-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1967-demokrasi-deliberatif



 Rabu 21 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Demokrasi Deliberatif 

Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group | Editorial 

  Demokrasi Deliberatif Dok.MI/Ebet Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group . 
ADA nasihat bijak dari Sayidina Ali bin Abi Thalib untuk para pemimpin politik. 
Kata Sayidina Ali, "Tanamkanlah kasih sayang di hatimu terhadap rakyatmu. 
Janganlah sekali-kali engkau menjadikan dirimu seperti binatang buas, lalu 
engkau menjadikan rakyatmu sendiri sebagai mangsamu." Hari-hari ini, sebagian 
rakyat yang marah menyamakan para pemimpin politik di negeri ini bak binatang 
buas. Mereka yang menolak lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja menuding 
pemerintah dan anggota DPR sedang 'mengasah taring' untuk 'memangsa' buruh 
lewat UU sapu jagat tersebut. Sebaliknya, berkali-kali pemerintah, juga DPR, 
meyakinkan publik bahwa UU Cipta Kerja justru merupakan bentuk welas asih atau 
rasa kasih sayang para pemimpin terhadap rakyatnya. UU tersebut, dalam versi 
pemerintah dan DPR, diniatkan secara tulus demi melindungi yang lemah, memberi 
kepastian bagi dunia usaha, serta menyediakan lapangan kerja secara lebih luas 
untuk puluhan juta pencari kerja. Lalu, mana yang benar dari dua pandangan yang 
bertolak belakang secara diametral tersebut? Jawabannya akan diketahui kalau 
semuanya mau menanggalkan egoisme dan mengendurkan urat leher masing-masing. 
Mari kita berdialog dalam pikiran jernih, sikap terbuka, saling respek, serta 
beradu argumentasi berlandaskan akal sehat. Pemerintah telah menawarkan jalan 
dialog tersebut. Akhir pekan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko telah 
menggaransi bahwa aspirasi publik terkait UU Cipta Kerja masih terbuka untuk 
diakomodasi melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Setidaknya, 
kata mantan Panglima TNI itu, akan ada 35 peraturan pemerintah dan 5 peraturan 
presiden yang disiapkan sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja. Kementerian 
Ketenagakerjaan juga masih memberikan kesempatan dan akses kepada para pekerja 
dan buruh untuk ikut memikirkan bagaimana mereka menanggapi isi UU Cipta Kerja. 
"UU Cipta Kerja ini merupakan sarana untuk mengangkat martabat bangsa dalam 
kompetisi global. Tenaga kerja kita, buruh, petani, dan nelayan tidak boleh 
kalah dalam persaingan. Berlakunya undang-undang ini akan menandai berakhirnya 
masa kemarau bahagia," kata Moeldoko sebagaimana ditulis oleh harian ini, Media 
Indonesia, Minggu (18/10). Moeldoko lalu memaparkan apa yang ia maksud sebagai 
'mengakhiri kemarau bahagia' itu. Ia mencontohkan satu hal, dari sisi logistik. 
Katanya, Indonesia masih menjadi negara dengan biaya logistik paling mahal, 
yakni 24% dari produk domestik bruto (PDB). Hal itu membuat Indonesia kalah 
bersaing jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Sebut saja Vietnam 
dengan biaya logistik 20%, Thailand 15%, Malaysia 13%, bahkan Jepang dan 
Singapura biaya logistiknya hanya 8%. Moeldoko menyatakan bahwa UU Cipta Kerja 
akan memangkas ekonomi biaya tinggi seperti itu. Rantai perizinan yang panjang 
akan dipotong sehingga menutup peluang korupsi. ''Akibatnya, UU Cipta Kerja 
membuat banyak pihak kursinya panas karena kehilangan kesempatan.'' Ajakan dan 
penjelasan Moeldoko mestinya dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh untuk 
mengatasi pokok masalah dalam menafsir UU Cipta Kerja. Pokok masalah itu ialah 
kesenjangan bahasa. Para pemimpin politik selama ini dipersepsi cuma menguasai 
bahasa politik dan bahasa ekonomi. Bahasa politik selalu bertanya, siapa yang 
menang (who is winning). Bahasa ekonomi selalu bertanya, di mana untungnya 
(where is the bottom line). Jika para pemimpin ingin beradab dalam politik, 
mereka harus menguasai satu bahasa lagi, yakni bahasa hikmah-kebijaksanaan yang 
isinya mempertanyakan apa yang benar (what is right). Sebaliknya, di sebagian 
kalangan penolak UU Cipta Kerja muncul bahasa 'yang penting harus ditolak'. 
Makin runyam keadaannya saat dibumbui hasutan disinformasi bernuansa ajakan 
melanggengkan pembelahan sikap. Di lapangan, itu mewujud dalam bahasa geram dan 
anarki. Padahal, sejatinya kita punya modal sosial kebajikan moral, yakni 
musyawarah untuk meraih permufakatan. Dalam pandangan filsuf dan sosiolog asal 
Jerman, Jurgen Habermas, musyawarah untuk konsensus itu disebut dengan 
demokrasi deliberatif. Dalam model demokrasi deliberatif, suatu keputusan 
politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, 
harus didasarkan pada fakta, bukan hanya berbasiskan subjektivitas ideologis 
dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi 
kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, 
bukan demi kepentingan jangka pendek yang bersifat kompromistis. Keempat, 
bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak 
(termasuk minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif. Dalam model ini, 
legitimasi demokrasi tidak ditentukan seberapa banyak dukungan atas suatu 
keputusan, tetapi seberapa luas dan dalam melibatkan proses-proses deliberasi. 
Kalau pemerintah sudah bersedia menyorongkan tangannya untuk bergandengan 
tangan, mengajak berembuk, dan berjanji mengakomodasi tuntutan, seyogianya 
gayung itu disambut. Kecuali memang ada niat merawat dendam, menyemai 
permusuhan, atau memuaskan gelegak petualangan politik.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1967-demokrasi-deliberatif





Kirim email ke