tidak ada
perubahan signifikan pada kondisi makro ekonomi saat ini.

Demikian dikatakan peneliti Cikini Studi, Teddy Mihelda Yamin di Jakarta,
Kamis (17/10/2019).

Dikatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini kalah dibandingkan dengan
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia
berada di kisaran 5 %. Sedangkan, ekonomi Kamboja tumbuh 7% di 2019,
Myanmar dan Vietnam tumbuh 6,6%. Sementara itu, ekonomi Laos diprediksi
tumbuh 6,5% dan Filipina 5,8%.

Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh 5% ini, lebih
kecil dibanding prediksi April lalu, yakni 5,1%. Karena itu, walaupun makro
ekonomi yang kuat telah menopang pertumbuhan namun investasi malah
melambat. “Defisit transaksi berjalan tetap besar karena pertumbuhan ekspor
juga melambat,” kata Teddy.

Teddy mengatakan, walau permintaan domestik kuat, namun ketegangan
perdagangan internasional AS dan Tiongkok tetap menjadi tantangan.
Volatilitas keuangan global bakal membawa risiko besar bagi Indonesia.

“Terus bagaimana kondisi ekonomi pemerintahan Jokowi ke depan? Kalau
dicermati kondisi ekonomi pemerintahan Jokowi, sumber pembiayaan
pembangunan mengandalkan pajak dan pinjaman dari berbagai sumber. Sayangnya
dari kedua ini tidak mampu mendongkrak produksi dalam negeri dan
meningkatkan ekspor. Sehingga *current account deficit* (CAD) semakin
dalam. Artinya impor lebih besar dari ekspor, dan konsekuensinya ditutupi
dengan utang,” kata Teddy, yang mendalami ekonomi di Nottingham University,
Inggris.

Teddy mengingatkan bahwa utang negara saat ini sudah di atas Rp 5.000
triliun. Pertanyaannya, jika keberlangsungan hidup bangsa ini tergantung
utang, bagaimana jika utang semakin besar? Apakah masih ada negara atau
lembaga keuangan internasional yang mau memberi utang baru lagi bagi
Indonesia?

“Masalah lebih besar akan muncul jika negara-negara atau lembaga keuangan
internasional enggan memberikan kita utang baru, maka ini yang disebut
ekonomi kita tidak jalan. Pada saat yang sama, karena ekonomi tidak jalan
maka dunia usaha juga akan mengalami kemandekan. Bila dunia usaha mengalami
stagnasi, maka dipastikan akan terjadi periode kebangkrutan,” kata Teddy.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Besar kemungkinan target penerimaan
pajak juga tidak akan tercapai. Jika kedua sumber pembiayaan ini tidak
dapat diandalkan lagi maka dalam teori ekonomi dikatakan Indonesia memasuki
periode resesi ekonomi. “Ini menyakitkan dan membuat bangsa ini akan
didikte oleh negara atau lembaga-lembaga kreditur. Maka sejarah 1998 akan
berulang, bahkan bisa lebih ‘pahit lagi’,” tandas Teddy.

Ia menegaskan, analisis ini murni berdasarkan pendekatan ilmu ekonomi
makro, bukan berdasarkan sentimen.

“Seandainya ada negara mau memberikan utang lagi maka bisa jadi bunganya
pasti lebih tinggi, jika bunganya tinggi dan muncul keragu-raguan untuk
memberikan pinjaman baru tersebut kepada Indonesia (dengan pertimbangan
apakah Indonesia mampu mengembalikan angsuran plus bunga, dengan kondisi
ekonomi yang tidak menentu ini), selesai kita,” ujar Teddy.

Sayang masyarakat belum tahu bagaimana *road map* pengelolaan ekonomi makro
pemerintahan Jokowi ke depan. “Yang pasti kita tidak ingin mengelola
ekonomi makro seperti melakukan pemindahan ibu kota, mengambil keputusan
dulu baru melakukan studi kelayakan. Ini model kajian yang sangat keliru
dan menyalahi prosedur akademis,” katanya mengingatkan.

Ia mengatakan, ada peluang penerimaan pendapatan dari luar negeri jika
harga komoditi ekspor Indonesia akan mengalami kenaikan. Namun,
sumbangannya kurang berarti untuk meningkatkan penerimaan negara karena
basis pembiayaan ekonomi Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada
pajak dan utang.

Dikatakan, investasi yang diharapkan dapat menggerakkan roda perkonomin
nasional, terutama menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi dalam
negeri, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat, ternyata tidak
berjalan dengan baik. Karena investasinya bukan di bidang industri
manufaktur yang segera menghasilkan produk yang berorentasi ekspor, tapi
investasi di bidang infrastruktur yang tidak memberi dampak signifikan
langsung kepada peningkatan ekspor dalam mendukung penerimaan pendapatan
nasional, papar Teddy.

Sementara itu, dosen Fisip Universitas Sumatera Utara (USU), Iskandar
Zulkarnain menyatakan, problem ekonomi dengan merosotnya pertumbuhan, dapat
berimbas pada politik.

“Angkatan kerja yang terus bertumbuh, bila tidak ditopang dengan peluang
pekerjaan baru secara massal, bisa berbahaya. Bisa terjadi trap yang
menggoncang situasi krisis dan berimplifikasi pada krisis kepercayaan
internasional dan politik dalam negeri,” kata Iskandar yang juga peneliti
Cikini Studi.

Untuk itu, pemerintah yang lagi berkuasa diingatkan untuk membereskan
perekonomian dan pertumbuhan sektor ritel. “Masyarakat bawah masih butuh
makan. Butuh dana dari hari ke hari untuk perutnya. Hentikan proyek
mercusuar yang return ekonominya jangka panjang,” kata Iskandar.

Kirim email ke