[GELORA45] Disiplin Rendah Sumber Petaka
-- j.gedearka https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2061-disiplin-rendah-sumber-petaka Selasa 14 Juli 2020, 05:00 WIB Disiplin Rendah Sumber Petaka Administrator | Editorial Disiplin Rendah Sumber Petaka MI/Seno Ilustrasi. PERKEMBANGAN wabah korona mulai kembali mengkhawatirkan. Bahkan DKI Jakarta yang sempat ber ha sil menekan penularan ki ni kembali menjadi jawara. Tingginya penambahan kasus di Ibu Kota itu diikuti secara ketat oleh Jawa Timur yang sebelumnya bolak-balik di po sisi teratas. Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah membayangi di belakang. Secara nasional, penambahan kasus positif covid-19 semakin ajek di atas seribu orang per hari. Hal itu di satu sisi memperlihatkan kapasitas tes yang naik pesat hingga mencapai 20 ribu spesimen setiap hari. Akan tetapi, di sisi lain menunjukkan penularan terus terjadi dalam jumlah besar. Laju penularan diikuti dengan angka kematian harian yang ikut cenderung meningkat. Rata-rata orang yang meninggal oleh covid-19 kini kembali di atas 40 orang setiap harinya. Beberapa kali angka itu bergerak mendekati rekor tertinggi 74 orang. Sejak ditemukan kasus positif korona pada awal Maret lalu, jumlah kematian hingga sekarang telah mencapai 3.656 orang. Indonesia berada di posisi keempat jumlah kematian tertinggi di Asia akibat covid-19. Tercatat lebih da ri 76 ribu kasus positif di Tanah Air. Masih besar kemungkinan banyaknya kasus yang belum terdeteksi di masyarakat. Perkembangan yang memprihatinkan tersebut tidak terlepas dari rendahnya kedisiplinan mematuhi protokol kesehatan. Banyak warga yang masih enteng berkeliaran di luar rumah tanpa memakai masker. Kalaupun memakai masker, tidak terpasang secara benar. Itu belum sampai pada persoalan ketidakpatuhan menjaga jarak dan mencuci tangan. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya disiplin. Pertama, kekurangpahaman atas protokol yang benar. Kedua, perilaku meremehkan keganasan covid-19. Kita tidak tahu secara pasti mana di antara dua faktor itu yang menyebabkan lebih dari seribu siswa Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat positif korona. Personel TNI yang diandalkan Kepala Negara untuk menegakkan disiplin warga saja begitu banyak yang tertular. Bisa jadi kekurangpahaman dan perilaku me remehkan sama-sama berperan di situ. Ketidakpahaman akan protokol bukan eksklusif milik warga. Para pejabat negara pun bolak-balik mendemonstrasikan minimnya pengetahuan mereka. Contohnya, ketika mereka hanya memakai tameng wajah atau face shield dalam berbagai kegiatan. Padahal, pejabat yang ditunjuk sendiri oleh Presiden sebagai juru bicara penanganan covid-19 Achmad Yurianto sudah mengingatkan bahwa tameng wajah saja tidak cukup. Berbeda dengan masker, tameng wajah tidak mampu mencegah menyebarnya titik-titik cairan pernapasan pemakainya. Bila dia membawa virus korona, orang-orang di sekitarnya akan sangat rentan tertular. Bahkan yang memakai masker sekalipun. Begitu egoisnya pejabat bertameng wajah tanpa masker, sampai-sampai lebih mementingkan senyuman mereka terlihat ketimbang melindungi orang lain. Pejabat saja tidak paham, bagaimana dengan warga biasa? Kedisiplinan yang tinggi tidak bisa ditawar-tawar lagi bila kita ingin terhindar dari petaka besar covid- 19. Petaka lebih besar lagi ketika fasilitas kesehatan kolaps. Kemudian, pemerintah tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan karena begitu banyaknya kasus covid-19. Ancaman petaka besar akan terus menghantui selama vaksin ataupun obat yang ampuh menyembuhkan covid-19 belum ditemukan. Yang bisa kita lakukan ialah terus-menerus menekan penularan seraya menjaga agar roda perekonomian tetap berputar. Tugas pemerintahlah dengan segala daya menegakkan disiplin mematuhi protokol kesehatan tanpa henti hingga masyarakat benar-benar terbiasa berperilaku yang aman dari korona. Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2061-disiplin-rendah-sumber-petaka
[GELORA45] Disiplin ialah Kunci
-- j.gedearka https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1829-disiplin-ialah-kunci Sabtu 16 Mei 2020, 05:30 WIB Disiplin ialah Kunci Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group | Editorial Disiplin ialah Kunci MI/Ebet Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group. "MANUSIA berubah dalam keadaan genting," kata Profesor Barnhardt dalam film The Day the Earth Stood Still. Dalam film fiksi ilmiah itu tokoh Profesor Barnhardt diperankan aktor John Cleese. The Day the Earth Stood Still mengisahkan kehadiran makhluk angkasa luar bernama Klaatu yang diperankan aktor Keanu Reeves dan robot bernama Gorth. Keduanya bertugas memutuskan apakah planet Bumi harus dihancurkan atau dibiarkan. Singkat cerita, Gorth memutuskan Bumi harus dihancurkan karena manusia tidak disiplin menjaganya. Namun, Klaatu memutuskan membiarkan Bumi tetap ada. Ketika Gorth dengan kekuatannya mulai menghancurkan Bumi, Klaatu justru melindunginya dengan mengorbankan dirinya. Klaatu percaya bahwa manusia akan berubah dalam keadaan genting. Bumi kini kurang lebih dalam keadaan genting akibat pandemi covid-19. Banyak penghuni Bumi terjangkit covid-19. Banyak yang meninggal, tetapi lebih banyak lagi yang sembuh. Ekonomi tersendat. Dalam keadaan genting, serupa yang dikatakan Prof Barnhardt, manusia semestinya berubah. Apakah yang lebih genting dan menakutkan yang membuat manusia berubah selain kematian, baik fisik maupun ekonomi? Manusia semestinya berubah menjadi disiplin. Disiplin bermasker, disiplin menjaga jarak fisik dan sosial, disiplin cuci tangan pakai sabun, serta disiplin menjaga daya tahan tubuh. Kedisplinan seperti itulah yang kita harapkan terbentuk sebelum vaksinnya ditemukan supaya kita bisa lekas keluar dari kegentingan pandemi covid-19. Akan tetapi, kedisiplinan yang kita harapkan belum merata di seluruh dunia. Negara-negara berdisiplin, apakah dengan lockdown atau tidak, grafik covid-19-nya mulai atau sudah landai. Negara-negara yang kurang disiplin, meski sudah lockdown, grafik covid-19-nya masih merah. Kuncinya bukan lockdown atau tidak lockdown, melainkan disiplin. Vietnam mendisiplinkan rakyatnya dengan lockdown dan sukses meredakan pandemi covid-19. India sudah lockdown lebih dari tujuh pekan, tetapi rakyatnya kurang disiplin sehingga gagal menekan pandemi covid-19. Taiwan mendisiplinkan rakyatnya tanpa lockdown dan sukses meredakan covid-19. Di Indonesia, tidak semua daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bali yang tidak menerapkan PSBB sukses menekan covid-19. Bali dengan kearifan lokal desa adatnya sukses mendisiplinkan warga dan meredakan covid-19. Jakarta yang menerapkan PSBB gagal mendisiplinkan warga sehingga grafik covid-19-nya masih fluktuatif. Kedisiplinan masyarakat saat PSBB, kata Wapres KH Ma’ruf Amin, masih jauh dari harapan. Alih-alih disiplin, yang terjadi malah 'diselipin'. Sejumlah orang di Bali 'menyelipkan' surat keterangan sehat palsu di toko daring supaya orang-orang bisa 'menyelip' atau menyelundup mudik. Dari dulu kita memang menanggung problem disiplin. Gerakan Disiplin Nasional di masa Orde Baru sampai Revolusi Mental di masa Jokowi tak sanggup mendisiplinkan rakyat. Ketakutan akan kematian rupanya tak cukup genting, tak cukup menakutkan, bagi kita untuk berubah menjadi lebih disiplin. Itu mungkin karena kita optimistis sebagian besar kasus covid-19 bisa disembuhkan. Pun kita optimistis vaksinnya bakal ditemukan. Kita jadi tak takut mati karena terjangkit covid-19. Kita rupanya lebih takut mati karena miskin, karena lapar. Hungry makes angry. Itulah sebabnya banyak negara mulai melonggarkan lockdown atau pembatasan sosial supaya ekonomi bergerak lagi, meski grafik covid-19 mereka masih merah. Akan tetapi, negara-negara tersebut tetap menerapkan aturan agar rakyat disiplin memakai masker, menjaga jarak sosial, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga daya tahan tubuh, paling tidak sampai vaksin anticovid-19 ditemukan. Ketakutan akan kematian karena miskin atau lapar ternyata juga mesti dibarengi dengan aturan untuk membuat masyarakat disiplin. Kita menginginkan kegentingan karena pandemi covid-19 membuat manusia mendadak atau otomatis berubah lebih disiplin. Faktanya, itu tidak terjadi. Kita ternyata tak bisa hanya mengandalkan kegentingan untuk membuat manusia mendadak berubah lebih disiplin. Bila mendadak disiplin tak terjadi, pendisiplinan harus dilakukan. Pendisiplinan dilakukan secara struktural, berupa penyediaan infrastruktur maupun regulasi. Supaya orang disiplin cuci tangan memakai sabun, misalnya, infrastruktur wastafel atau sejenisnya harus tersedia di mana-mana. Regulasi bisa berupa lockdown, PSBB, pembatasan sosial, relaksasi pembatasan sosial, atau sekadar hukum adat serupa di Bali. Pendisiplinan memerlukan kedisiplinan aparat. Larangan bepergian ke dan dari Jabodetabek Gubernur DKI Anies Baswedan tidak akan efektif bila aparat tidak disiplin menerapkan regulasi dan menyiapkan
[GELORA45] Disiplin Kolektif Hadapi Covid-19
-- j.gedearka https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1980-disiplin-kolektif-hadapi-covid-19 Sabtu 11 April 2020, 05:00 WIB Disiplin Kolektif Hadapi Covid-19 Administrator | Editorial KEDISIPLINAN dalam mematuhi protokol kesehatan menjadi keniscayaan dalam menghadapi berkembangnya wabah di suatu wilayah. Semakin disiplin protokol kesehatan dipatuhi, semakin tinggi pula tingkat keberhasilan dalam mengatasi wabah tersebut. Sebaliknya, semakin rendah kedisiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan, akan semakin rendah pula keberhasilan dalam mengatasi wabah yang sama. Prinsip kedisiplinan yang sama juga berlaku dalam menghadapi pandemi virus korona atau covid-19, yang hingga kemarin, telah menginfeksi lebih dari 1,5 juta penduduk dunia, termasuk di antaranya 3.500 lebih warga di Indonesia. Dalam kaitan yang sama, Presiden Joko Widodo melalui video, kemarin, pun menekankan pesan mengenai pentingnya menegakkan kedisiplinan kuat dalam mematuhi protokol kesehatan itu. Protokol kesehatan yang dimaksud ialah tetap disiplin berada di rumah, menjaga jarak aman dengan orang lain, menghindari kerumunan, rajin mencuci tangan, tidak menyentuh wajah, dan mengenakan masker saat keluar rumah. Pesan Kepala Negara itu kita nilai tepat momentumnya bersamaan dengan diterapkannya status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mulai berlangsung di Ibu Kota Jakarta sejak kemarin hingga 14 hari mendatang. Tanpa kepatuhan dan disiplin tinggi dari seluruh komponen masyarakat, status PSBB di Ibu Kota atau di mana pun hal itu diterapkan tidak akan membawa hasil. Harus kita tekankan kembali bahwa covid-19 merupakan virus yang sangat mudah menyebar. Untuk menghentikan wabah ini, satu-satunya jalan yang harus ditempuh ialah memutus mata rantai penyebaran agar penularan virus itu dapat dihentikan. Penghentian total tersebut hanya dapat dicapai dengan penerapan physical distancing dan penegakan protokol kesehatan lainnya. Apresiasi sepatutnya diberikan kepada warga yang patuh dan disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan itu. Kepada warga yang belum menjalankan protokol, kita mendorong agar mereka segera mematuhinya. Sangat disesalkan, pada hari pertama pemberlakuan PSBB, kemarin, sejumlah warga dilaporkan masih saja berkeliaran di ruang publik untuk keperluan yang tidak mendesak. Kita berharap pengabaian dan pelanggaran yang sama tidak terulang. Karena itu, kita mendorong aparat keamanan tidak ragu untuk bertindak tegas jika masih ada individu atau kelompok yang tidak menaati protokol kesehatan yang ditetapkan dalam PSBB. Kita sepekat dengan pernyataan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, bahwa disiplin individu dalam mematuhi protokol kesehatan sangatlah penting. Namun, disiplin kolektif jauh lebih penting lagi untuk diterapkan. Tanpa disiplin kelompok, disiplin per individu yang telah dipraktikkan dalam mematuhi protokol kesehatan akan menjadi sia-sia. Dalam konteks inilah semangat solidaritas dan kebersamaan berperan krusial. Sudah saatnya kita bergotong-royong, bersatu padu menegakkan kedisiplinan kolektif dalam perang melawan covid-19. Tanpa kedisiplinan kolektif mustahil protokol kesehatan dapat ditegakkan. Bila protokol kesehatan gagal ditegakkan, upaya memutus mata rantai penularan dan penyebaran covid-19 pun sulit dicapai. Jangan sampai itu yang terjadi.
Re: [GELORA45] Disiplin
Kalau ber-KORUPSI sih tidak perlu diajarin utk ber-DISIPLIN lagi, hahaha Sent from Yahoo Mail on Android On Tue, Mar 31, 2020 at 3:27 PM, kh djie dji...@gmail.com [GELORA45] wrote: Sudah biasa diselipin, mana tahu disiplin.. Op di 31 mrt. 2020 om 22:11 schreef 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] : -- j.gedearka https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1790-disiplin Selasa 31 Maret 2020, 05:30 WIB Disiplin Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group | Editorial Disiplin MI/Ebet Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group. KETUA Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo konsisten dengan sikapnya. Hanya tiga hal yang membuat bangsa ini bisa selamat dari ancaman wabah virus korona yaitu, “Disiplin, disiplin, dan disiplin.” Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Banyak negara maju gagal untuk mengendalikan penyebaran virus korona karena lemahnya disiplin. Italia, Spanyol, bahkan Amerika Serikat terus bertambah warga yang terpapar covid-19 karena tidak mampu menegakkan disiplin. Sebaliknya negara demokrasi yang mampu menanamkan sikap disiplin seperti Korea Selatan dan Jerman bisa menyelamatkan banyak jiwa warganya. Demikian pula negara yang sentralistis seperti Tiongkok dan Vietnam sukses untuk mengendalikan penyebaran virus korona, karena disiplin menjadi keharusan. Di mana kira-kira kita berada? Jujur harus kita katakan, bangsa ini rendah disiplinnya. Bahkan sistem demokrasi membuat semua orang merasa boleh berbuat apa saja. Kebebasan tanpa tanggung jawab membuat kita cenderung menabrak semua aturan. Ketidaktertiban mudah sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pengendara motor yang melawan arus sama sekali tidak peduli keselamatan orang lain. Kalau ia diperingatkan bukannya berterima kasih, tetapi malah bisa balik memarahi kita. Kebebasan tanpa batas membuat negara ini tidak mengenal lagi kata ‘rahasia’. Surat berklasifikasi ‘rahasia’ pada satu lembaga bisa beredar dengan bebas di media sosial. Bahkan pers pun menggunakan materi itu untuk dijadikan berita dengan interprestasi yang sesukanya dibuat. Lebih ironis lagi ketika pejabat negara bersikap seperti bukan pengamat, bukan menjadi seorang eksekutif. Dengan kondisi seperti ini aneh jika banyak pihak mendesak pemerintah untuk melakukan karantina wilayah. Bahkan bahasanya dibuat mentereng seperti di negara lain yaitu lockdown. Seakan itulah satu-satunya jawaban untuk mengendalikan wabah virus korona. Padahal kebijakan apa pun jika tidak diikuti dengan disiplin, hasilnya akan sama sama. Mau itu lockdown maupun tidak lockdown, kalau warganya tetap terus berdekatan, tetap masih berkerumun, tidak disiplin kepada dirinya, termasuk masih mudah memegang mulut, hidung, dan mata dengan tangan yang belum dicuci pakai sabun, penularan masih akan terjadi. Ketika warga kita pun masih banyak yang tinggal di tempat yang tidak layak, entah lingkungannya kumuh atau satu rumah diisi beberapa keluarga, potensi penularannya semakin tinggi. Apalagi jika tidak diikuti sikap disiplin untuk tetap tinggal di rumah, akan membuat kebijakan apa pun tidak mungkin bisa berjalan efektif. Apalagi sekarang Dana Moneter Internasional sudah mengingatkan, pandemi virus korona telah menciptakan resesi global. Kehidupan ke depan akan semakin berat. Apalagi ketika negara tidak memiliki kemampuan memberikan jaminan sosial dalam jangka waktu yang panjang. Kesalahan dalam mengambil kebijakan akan membuat kita mengulang peristiwa kelam 1998. Krisis kesehatan akan memantik krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis sosial. Ketika krisis sosial tidak tertangani, yang akan terjadi krisis politik. Lalu langkah terbaik apa yang harus kita lakukan? Kembali ke disiplin tadi. Bagaimana kita mau menyadari bahwa virus korona ini sangat berbahaya? Penularannya melalui percikan air liur dari orang yang terpapar covid-19. Untuk itu kita harus disiplin untuk tidak berdekatan dan tidak berkerumun. Satu hal yang juga harus kita pahami, virus korona itu takut dengan sabun. Kalau kita sering mencuci tangan memakai sabun, virus ini akan mati. Kita harus disiplin untuk sering mencuci tangan dan jangan memegang mulut, hidung, dan mata sebelum mencuci tangan dengan sabun. Kalau kita bisa disiplin melakukan itu, kita bisa seperti bangsa Jerman. Mereka tidak perlu melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus. Kalau 14 hari penularan bisa diputus, negara itu akan terbebas dari virus korona. Sekarang yang lebih penting kita pikirkan, bagaimana persoalan ekonomi dan sosial masyarakat bisa ditangani? Daripada terus berdebat soal karantina wilayah, lebih baik kita menggalang solidaritas sosial. Tidak perlu besar-besar, cukup kita peduli kepada mereka yang kekurangan di RT kita masing-masing. Kalau semua mau berbuat dan diikuti dengan disiplin diri, kita akan cepat melewati masa-masa yang membuat kita tertekan ini.
Re: [GELORA45] Disiplin
Sudah biasa *diselipin,* mana tahu disiplin.. Op di 31 mrt. 2020 om 22:11 schreef 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] : > > > > > -- > j.gedearka > > https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1790-disiplin > > Selasa 31 Maret 2020, 05:30 WIB > > Disiplin > > Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group | Editorial > > Disiplin > > MI/Ebet > Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group. > > KETUA Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo > konsisten dengan sikapnya. Hanya tiga hal yang membuat bangsa ini bisa > selamat dari ancaman wabah virus korona yaitu, “Disiplin, disiplin, dan > disiplin.” > > Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk > dilaksanakan. Banyak negara maju gagal untuk mengendalikan penyebaran virus > korona karena lemahnya disiplin. Italia, Spanyol, bahkan Amerika Serikat > terus bertambah warga yang terpapar covid-19 karena tidak mampu menegakkan > disiplin. > > Sebaliknya negara demokrasi yang mampu menanamkan sikap disiplin seperti > Korea Selatan dan Jerman bisa menyelamatkan banyak jiwa warganya. Demikian > pula negara yang sentralistis seperti Tiongkok dan Vietnam sukses untuk > mengendalikan penyebaran virus korona, karena disiplin menjadi keharusan. > > Di mana kira-kira kita berada? Jujur harus kita katakan, bangsa ini rendah > disiplinnya. Bahkan sistem demokrasi membuat semua orang merasa boleh > berbuat apa saja. Kebebasan tanpa tanggung jawab membuat kita cenderung > menabrak semua aturan. > > Ketidaktertiban mudah sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. > Pengendara motor yang melawan arus sama sekali tidak peduli keselamatan > orang lain. Kalau ia diperingatkan bukannya berterima kasih, tetapi malah > bisa balik memarahi kita. > > Kebebasan tanpa batas membuat negara ini tidak mengenal lagi kata > ‘rahasia’. Surat berklasifikasi ‘rahasia’ pada satu lembaga bisa beredar > dengan bebas di media sosial. Bahkan pers pun menggunakan materi itu untuk > dijadikan berita dengan interprestasi yang sesukanya dibuat. Lebih ironis > lagi ketika pejabat negara bersikap seperti bukan pengamat, bukan menjadi > seorang eksekutif. > > Dengan kondisi seperti ini aneh jika banyak pihak mendesak pemerintah > untuk melakukan karantina wilayah. Bahkan bahasanya dibuat mentereng > seperti di negara lain yaitu lockdown. Seakan itulah satu-satunya jawaban > untuk mengendalikan wabah virus korona. > > Padahal kebijakan apa pun jika tidak diikuti dengan disiplin, hasilnya > akan sama sama. Mau itu lockdown maupun tidak lockdown, kalau warganya > tetap terus berdekatan, tetap masih berkerumun, tidak disiplin kepada > dirinya, termasuk masih mudah memegang mulut, hidung, dan mata dengan > tangan yang belum dicuci pakai sabun, penularan masih akan terjadi. > > Ketika warga kita pun masih banyak yang tinggal di tempat yang tidak > layak, entah lingkungannya kumuh atau satu rumah diisi beberapa keluarga, > potensi penularannya semakin tinggi. Apalagi jika tidak diikuti sikap > disiplin untuk tetap tinggal di rumah, akan membuat kebijakan apa pun tidak > mungkin bisa berjalan efektif. > > Apalagi sekarang Dana Moneter Internasional sudah mengingatkan, pandemi > virus korona telah menciptakan resesi global. Kehidupan ke depan akan > semakin berat. Apalagi ketika negara tidak memiliki kemampuan memberikan > jaminan sosial dalam jangka waktu yang panjang. > > Kesalahan dalam mengambil kebijakan akan membuat kita mengulang peristiwa > kelam 1998. Krisis kesehatan akan memantik krisis ekonomi dan akhirnya > menjadi krisis sosial. Ketika krisis sosial tidak tertangani, yang akan > terjadi krisis politik. > > Lalu langkah terbaik apa yang harus kita lakukan? Kembali ke disiplin > tadi. Bagaimana kita mau menyadari bahwa virus korona ini sangat berbahaya? > Penularannya melalui percikan air liur dari orang yang terpapar covid-19. > Untuk itu kita harus disiplin untuk tidak berdekatan dan tidak berkerumun.. > > Satu hal yang juga harus kita pahami, virus korona itu takut dengan sabun.. > Kalau kita sering mencuci tangan memakai sabun, virus ini akan mati. Kita > harus disiplin untuk sering mencuci tangan dan jangan memegang mulut, > hidung, dan mata sebelum mencuci tangan dengan sabun. > > Kalau kita bisa disiplin melakukan itu, kita bisa seperti bangsa Jerman. > Mereka tidak perlu melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran > virus. Kalau 14 hari penularan bisa diputus, negara itu akan terbebas dari > virus korona. > > Sekarang yang lebih penting kita pikirkan, bagaimana persoalan ekonomi dan > sosial masyarakat bisa ditangani? Daripada terus berdebat soal karantina > wilayah, lebih baik kita menggalang solidaritas sosial. Tidak perlu > besar-besar, cukup kita peduli kepada mereka yang kekurangan di RT kita > masing-masing. Kalau semua mau berbuat dan diikuti dengan disiplin diri, > kita akan cepat melewati masa-masa yang membuat kita tertekan ini. > > > >
[GELORA45] Disiplin
-- j.gedearka https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1790-disiplin Selasa 31 Maret 2020, 05:30 WIB Disiplin Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group | Editorial Disiplin MI/Ebet Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group. KETUA Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo konsisten dengan sikapnya. Hanya tiga hal yang membuat bangsa ini bisa selamat dari ancaman wabah virus korona yaitu, “Disiplin, disiplin, dan disiplin.” Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Banyak negara maju gagal untuk mengendalikan penyebaran virus korona karena lemahnya disiplin. Italia, Spanyol, bahkan Amerika Serikat terus bertambah warga yang terpapar covid-19 karena tidak mampu menegakkan disiplin. Sebaliknya negara demokrasi yang mampu menanamkan sikap disiplin seperti Korea Selatan dan Jerman bisa menyelamatkan banyak jiwa warganya. Demikian pula negara yang sentralistis seperti Tiongkok dan Vietnam sukses untuk mengendalikan penyebaran virus korona, karena disiplin menjadi keharusan. Di mana kira-kira kita berada? Jujur harus kita katakan, bangsa ini rendah disiplinnya. Bahkan sistem demokrasi membuat semua orang merasa boleh berbuat apa saja. Kebebasan tanpa tanggung jawab membuat kita cenderung menabrak semua aturan. Ketidaktertiban mudah sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pengendara motor yang melawan arus sama sekali tidak peduli keselamatan orang lain. Kalau ia diperingatkan bukannya berterima kasih, tetapi malah bisa balik memarahi kita. Kebebasan tanpa batas membuat negara ini tidak mengenal lagi kata ‘rahasia’. Surat berklasifikasi ‘rahasia’ pada satu lembaga bisa beredar dengan bebas di media sosial. Bahkan pers pun menggunakan materi itu untuk dijadikan berita dengan interprestasi yang sesukanya dibuat. Lebih ironis lagi ketika pejabat negara bersikap seperti bukan pengamat, bukan menjadi seorang eksekutif. Dengan kondisi seperti ini aneh jika banyak pihak mendesak pemerintah untuk melakukan karantina wilayah. Bahkan bahasanya dibuat mentereng seperti di negara lain yaitu lockdown. Seakan itulah satu-satunya jawaban untuk mengendalikan wabah virus korona. Padahal kebijakan apa pun jika tidak diikuti dengan disiplin, hasilnya akan sama sama. Mau itu lockdown maupun tidak lockdown, kalau warganya tetap terus berdekatan, tetap masih berkerumun, tidak disiplin kepada dirinya, termasuk masih mudah memegang mulut, hidung, dan mata dengan tangan yang belum dicuci pakai sabun, penularan masih akan terjadi. Ketika warga kita pun masih banyak yang tinggal di tempat yang tidak layak, entah lingkungannya kumuh atau satu rumah diisi beberapa keluarga, potensi penularannya semakin tinggi. Apalagi jika tidak diikuti sikap disiplin untuk tetap tinggal di rumah, akan membuat kebijakan apa pun tidak mungkin bisa berjalan efektif. Apalagi sekarang Dana Moneter Internasional sudah mengingatkan, pandemi virus korona telah menciptakan resesi global. Kehidupan ke depan akan semakin berat. Apalagi ketika negara tidak memiliki kemampuan memberikan jaminan sosial dalam jangka waktu yang panjang. Kesalahan dalam mengambil kebijakan akan membuat kita mengulang peristiwa kelam 1998. Krisis kesehatan akan memantik krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis sosial. Ketika krisis sosial tidak tertangani, yang akan terjadi krisis politik. Lalu langkah terbaik apa yang harus kita lakukan? Kembali ke disiplin tadi. Bagaimana kita mau menyadari bahwa virus korona ini sangat berbahaya? Penularannya melalui percikan air liur dari orang yang terpapar covid-19. Untuk itu kita harus disiplin untuk tidak berdekatan dan tidak berkerumun. Satu hal yang juga harus kita pahami, virus korona itu takut dengan sabun. Kalau kita sering mencuci tangan memakai sabun, virus ini akan mati. Kita harus disiplin untuk sering mencuci tangan dan jangan memegang mulut, hidung, dan mata sebelum mencuci tangan dengan sabun. Kalau kita bisa disiplin melakukan itu, kita bisa seperti bangsa Jerman. Mereka tidak perlu melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus. Kalau 14 hari penularan bisa diputus, negara itu akan terbebas dari virus korona. Sekarang yang lebih penting kita pikirkan, bagaimana persoalan ekonomi dan sosial masyarakat bisa ditangani? Daripada terus berdebat soal karantina wilayah, lebih baik kita menggalang solidaritas sosial. Tidak perlu besar-besar, cukup kita peduli kepada mereka yang kekurangan di RT kita masing-masing. Kalau semua mau berbuat dan diikuti dengan disiplin diri, kita akan cepat melewati masa-masa yang membuat kita tertekan ini.