[GELORA45] Disiplin Rendah Sumber Petaka

2020-07-14 Terurut Topik 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]


-- 
j.gedearka 



https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2061-disiplin-rendah-sumber-petaka



Selasa 14 Juli 2020, 05:00 WIB 

Disiplin Rendah Sumber Petaka 

Administrator | Editorial 

  Disiplin Rendah Sumber Petaka MI/Seno Ilustrasi. PERKEMBANGAN wabah korona 
mulai kembali mengkhawatirkan. Bahkan DKI Jakarta yang sempat ber ha sil 
menekan penularan ki ni kembali menjadi jawara. Tingginya penambahan kasus di 
Ibu Kota itu diikuti secara ketat oleh Jawa Timur yang sebelumnya bolak-balik 
di po sisi teratas. Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah membayangi di belakang. 
Secara nasional, penambahan kasus positif covid-19 semakin ajek di atas seribu 
orang per hari. Hal itu di satu sisi memperlihatkan kapasitas tes yang naik 
pesat hingga mencapai 20 ribu spesimen setiap hari. Akan tetapi, di sisi lain 
menunjukkan penularan terus terjadi dalam jumlah besar. Laju penularan diikuti 
dengan angka kematian harian yang ikut cenderung meningkat. Rata-rata orang 
yang meninggal oleh covid-19 kini kembali di atas 40 orang setiap harinya. 
Beberapa kali angka itu bergerak mendekati rekor tertinggi 74 orang. Sejak 
ditemukan kasus positif korona pada awal Maret lalu, jumlah kematian hingga 
sekarang telah mencapai 3.656 orang. Indonesia berada di posisi keempat jumlah 
kematian tertinggi di Asia akibat covid-19. Tercatat lebih da ri 76 ribu kasus 
positif di Tanah Air. Masih besar kemungkinan banyaknya kasus yang belum 
terdeteksi di masyarakat. Perkembangan yang memprihatinkan tersebut tidak 
terlepas dari rendahnya kedisiplinan mematuhi protokol kesehatan. Banyak warga 
yang masih enteng berkeliaran di luar rumah tanpa memakai masker. Kalaupun 
memakai masker, tidak terpasang secara benar. Itu belum sampai pada persoalan 
ketidakpatuhan menjaga jarak dan mencuci tangan. Setidaknya ada dua faktor yang 
menyebabkan rendahnya disiplin. Pertama, kekurangpahaman atas protokol yang 
benar. Kedua, perilaku meremehkan keganasan covid-19. Kita tidak tahu secara 
pasti mana di antara dua faktor itu yang menyebabkan lebih dari seribu siswa 
Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat positif korona. Personel TNI yang 
diandalkan Kepala Negara untuk menegakkan disiplin warga saja begitu banyak 
yang tertular. Bisa jadi kekurangpahaman dan perilaku me remehkan sama-sama 
berperan di situ. Ketidakpahaman akan protokol bukan eksklusif milik warga. 
Para pejabat negara pun bolak-balik mendemonstrasikan minimnya pengetahuan 
mereka. Contohnya, ketika mereka hanya memakai tameng wajah atau face shield 
dalam berbagai kegiatan. Padahal, pejabat yang ditunjuk sendiri oleh Presiden 
sebagai juru bicara penanganan covid-19 Achmad Yurianto sudah mengingatkan 
bahwa tameng wajah saja tidak cukup. Berbeda dengan masker, tameng wajah tidak 
mampu mencegah menyebarnya titik-titik cairan pernapasan pemakainya. Bila dia 
membawa virus korona, orang-orang di sekitarnya akan sangat rentan tertular. 
Bahkan yang memakai masker sekalipun. Begitu egoisnya pejabat bertameng wajah 
tanpa masker, sampai-sampai lebih mementingkan senyuman mereka terlihat 
ketimbang melindungi orang lain. Pejabat saja tidak paham, bagaimana dengan 
warga biasa? Kedisiplinan yang tinggi tidak bisa ditawar-tawar lagi bila kita 
ingin terhindar dari petaka besar covid- 19. Petaka lebih besar lagi ketika 
fasilitas kesehatan kolaps. Kemudian, pemerintah tidak sanggup lagi menanggung 
biaya perawatan karena begitu banyaknya kasus covid-19. Ancaman petaka besar 
akan terus menghantui selama vaksin ataupun obat yang ampuh menyembuhkan 
covid-19 belum ditemukan. Yang bisa kita lakukan ialah terus-menerus menekan 
penularan seraya menjaga agar roda perekonomian tetap berputar. Tugas 
pemerintahlah dengan segala daya menegakkan disiplin mematuhi protokol 
kesehatan tanpa henti hingga masyarakat benar-benar terbiasa berperilaku yang 
aman dari korona.

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2061-disiplin-rendah-sumber-petaka








[GELORA45] Disiplin ialah Kunci

2020-05-16 Terurut Topik 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]


-- 
j.gedearka 


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1829-disiplin-ialah-kunci




Sabtu 16 Mei 2020, 05:30 WIB

Disiplin ialah Kunci

Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group | Editorial
 
Disiplin ialah Kunci

MI/Ebet
Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group.

"MANUSIA berubah dalam keadaan genting," kata Profesor Barnhardt dalam film The 
Day the Earth Stood Still. Dalam film fiksi ilmiah itu tokoh Profesor Barnhardt 
diperankan aktor John Cleese.

The Day the Earth Stood Still mengisahkan kehadiran makhluk angkasa luar 
bernama Klaatu yang diperankan aktor Keanu Reeves dan robot bernama Gorth. 
Keduanya bertugas memutuskan apakah planet Bumi harus dihancurkan atau 
dibiarkan.

Singkat cerita, Gorth memutuskan Bumi harus dihancurkan karena manusia tidak 
disiplin menjaganya. Namun, Klaatu memutuskan membiarkan Bumi tetap ada. Ketika 
Gorth dengan kekuatannya mulai menghancurkan Bumi, Klaatu justru melindunginya 
dengan mengorbankan dirinya. Klaatu percaya bahwa manusia akan berubah dalam 
keadaan genting.

Bumi kini kurang lebih dalam keadaan genting akibat pandemi covid-19. Banyak 
penghuni Bumi terjangkit covid-19. Banyak yang meninggal, tetapi lebih banyak 
lagi yang sembuh. Ekonomi tersendat.

Dalam keadaan genting, serupa yang dikatakan Prof Barnhardt, manusia semestinya 
berubah. Apakah yang lebih genting dan menakutkan yang membuat manusia berubah 
selain kematian, baik fisik maupun ekonomi?

Manusia semestinya berubah menjadi disiplin. Disiplin bermasker, disiplin 
menjaga jarak fisik dan sosial, disiplin cuci tangan pakai sabun, serta 
disiplin menjaga daya tahan tubuh. Kedisplinan seperti itulah yang kita 
harapkan terbentuk sebelum vaksinnya ditemukan supaya kita bisa lekas keluar 
dari kegentingan pandemi covid-19.

Akan tetapi, kedisiplinan yang kita harapkan belum merata di seluruh dunia. 
Negara-negara berdisiplin, apakah dengan lockdown atau tidak, grafik 
covid-19-nya mulai atau sudah landai. Negara-negara yang kurang disiplin, meski 
sudah lockdown, grafik covid-19-nya masih merah.

Kuncinya bukan lockdown atau tidak lockdown, melainkan disiplin. Vietnam 
mendisiplinkan rakyatnya dengan lockdown dan sukses meredakan pandemi covid-19. 
India sudah lockdown lebih dari tujuh pekan, tetapi rakyatnya kurang disiplin 
sehingga gagal menekan pandemi covid-19. Taiwan mendisiplinkan rakyatnya tanpa 
lockdown dan sukses meredakan covid-19.

Di Indonesia, tidak semua daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar 
(PSBB). Bali yang tidak menerapkan PSBB sukses menekan covid-19. Bali dengan 
kearifan lokal desa adatnya sukses mendisiplinkan warga dan meredakan covid-19.

Jakarta yang menerapkan PSBB gagal mendisiplinkan warga sehingga grafik 
covid-19-nya masih fluktuatif. Kedisiplinan masyarakat saat PSBB, kata Wapres 
KH Ma’ruf Amin, masih jauh dari harapan.

Alih-alih disiplin, yang terjadi malah 'diselipin'. Sejumlah orang di Bali 
'menyelipkan' surat keterangan sehat palsu di toko daring supaya orang-orang 
bisa 'menyelip' atau menyelundup mudik.

Dari dulu kita memang menanggung problem disiplin. Gerakan Disiplin Nasional di 
masa Orde Baru sampai Revolusi Mental di masa Jokowi tak sanggup mendisiplinkan 
rakyat.

Ketakutan akan kematian rupanya tak cukup genting, tak cukup menakutkan, bagi 
kita untuk berubah menjadi lebih disiplin. Itu mungkin karena kita optimistis 
sebagian besar kasus covid-19 bisa disembuhkan. Pun kita optimistis vaksinnya 
bakal ditemukan. Kita jadi tak takut mati karena terjangkit covid-19.

Kita rupanya lebih takut mati karena miskin, karena lapar. Hungry makes angry. 
Itulah sebabnya banyak negara mulai melonggarkan lockdown atau pembatasan 
sosial supaya ekonomi bergerak lagi, meski grafik covid-19 mereka masih merah.

Akan tetapi, negara-negara tersebut tetap menerapkan aturan agar rakyat 
disiplin memakai masker, menjaga jarak sosial, mencuci tangan pakai sabun, dan 
menjaga daya tahan tubuh, paling tidak sampai vaksin anticovid-19 ditemukan. 
Ketakutan akan kematian karena miskin atau lapar ternyata juga mesti dibarengi 
dengan aturan untuk membuat masyarakat disiplin.

Kita menginginkan kegentingan karena pandemi covid-19 membuat manusia mendadak 
atau otomatis berubah lebih disiplin. Faktanya, itu tidak terjadi. Kita 
ternyata tak bisa hanya mengandalkan kegentingan untuk membuat manusia mendadak 
berubah lebih disiplin.

Bila mendadak disiplin tak terjadi, pendisiplinan harus dilakukan. 
Pendisiplinan dilakukan secara struktural, berupa penyediaan infrastruktur 
maupun regulasi. Supaya orang disiplin cuci tangan memakai sabun, misalnya, 
infrastruktur wastafel atau sejenisnya harus tersedia di mana-mana. Regulasi 
bisa berupa lockdown, PSBB, pembatasan sosial, relaksasi pembatasan sosial, 
atau sekadar hukum adat serupa di Bali.

Pendisiplinan memerlukan kedisiplinan aparat. Larangan bepergian ke dan dari 
Jabodetabek Gubernur DKI Anies Baswedan tidak akan efektif bila aparat tidak 
disiplin menerapkan regulasi dan menyiapkan 

[GELORA45] Disiplin Kolektif Hadapi Covid-19

2020-04-11 Terurut Topik 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]


-- 
j.gedearka 


https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1980-disiplin-kolektif-hadapi-covid-19



Sabtu 11 April 2020, 05:00 WIB

Disiplin Kolektif Hadapi Covid-19

Administrator | Editorial
 

KEDISIPLINAN dalam mematuhi protokol kesehatan menjadi keniscayaan dalam 
menghadapi berkembangnya wabah di suatu wilayah. Semakin disiplin protokol 
kesehatan dipatuhi, semakin tinggi pula tingkat keberhasilan dalam mengatasi 
wabah tersebut.

Sebaliknya, semakin rendah kedisiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan, akan 
semakin rendah pula keberhasilan dalam mengatasi wabah yang sama.

Prinsip kedisiplinan yang sama juga berlaku dalam menghadapi pandemi virus 
korona atau covid-19, yang hingga kemarin, telah menginfeksi lebih dari 1,5 
juta penduduk dunia, termasuk di antaranya 3.500 lebih warga di Indonesia.

Dalam kaitan yang sama, Presiden Joko Widodo melalui video, kemarin, pun 
menekankan pesan mengenai pentingnya menegakkan kedisiplinan kuat dalam 
mematuhi protokol kesehatan itu. Protokol  kesehatan yang dimaksud ialah tetap 
disiplin berada di rumah, menjaga jarak aman dengan orang lain, menghindari 
kerumunan, rajin mencuci tangan, tidak menyentuh wajah, dan mengenakan masker 
saat keluar rumah.

Pesan Kepala Negara itu kita nilai tepat momentumnya bersamaan dengan 
diterapkannya status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mulai 
berlangsung di Ibu Kota Jakarta sejak kemarin hingga 14 hari mendatang. Tanpa 
kepatuhan dan disiplin tinggi dari seluruh komponen masyarakat, status PSBB di 
Ibu Kota atau di mana pun hal itu diterapkan tidak akan membawa hasil.

Harus kita tekankan kembali bahwa covid-19 merupakan virus yang sangat mudah 
menyebar. Untuk menghentikan wabah ini, satu-satunya jalan yang harus ditempuh 
ialah memutus mata rantai penyebaran agar penularan virus itu dapat dihentikan. 
Penghentian total tersebut hanya dapat dicapai dengan penerapan physical 
distancing dan penegakan protokol kesehatan lainnya.

Apresiasi sepatutnya diberikan kepada warga yang patuh dan disiplin dalam 
menjalankan protokol kesehatan itu. Kepada warga yang belum menjalankan 
protokol, kita mendorong agar mereka segera mematuhinya.

Sangat disesalkan, pada hari pertama pemberlakuan PSBB, kemarin, sejumlah warga 
dilaporkan masih saja berkeliaran di ruang publik untuk keperluan yang tidak 
mendesak. Kita berharap pengabaian dan pelanggaran yang sama tidak terulang.

Karena itu, kita mendorong aparat keamanan tidak ragu untuk bertindak tegas 
jika masih ada individu atau kelompok yang tidak menaati protokol kesehatan 
yang ditetapkan dalam PSBB.

Kita sepekat dengan pernyataan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan 
Covid-19, Doni Monardo, bahwa disiplin individu dalam mematuhi protokol 
kesehatan sangatlah penting. Namun, disiplin kolektif jauh lebih penting lagi 
untuk diterapkan. Tanpa disiplin kelompok, disiplin per individu yang telah 
dipraktikkan dalam mematuhi protokol kesehatan akan menjadi sia-sia.

Dalam konteks inilah semangat solidaritas dan kebersamaan berperan krusial. 
Sudah saatnya kita bergotong-royong, bersatu padu menegakkan kedisiplinan 
kolektif dalam perang melawan covid-19. Tanpa kedisiplinan kolektif mustahil 
protokol kesehatan dapat ditegakkan.

Bila protokol kesehatan gagal ditegakkan, upaya memutus mata rantai penularan 
dan penyebaran covid-19 pun sulit dicapai. Jangan sampai itu yang terjadi.

 
 








Re: [GELORA45] Disiplin

2020-03-31 Terurut Topik 'B.H. Jo' b...@yahoo.com [GELORA45]
Kalau ber-KORUPSI sih tidak perlu diajarin utk ber-DISIPLIN lagi, hahaha

Sent from Yahoo Mail on Android 
 
  On Tue, Mar 31, 2020 at 3:27 PM, kh djie dji...@gmail.com 
[GELORA45] wrote:       

Sudah biasa diselipin, mana tahu disiplin..
Op di 31 mrt. 2020 om 22:11 schreef 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl 
[GELORA45] :

     


-- 
j.gedearka 

https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1790-disiplin

Selasa 31 Maret 2020, 05:30 WIB

Disiplin

Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group | Editorial
 
Disiplin

MI/Ebet
Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group.

KETUA Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo 
konsisten dengan sikapnya. Hanya tiga hal yang membuat bangsa ini bisa selamat 
dari ancaman wabah virus korona yaitu, “Disiplin, disiplin, dan disiplin.”

Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. 
Banyak negara maju gagal untuk mengendalikan penyebaran virus korona karena 
lemahnya disiplin. Italia, Spanyol, bahkan Amerika Serikat terus bertambah 
warga yang terpapar covid-19 karena tidak mampu menegakkan disiplin.

Sebaliknya negara demokrasi yang mampu menanamkan sikap disiplin seperti Korea 
Selatan dan Jerman bisa menyelamatkan banyak jiwa warganya. Demikian pula 
negara yang sentralistis seperti Tiongkok dan Vietnam sukses untuk 
mengendalikan penyebaran virus korona, karena disiplin menjadi keharusan.

Di mana kira-kira kita berada? Jujur harus kita katakan, bangsa ini rendah 
disiplinnya. Bahkan sistem demokrasi membuat semua orang merasa boleh berbuat 
apa saja. Kebebasan tanpa tanggung jawab membuat kita cenderung menabrak semua 
aturan.

Ketidaktertiban mudah sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pengendara 
motor yang melawan arus sama sekali tidak peduli keselamatan orang lain. Kalau 
ia diperingatkan bukannya berterima kasih, tetapi malah bisa balik memarahi 
kita.

Kebebasan tanpa batas membuat negara ini tidak mengenal lagi kata ‘rahasia’. 
Surat berklasifikasi ‘rahasia’ pada satu lembaga bisa beredar dengan bebas di 
media sosial. Bahkan pers pun menggunakan materi itu untuk dijadikan berita 
dengan interprestasi yang sesukanya dibuat. Lebih ironis lagi ketika pejabat 
negara bersikap seperti bukan pengamat, bukan menjadi seorang eksekutif.

Dengan kondisi seperti ini aneh jika banyak pihak mendesak pemerintah untuk 
melakukan karantina wilayah. Bahkan bahasanya dibuat mentereng seperti di 
negara lain yaitu lockdown. Seakan itulah satu-satunya jawaban untuk 
mengendalikan wabah virus korona.

Padahal kebijakan apa pun jika tidak diikuti dengan di­siplin, hasilnya akan 
sama sama. Mau itu lockdown maupun tidak lockdown, kalau warganya tetap terus 
berdekatan, tetap masih berkerumun, tidak disiplin kepada dirinya, termasuk 
masih mudah memegang mulut, hidung, dan mata dengan tangan yang belum dicuci 
pakai sabun, penularan masih akan terjadi.

Ketika warga kita pun masih banyak yang tinggal di tempat yang tidak layak, 
entah lingkungannya kumuh atau satu rumah diisi beberapa keluarga, potensi 
penularannya semakin tinggi. Apalagi jika tidak diikuti sikap disiplin untuk 
tetap tinggal di rumah, akan membuat kebijakan apa pun tidak mungkin bisa 
berjalan efektif.

Apalagi sekarang Dana Moneter Internasional sudah mengingatkan, pandemi virus 
korona telah menciptakan resesi global. Kehidupan ke depan akan semakin berat. 
Apalagi ketika negara tidak memiliki kemampuan memberikan jaminan sosial dalam 
jangka waktu yang panjang.

Kesalahan dalam mengambil kebijakan akan membuat kita mengulang peristiwa kelam 
1998. Krisis kesehatan akan memantik krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis 
sosial. Ketika krisis sosial tidak tertangani, yang akan terjadi krisis politik.

Lalu langkah terbaik apa yang harus kita lakukan? Kembali ke disiplin tadi. 
Bagaimana kita mau menyadari bahwa virus korona ini sangat berbahaya? 
Penularannya melalui percikan air liur dari orang yang terpapar covid-19. Untuk 
itu kita harus disiplin untuk tidak berdekatan dan tidak berkerumun.

Satu hal yang juga harus kita pahami, virus korona itu takut dengan sabun. 
Kalau kita sering mencuci tangan memakai sabun, virus ini akan mati. Kita harus 
disiplin untuk sering mencuci tangan dan jangan memegang mulut, hidung, dan 
mata sebelum mencuci tangan dengan sabun.

Kalau kita bisa disiplin melakukan itu, kita bisa seperti bangsa Jerman. Mereka 
tidak perlu melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus. Kalau 
14 hari penularan bisa diputus, negara itu akan terbebas dari virus korona.

Sekarang yang lebih penting kita pikirkan, bagaimana persoalan ekonomi dan 
sosial masyarakat bisa ditangani? Daripada terus berdebat soal karantina 
wilayah, lebih baik kita menggalang solidaritas sosial. Tidak perlu 
besar-besar, cukup kita peduli kepada mereka yang kekurangan di RT kita 
masing-masing. Kalau semua mau berbuat dan diikuti dengan disiplin diri, kita 
akan cepat melewati masa-masa yang membuat kita tertekan ini.
 


   
  

Re: [GELORA45] Disiplin

2020-03-31 Terurut Topik kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]
Sudah biasa *diselipin,* mana tahu disiplin..

Op di 31 mrt. 2020 om 22:11 schreef 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl
[GELORA45] :

>
>
>
>
> --
> j.gedearka 
>
> https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1790-disiplin
>
> Selasa 31 Maret 2020, 05:30 WIB
>
> Disiplin
>
> Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group | Editorial
>  
> Disiplin
>
> MI/Ebet
> Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group.
>
> KETUA Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo
> konsisten dengan sikapnya. Hanya tiga hal yang membuat bangsa ini bisa
> selamat dari ancaman wabah virus korona yaitu, “Disiplin, disiplin, dan
> disiplin.”
>
> Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk
> dilaksanakan. Banyak negara maju gagal untuk mengendalikan penyebaran virus
> korona karena lemahnya disiplin. Italia, Spanyol, bahkan Amerika Serikat
> terus bertambah warga yang terpapar covid-19 karena tidak mampu menegakkan
> disiplin.
>
> Sebaliknya negara demokrasi yang mampu menanamkan sikap disiplin seperti
> Korea Selatan dan Jerman bisa menyelamatkan banyak jiwa warganya. Demikian
> pula negara yang sentralistis seperti Tiongkok dan Vietnam sukses untuk
> mengendalikan penyebaran virus korona, karena disiplin menjadi keharusan.
>
> Di mana kira-kira kita berada? Jujur harus kita katakan, bangsa ini rendah
> disiplinnya. Bahkan sistem demokrasi membuat semua orang merasa boleh
> berbuat apa saja. Kebebasan tanpa tanggung jawab membuat kita cenderung
> menabrak semua aturan.
>
> Ketidaktertiban mudah sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
> Pengendara motor yang melawan arus sama sekali tidak peduli keselamatan
> orang lain. Kalau ia diperingatkan bukannya berterima kasih, tetapi malah
> bisa balik memarahi kita.
>
> Kebebasan tanpa batas membuat negara ini tidak mengenal lagi kata
> ‘rahasia’. Surat berklasifikasi ‘rahasia’ pada satu lembaga bisa beredar
> dengan bebas di media sosial. Bahkan pers pun menggunakan materi itu untuk
> dijadikan berita dengan interprestasi yang sesukanya dibuat. Lebih ironis
> lagi ketika pejabat negara bersikap seperti bukan pengamat, bukan menjadi
> seorang eksekutif.
>
> Dengan kondisi seperti ini aneh jika banyak pihak mendesak pemerintah
> untuk melakukan karantina wilayah. Bahkan bahasanya dibuat mentereng
> seperti di negara lain yaitu lockdown. Seakan itulah satu-satunya jawaban
> untuk mengendalikan wabah virus korona.
>
> Padahal kebijakan apa pun jika tidak diikuti dengan di­siplin, hasilnya
> akan sama sama. Mau itu lockdown maupun tidak lockdown, kalau warganya
> tetap terus berdekatan, tetap masih berkerumun, tidak disiplin kepada
> dirinya, termasuk masih mudah memegang mulut, hidung, dan mata dengan
> tangan yang belum dicuci pakai sabun, penularan masih akan terjadi.
>
> Ketika warga kita pun masih banyak yang tinggal di tempat yang tidak
> layak, entah lingkungannya kumuh atau satu rumah diisi beberapa keluarga,
> potensi penularannya semakin tinggi. Apalagi jika tidak diikuti sikap
> disiplin untuk tetap tinggal di rumah, akan membuat kebijakan apa pun tidak
> mungkin bisa berjalan efektif.
>
> Apalagi sekarang Dana Moneter Internasional sudah mengingatkan, pandemi
> virus korona telah menciptakan resesi global. Kehidupan ke depan akan
> semakin berat. Apalagi ketika negara tidak memiliki kemampuan memberikan
> jaminan sosial dalam jangka waktu yang panjang.
>
> Kesalahan dalam mengambil kebijakan akan membuat kita mengulang peristiwa
> kelam 1998. Krisis kesehatan akan memantik krisis ekonomi dan akhirnya
> menjadi krisis sosial. Ketika krisis sosial tidak tertangani, yang akan
> terjadi krisis politik.
>
> Lalu langkah terbaik apa yang harus kita lakukan? Kembali ke disiplin
> tadi. Bagaimana kita mau menyadari bahwa virus korona ini sangat berbahaya?
> Penularannya melalui percikan air liur dari orang yang terpapar covid-19.
> Untuk itu kita harus disiplin untuk tidak berdekatan dan tidak berkerumun..
>
> Satu hal yang juga harus kita pahami, virus korona itu takut dengan sabun..
> Kalau kita sering mencuci tangan memakai sabun, virus ini akan mati. Kita
> harus disiplin untuk sering mencuci tangan dan jangan memegang mulut,
> hidung, dan mata sebelum mencuci tangan dengan sabun.
>
> Kalau kita bisa disiplin melakukan itu, kita bisa seperti bangsa Jerman.
> Mereka tidak perlu melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran
> virus. Kalau 14 hari penularan bisa diputus, negara itu akan terbebas dari
> virus korona.
>
> Sekarang yang lebih penting kita pikirkan, bagaimana persoalan ekonomi dan
> sosial masyarakat bisa ditangani? Daripada terus berdebat soal karantina
> wilayah, lebih baik kita menggalang solidaritas sosial. Tidak perlu
> besar-besar, cukup kita peduli kepada mereka yang kekurangan di RT kita
> masing-masing. Kalau semua mau berbuat dan diikuti dengan disiplin diri,
> kita akan cepat melewati masa-masa yang membuat kita tertekan ini.
>  
>
> 
>


[GELORA45] Disiplin

2020-03-31 Terurut Topik 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]


-- 
j.gedearka 


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1790-disiplin



Selasa 31 Maret 2020, 05:30 WIB

Disiplin

Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group | Editorial
 
Disiplin

MI/Ebet
Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group.

KETUA Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo 
konsisten dengan sikapnya. Hanya tiga hal yang membuat bangsa ini bisa selamat 
dari ancaman wabah virus korona yaitu, “Disiplin, disiplin, dan disiplin.”

Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. 
Banyak negara maju gagal untuk mengendalikan penyebaran virus korona karena 
lemahnya disiplin. Italia, Spanyol, bahkan Amerika Serikat terus bertambah 
warga yang terpapar covid-19 karena tidak mampu menegakkan disiplin.

Sebaliknya negara demokrasi yang mampu menanamkan sikap disiplin seperti Korea 
Selatan dan Jerman bisa menyelamatkan banyak jiwa warganya. Demikian pula 
negara yang sentralistis seperti Tiongkok dan Vietnam sukses untuk 
mengendalikan penyebaran virus korona, karena disiplin menjadi keharusan.

Di mana kira-kira kita berada? Jujur harus kita katakan, bangsa ini rendah 
disiplinnya. Bahkan sistem demokrasi membuat semua orang merasa boleh berbuat 
apa saja. Kebebasan tanpa tanggung jawab membuat kita cenderung menabrak semua 
aturan.

Ketidaktertiban mudah sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pengendara 
motor yang melawan arus sama sekali tidak peduli keselamatan orang lain. Kalau 
ia diperingatkan bukannya berterima kasih, tetapi malah bisa balik memarahi 
kita.

Kebebasan tanpa batas membuat negara ini tidak mengenal lagi kata ‘rahasia’. 
Surat berklasifikasi ‘rahasia’ pada satu lembaga bisa beredar dengan bebas di 
media sosial. Bahkan pers pun menggunakan materi itu untuk dijadikan berita 
dengan interprestasi yang sesukanya dibuat. Lebih ironis lagi ketika pejabat 
negara bersikap seperti bukan pengamat, bukan menjadi seorang eksekutif.

Dengan kondisi seperti ini aneh jika banyak pihak mendesak pemerintah untuk 
melakukan karantina wilayah. Bahkan bahasanya dibuat mentereng seperti di 
negara lain yaitu lockdown. Seakan itulah satu-satunya jawaban untuk 
mengendalikan wabah virus korona.

Padahal kebijakan apa pun jika tidak diikuti dengan di­siplin, hasilnya akan 
sama sama. Mau itu lockdown maupun tidak lockdown, kalau warganya tetap terus 
berdekatan, tetap masih berkerumun, tidak disiplin kepada dirinya, termasuk 
masih mudah memegang mulut, hidung, dan mata dengan tangan yang belum dicuci 
pakai sabun, penularan masih akan terjadi.

Ketika warga kita pun masih banyak yang tinggal di tempat yang tidak layak, 
entah lingkungannya kumuh atau satu rumah diisi beberapa keluarga, potensi 
penularannya semakin tinggi. Apalagi jika tidak diikuti sikap disiplin untuk 
tetap tinggal di rumah, akan membuat kebijakan apa pun tidak mungkin bisa 
berjalan efektif.

Apalagi sekarang Dana Moneter Internasional sudah mengingatkan, pandemi virus 
korona telah menciptakan resesi global. Kehidupan ke depan akan semakin berat. 
Apalagi ketika negara tidak memiliki kemampuan memberikan jaminan sosial dalam 
jangka waktu yang panjang.

Kesalahan dalam mengambil kebijakan akan membuat kita mengulang peristiwa kelam 
1998. Krisis kesehatan akan memantik krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis 
sosial. Ketika krisis sosial tidak tertangani, yang akan terjadi krisis politik.

Lalu langkah terbaik apa yang harus kita lakukan? Kembali ke disiplin tadi. 
Bagaimana kita mau menyadari bahwa virus korona ini sangat berbahaya? 
Penularannya melalui percikan air liur dari orang yang terpapar covid-19. Untuk 
itu kita harus disiplin untuk tidak berdekatan dan tidak berkerumun.

Satu hal yang juga harus kita pahami, virus korona itu takut dengan sabun. 
Kalau kita sering mencuci tangan memakai sabun, virus ini akan mati. Kita harus 
disiplin untuk sering mencuci tangan dan jangan memegang mulut, hidung, dan 
mata sebelum mencuci tangan dengan sabun.

Kalau kita bisa disiplin melakukan itu, kita bisa seperti bangsa Jerman. Mereka 
tidak perlu melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus. Kalau 
14 hari penularan bisa diputus, negara itu akan terbebas dari virus korona.

Sekarang yang lebih penting kita pikirkan, bagaimana persoalan ekonomi dan 
sosial masyarakat bisa ditangani? Daripada terus berdebat soal karantina 
wilayah, lebih baik kita menggalang solidaritas sosial. Tidak perlu 
besar-besar, cukup kita peduli kepada mereka yang kekurangan di RT kita 
masing-masing. Kalau semua mau berbuat dan diikuti dengan disiplin diri, kita 
akan cepat melewati masa-masa yang membuat kita tertekan ini.
 