https://tirto.id/dunia-drama-mandek-kwee-tek-hoay-terbitkan-allah-jang-palsoe-c8o9
Dunia Drama Mandek, Kwee Tek Hoay
Terbitkan "Allah jang Palsoe"
Desain panggung untuk tindakan keenam dari karya sastra "Allah jang
Palsoe". Diilustrasikan oleh Oey. FOTO/Wikipedia
<https://tirto.id/dunia-drama-mandek-kwee-tek-hoay-terbitkan-allah-jang-palsoe-c8o9>
Desain panggung untuk tindakan keenam dari karya sastra
"Allah jang Palsoe". Diilustrasikan oleh Oey. FOTO/Wikipedia
Oleh: Irfan Teguh - 26 Oktober 2018
Dibaca Normal 3 menit
/Minimnya naskah drama yang dibukukan di Hindia Belanda pada awal abad
ke-20 menggelisahkan seorang penulis peranakan Tionghoa sehingga
mendorongnya untuk berkarya./
tirto.id <https://tirto.id/> - Kesastraan Indonesia awal tak bisa
dilepaskan dari para pengarang peranakan Tionghoa. Mereka produktif
menulis pelbagai karya dan umumnya menulis dengan bahasa Melayu-Rendah.
Istilah Melayu-Rendah diciptakan untuk membedakannya dengan
Melayu-Tinggi sesuai standardisasi pemerintah kolonial.
Watak yang tergila-gila dengan standar dan kebakuan itu kemudian
melahirkan Komisi untuk Bacaan Rakyat yang kelak menjadi Balai Pustaka
<https://tirto.id/belanda-butuh-alat-propaganda-lahirlah-balai-pustaka-cYNe>.
Sensor menggila. Bacaan-bacaan yang dianggap liar, termasuk karya-karya
peranakan Tionghoa, tak dapat tempat.
Salah satu pengarang peranakan Tionghoa yang produktif menulis adalah
Kwee Tek Hoay. Ia menulis sejumlah novel dan drama. Jika /Bunga Roos
dari Tjikembang /merupakan novelnya yang paling populer, maka /Allah
jang Palsoe/—meski penjualan bukunya kurang laku—adalah drama yang
disukai khalayak dan menjadi salah satu perintis penulisan drama di
tanah air.
Pungkas hayat Kwee Tek Hoay sungguh tragis. Ia terluka parah setelah
dianiaya perampok yang menyatroni rumahnya di Cicurug, Sukabumi. Pada 4
Juli 1952, ia mengembuskan napasnya yang terakhir.
Cicurug kini adalah sebuah kecamatan yang secara administratif berada di
Kabupaten Sukabumi. Namun, dalam latar drama /Allah jang Palsoe/, Kwee
Tek Hoay menyebutnya masuk ke wilayah Bogor.
Alkisah, dua orang kakak beradik Tan Kioe Gie dan Tan Kioe Lie adalah
anak dari keluarga petani miskin di Cicurug. Mereka bekerja di bidang
pekerjaan dan kota yang berbeda. Tan Kioe Gie bekerja di Jakarta sebagai
redaktur di surat kabar /Kemadjoean/, sedangkan Tan Kioe Lie bekerja di
Bandung di pabrik tapioka sebagai mandor kuli. Keduanya sukses secara
karier dan keuangan, tapi berlainan dalam menyikapi kesuksesan tersebut.
Watak Tan Kioe Gie dan kakaknya bertolak belakang. Ia jujur, dermawan,
dan menghargai kebenaran. Sementara Tan Kioe Lie terlampau memuja uang
yang oleh Kwee Tek Hoay disebut sebagai Allah-nya yang palsu.
Tan Kioe Lie mula-mula hengkang dari perusahaannya karena ada tawaran
lain yang lebih menggiurkan. Di tempat kerja barunya, ia meracuni bosnya
sehingga harta kekayaan bos itu jatuh kepada istrinya yang bernama Houw
Nio yang kemudian ia nikahi.
Pernikahan itu membatalkan pertunangannya dengan seorang gadis pilihan
ayahnya di kampung yang bernama Hap Nio. Pernikahan Tan Kioe Lie dengan
Houw Nio tidak berlangsung lama, sebab istrinya jengah dan muak akan
perilaku suaminya yang menghabiskan harta warisan dari suaminya yang
pertama, dan bahkan terlilit utang. Houw Nio akhirnya pergi meninggallan
Tan Kioe Lie yang tengah dililit persoalan keuangan.
Kondisinya ini membuat Tan Kioe Lie frustrasi dan ia memutuskan untuk
pergi ke Tiongkok. Ia hendak melarikan diri dari segala masalah yang
membelitnya. Namun, dalam perjalanan menuju Batavia mobil yang
ditumpanginya mogok. Karena takut diketahui para penagih utang yang
senatiasa memburunya, Tan Kioe Lie pergi ke rumah adiknya.
Tak Kioe Gie, yang telah keluar dari surat kabar /Kemadjoean/ karena tak
sejalan dengan kebijakan perusahaan media tersebut dan sukses sebagai
petani di Cicurug, bersedia untuk menanggung utang yang harus dibayar
kakaknya. Namun, karena aparat kepolisian terus mengejar Tan Kioe Lie,
sang kakak memilih bunuh diri daripada kejahatannya terbongkar dan nama
baiknya hancur.
/“Ah, aku kira ini perkara susah dibikin beres sebab sudah jatuh di
tangan polisi. Sekalipun bisa dibikin damai, aku toh mesti ditahan lebih
dulu dalam penjara, dan aku tidak suka pikul itu kehinaan. Lebih baik
sekarang aku bikin abis jiwaku di sini!”/ ucap Tan Kioe Lie kepada adiknya.
/“Ai, janganlah engkau berlaku nekat! Saya tanggung ini perkara tidak
jadi apa-apa, jangan putus harapan!”/ timpal adiknya.
Tan Kioe Lie kemudian lari keluar rumah dan terdengar bunyi revolver.
/“Oh, Allah!”/ ucap adiknya. Ia mendapati Tan Kioe Lie yang terkapar
bersimbah darah di pinggir jalan raya.
Baca juga:
* Kisah Cinta Terlarang Orang-Orang Tionghoa di Bandung
<https://tirto.id/kisah-cinta-terlarang-orang-orang-tionghoa-di-bandung-cESB>
* Njoo Cheong Seng, Legenda Panggung Sandiwara Kisah-Kisah Tragis
<https://tirto.id/njoo-cheong-seng-legenda-panggung-sandiwara-kisah-kisah-tragis-c7Er>
Sebuah Percobaan dalam Kemandekan
/Allah jang Palsoe/ (1919) merupakan karya drama pertama Kwee Tek Hoay.
Menurut Claudine Salmon, seperti dikutip Jakob Sumardjo dalam
/Kesusastraan Melayu Rendah/ /Masa Awal/ (2004), naskah ini dibukukan
pengarangnya sebanyak 1.000 eksemplar. Drama ini berdasarkan sebuah
cerpen karangan Phillip Oppenheim yang berjudul "The False Gods".
Kwee Tek Hoay menulis /Allah jang Palsoe/ karena ia merasa bahwa
perkembangan drama di Indonesia saat itu mengalami kemandekan.
Menurutnya, sejauh yang ia tahu, saat itu drama dalam bahasa Melayu yang
dibukukan baru ada tiga buah, yaitu: /Kapitein Item /yang dipertunjukkan
di Batavia saat Ratu Wilhelmina dinobatkan pada 1898, /Raden Beij Soeria
Retno/ karangan F. Wiggers (1901), dan /Karina Adinda/ (1913) karangan
Victor Ido.
“Dan sedang begitu dalam bahasa Melayu, berbeda jauh dengan
bahasa-bahasa Eropa, hampir tidak ada terdapat buku-buku cerita yang
diterbitkan spesial buat dipertunjukkan di atas tonil. Sedang dalam
bahasa-bahasa yang besar di Eropa sejak dari zaman kuno telah
diterbitkan bilang ratus ceritaan komedi yang bagus dan indah, adalah
dalam bahasa Melayu, sebegitu jauh yang saya tahu, baru diterbitkan dua
atawa tiga cerita saja,” tulisnya dalam pengantar buku /Allah jang
Palsoe/ (1919)
Kegelisahan Kwee Tek Hoay tentang minimnya drama yang dibukukan,
berlanjut saat /Allah jang Palsoe/ yang ia cetak sebanyak 1.000
eksemplar itu kurang laku terjual. Meski ia tidak secara gamblang
menyebut karyanya, tapi hal tersebut, menurut Agus R. Sarjono dalam
“Kwee Tek Hoay: Tajem atawa Puntulnya Kitaorang Punya Ujung Pena”,
memperlihatkan keprihatinan dan keberaniannya untuk bermuka-muka dengan
tradisi dan realitas sosial budaya masyarakat yang dominan saat itu,
khususnya kaum peranakan Tionghoa.
Baca juga:
* Kwee Tek Hoay di Tengah Dunia Sastra Peranakan Tionghoa
<https://tirto.id/kwee-tek-hoay-di-tengah-dunia-sastra-peranakan-tionghoa-cJuJ>
* Ketika Orang-Orang Tionghoa Berbisik tentang Mei 1998
<https://tirto.id/ketika-orang-orang-tionghoa-berbisik-tentang-mei-1998-cJ8e>
Infografik Allah jang Palsoe
“Orang tentu merasa heran, bagaimana di Indonesia yang mempunyai
penduduk satu persepuluh dari jumlahnya penduduk di Tiongkok, satu
cerita yang baik tidak bisa terjual sampai 1000 jilid. Sedang sekarang,
berhubung dengan kemajuannya pendidikan, orang yang bisa membaca Melayu
telah tambah beberapa lipat dari 25 tahun lalu. Inilah sebagian ada dari
lantaran kaum terpelajar, yang pandai bahasa Belanda atau Inggris lebih
senang membaca buku-buku cerita yang tertulis dalam itu bahasa daripada
dalam bahasa Melayu,” tulisnya seperti dikutip Agus R. Sarjono.
Percobaan membukukan drama yang dilakukan Kwee Tek Hoay memang patut
diapresiasi, meski cerita yang didadarkannya terlampau didaktis daripada
menawarkan kisah yang lebih kompleks.
Jakob Sumardjo dalam /Kesusastraan Melayu Rendah/ /Masa Awal/ (2004)
menilai bahwa Kwee Tek Hoay lewat /Allah jang Palsoe/ hanya melihat soal
kemaruk harta dari segi moral saja, tanpa mempertanyakan kenapa masalah
kemanusiaan tersebut bisa timbul dan bagaimana cara menanggulanginya.
Lebih lanjut Jakob Sumardjo menuliskan bahwa dalam drama tersebut Kwee
Tek Hoay tampak tidak tertarik terhadap permasalahan kemanusiaan itu
secara mendalam. Ia hanya mengajak penontonnya untuk mengikuti sikap Tan
Kioe Gie yang protagonis, dan menjauhi sifat Tan Kioe Lie yang antagonis.
Namun, Jakon Sumardjo mengingatkan bahwa meski drama yang ditulis pada
1919 absen dari segi kedalaman, /Allah jang Palsoe/ tetap patut
diapresiasi sebab telah menyumbang rintisan awal bagi perkembangan drama
di Indonesia. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa drama itu ditulis
dengan dramaturgi yang benar dan berhasil sebagai sebuah karya sastra.
Jauh sebelum Jakob Sumardjo mengkritisi /Allah jang Palsoe/ dan khayalak
pegiat teater kiwari mengikuti dan mementaskan karya-karya Kwee Tek
Hoay, pengarang tersebut dalam pengantar buku dramanya telah mengakui
kekurangan itu. Ia tahu bahwa karya ini adalah sebuah percobaan pertama
dalam rangka mendobrak kemandekan yang menggelisahkannya.
“Bahwa isi dan aturannya ini buku ada jauh daripada boleh dibilang rapi,
itulah tentu sekali, karena saya memang belum biasa mengarang lelakon
komedi, sedang ini ada percobaan yang pertama kali,” tulisnya.
Baca juga artikel terkait SASTRA INDONESIA
<https://tirto.id/q/sastra-indonesia-dx1?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh
<https://tirto.id/author/irfanteguh?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Sosial Budaya)
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan
"Allah jang Palsoe" adalah drama percobaan yang ditulis Kwee Tek Hoa