21 Oktober 2019 17:26 WIB

Derita Napi Menanti Hukuman Mati: Depresi hingga Dilecehkan




Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkap para 
terpidana mati mengeluhkan kondisi lapas. Para terpidana ini juga mengalami 
depresi, gugup menunggu jadwal eksekusi.

“Mereka mengalami banyak keluhan seperti overcrowded, susah ketemu keluarga, 
akses makanan, kesehatan, dan depresi mendekam dengan waktu lama di penjara 
tanpa kejelasan eksekusi dan keterbatasan akses,” kata Kepala Divisi Advokasi 
Internasional Kontras Fatia Maulidiyanti di Denpasar, Senin (21/10).

Keluhan para terpidana mati ini terungkap dari hasil wawancara Kontras dengan 
sembilan narapidana yang identitasnya disamarkan di sembilan lapas di Indonesia 
selama Desember 2018 hingga Mei 2019.

Sembilan narapidana ini terdiri dari tujuh orang terjerat kasus narkotika dan 
dua orang kasus pembunuhan. Sembilan napi telah mendekam di penjara selama 10 
hingga 20 tahun.

Sedangkan sembilan lapas itu adalah Lapas Tangerang, Cilacap, Nusakambangan 
(Lapas Batu, Narkotika dan Kembang Kuning), Yogyakarta, Lowokwaru Malang, 
Kerobokan Bali, dan Makassar.

Sejumlah pertanyaan diberikan kepada narapidana. Mulai dari akses kebersihan, 
kesehatan, proses hukum, prosesi investigasi polisi, perlakuan dan hak selama 
di dalam lapas. Sebagian besar, narapidana ini diperlakukan tidak adil sejak 
dalam penyelidikan.

“Ada satu narapidana perempuan yang bahkan sebelum dibawa ke penjara, dibawa ke 
hotel oleh penyidik. Mereka mewawancarai sambil melecehkan secara seksual 
terpidana ini, tapi kasus pelecehan ini tak pernah sampai di pengadilan,” ujar 
Fatia.

Contoh lain, seorang terpidana mati yang mendekam di LP Makassar. Saat 
penyelidikan, narapidana yang terjerat kasus pembunuhan ini disiksa dan 
diiming-imingi hukuman ringan bila mengakui perbuatannya. Setelah di 
pengadilan, majelis hakim memutuskan narapidana ini divonis hukum mati.

“Dia akhirnya harus mendekam di penjara dan enggak punya hubungan lagi dengan 
keluarganya, dia mengalami depresi dan suka berhalusinasi, namun karena enggak 
ada tenaga profesional di lapas kayak psikiater, dia malah kadang dibawa ke sel 
isolasi. Bukan malah dibawa ke psikiater atau tenaga ahli dan membuat dia 
semakin depresi,” ujar Fatia.

Yang mengherankan bagi Fatia, pemerintah tidak terbuka mengenai prosedural 
penentuan nama-nama narapidana yang akan dieksekusi. Padahal, publik perlu 
mengetahui pertimbangan Kejaksaan Agung memasukkan nama seseorang narapidana 
untuk dieksekusi.

“Dari Kejagung memang tidak ada yang tahu metode seperti apa, pemilihannya 
seperti apa, jadi memang sangat acak. Salah satu perhatian kita mengapa nama 
yang akan dieksekusi tidak pernah disosialisasikan dan tidak ada metode 
dijelaskan, ketika kita tahu bahwa akan ada eksekusi kita tahu tiga hari 
sebelumnya, jadi sangat random,” ujar dia.

Fatia mengungkap, selama pemerintahan residen Jokowi periode tahun 2014-2019 
ada sekitar 18 narapidana yang dieksekusi. Sebagian besar terjerat kasus 
narkotika.

Menurut dia, hukuman mati bukanlah sanksi yang berpengaruh pada pengurangan 
kasus narkoba di Indoensia.

Kontras, kata Fatia, merekomendasikan hukuman seumur hidup bagi para narapidana 
narkotika. Sebab, selama di lapas, narapidana bisa bertobat.

“Seharusnya ada pertimbangan tertentu dan parameter orang yang akan dieksekusi 
ini harus diberitakan dan jadi wacana publik, jadi kita tahu kenapa orang ini 
terpilih. Karena banyak di antara mereka sebenarnya sudah berkelakuan baik dan 
mereka jauh lebih baik ketika mereka ditangkap, itu kita enggak tahu, tapi 
tiba-tiba masuk namanya (dieksekusi),” ujar Fatia.



Kirim email ke