From: Indra Ketaren 
Sent: Tuesday, December 6, 2016 10:26 AM
SEJARAH BATIK

Oleh: Djulianto Susantio



Bulan September tahun 2009, UNESCO memberikan pengakuan internasional kepada 
batik Indonesia ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan 
Manusia. Pengakuan ini dilakukan secara resmi pada sidang UNESCO di Abu Dhabi. 
Sebagai ungkapan rasa bahagia, maka setiap tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai 
Hari Batik.

Batik Indonesia dinilai sarat teknik, simbol, dan budaya yang terkait dengan 
kehidupan masyarakat. Hal ini tentu saja membanggakan kita karena sebelumnya 
batik juga diklaim oleh negara lain sebagai warisan nenek moyang mereka.

Memang sejak lama ada berbagai pengaruh luar yang terdapat pada batik. Namun, 
akulturasi atau adaptasi budaya tersebut tidak mungkin dihindarkan. Contohnya 
saja Candi Borobudur. Berbagai pengaruh budaya India, tampak jelas dari 
keagamaan yang diwakili atau relief cerita yang terpahat pada dinding candi. 
Namun Candi Borobudur tetap diakui sebagai karya agung bangsa Indonesia sampai 
sekarang.


Asli Indonesia


Sebenarnya wacana tentang batik sebagai karya adiluhur mulai terlontar pada 
abad ke-19. Ketika itu pakar budaya Hindia Belanda, JLA Brandes mengatakan 
bahwa batik merupakan peninggalan asli milik bangsa Indonesia. Menurutnya, 
segala unsur dalam batik itu tidak dipengaruhi kebudayaan India, baik yang 
bercirikan Hinduisme maupun Buddhisme.

Pada awalnya pendapat Brandes itu mendapat tentangan dari sejumlah pakar budaya 
lain, di antaranya NJ Krom. Dia mengatakan bahwa batik sudah lama dikenal di 
India. Contohnya adalah seni batik yang berkembang di pantai Koromandel. Dari 
India, menurut Krom, seni itu dibawa ke Indonesia melalui jalur perdagangan.

Ada sebuah mitos bahwa pada abad ke-7 seorang pangeran dari pantai timur 
Jenggala bernama Lembu Amiluhur memperisteri seorang puteri bangsawan dari 
Koromandel. Puteri itu lalu mengajari seni membatik, menenun, dan mewarnai kain 
kepada para dayangnya. Maka dari itu orang-orang Jawa memiliki kemampuan 
membatik.

Pakar lain mengungkapkan, kemungkinan batik mulai diperkenalkan pada abad ke-7 
hingga ke-8 oleh masyarakat Cina. Awalnya, pada abad-abad itu sejumlah kerajaan 
kuno di Indonesia mengirimkan misi diplomatik dan perdagangan ke Cina.

Sebagai negara penghasil keramik terbesar, konon di Cina didapati semacam motif 
batik pada keramik zaman dinasti Tang. Bahkan keramik tersebut juga dibuat 
dengan sistem batik, yakni bejana keramik diolesi malam (sejenis lilin) 
terlebih dulu, sebelum dilapisi dengan glasir. Pecahan keramik Cina tiga warna 
yang mirip batik seperti itu, banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi di 
sekitar Candi Prambanan (Satyawati Suleiman, 1986:161). Temuan-temuan itulah 
yang rupanya mendasari teori bahwa batik berasal dari Cina.

Sebagian besar pakar sepakat bahwa asal-muasal batik adalah dari Indonesia. 
Kemungkinan, motif batik terinspirasi dari pola anyaman pada tembikar yang 
berasal dari masa prasejarah. Karena pada masa itu bahan pakaian dibuat dari 
kulit kayu dan serat tumbuh-tumbuhan, maka motif batik masih sangat primitif. 
Demikian pula pewarnaannya masih menggunakan manambul, yakni bahan pewarna 
alami yang menghasilkan warna gelap atau hitam, sebagaimana disebutkan dalam 
Prasasti Alasantan dari masa abad ke-10 Masehi.

Sebagian pakar menduga, batik memang berasal dari Cina dan/atau India. Namun, 
dengan teknologi tradisional, batik dikembangkan oleh masyarakat Jawa dengan 
segala filosofinya.

Diperkirakan, tradisi batik berawal di sekitar abad-abad ke-10, meskipun sulit 
melacak pastinya. Apalagi kata batik tidak ditemukan dalam bahasa Sansekerta 
atau Jawa kuno, bahasa mayoritas waktu itu. Ada dugaan kata batik berasal dari 
kata Melayu kuno tik yang berarti titik. Kain batik pada awalnya memang adalah 
kain yang dihiasi dengan gambar yang dibuat dari garis-garis dan titik-titik.

Pendapat lain mengatakan, kata batik berasal dari bahasa Jawa amba (menulis) 
dan titik, lalu diambil suku kata belakangnya saja: ba dan tik. Memang, 
pembuatan kain batik menggunakan canting yang ujungnya kecil, sehingga memberi 
kesan “orang sedang menulis titik-titik”. Dalam bahasa Jawa krama, batik 
disebut seratan, sementara dalam bahasa Jawa ngoko disebut tulis. Yang dimaksud 
adalah menulis dengan lilin.

Industri batik dalam bentuknya yang paling sederhana, diperkirakan mulai 
dikembangkan pada abad ke-10 itu juga ketika Jawa banyak mengimpor kain putih 
(kain mori) dari India sebagaimana diungkapkan berbagai sumber kuno. Bisa jadi 
lebih berkembang pada abad ke-11, saat sebuah prasasti menyebutkan kata “tulis” 
yang berkonotasi menorehkan desain batik dengan sejenis alat (canting).

Selain sumber tertulis berupa prasasti, motif-motif seperti batik bisa 
ditelusuri lewat sejumlah relief cerita di Candi Borobudur. Hanya penafsirannya 
masih memerlukan bahan pembanding lebih banyak. Persoalannya adalah batu-batu 
candi itu sudah agak aus, sehingga detail gambar kurang terlihat nyata.


Arca


Informasi yang lebih akurat tentang batik ditafsirkan dari berbagai kain yang 
dikenakan oleh sejumlah arca batu. Terutama pada arca-arca yang berukuran 
relatif besar dari zaman Majapahit. Konon arca Kertarajasa yang merefleksikan 
pendiri Majapahit, Raden Wijaya, dalam perwujudannya sebagai Harihara, memakai 
motif batik kawung. Karena itu kemudian batik kawung dianggap sebagai batiknya 
para raja atau bangsawan di Jawa.

Begitu pula pada arca Prajnaparamita yang terdapat di Candi Gumpung, Muara 
Jambi. Arca Harihara dan Prajnaparamita diperkirakan berasal dari abad ke-13. 
Jika motif pada arca tersebut boleh disebut sebagai batik, maka penciptaan 
batik merupakan perjalanan panjang cipta karsa peradaban manusia Nusantara 
sejak berabad sebelumnya.

Tafsiran lain mengatakan pola ceplok yang merupakan pola-pola batik kuno 
terdapat pada berbagai hiasan arca di candi-candi Hindu dan Buddha. Bentuknya 
adalah kotak, lingkaran, binatang, bentuk tertutup, dan garis-garis miring. 
Dasar pola ceplok paling nyata terdapat pada arca Buddha Mahadewa dari Tumpang 
dan arca Berkuti dari Candi Jago.


Perkembangan Batik


Seni membatik mulai membudaya pada abad ke-12. Mula-mula berkembang di Pulau 
Jawa, terutama di daerah Surakarta (Solo) dan Yogyakarta. Diperkirakan batik 
mulai dikenal luas pada abad ke-17. Semula batik ditulis dan dilukis pada daun 
lontar, dengan dominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun lambat laun muncul 
motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber, dan sebagainya. 
Sebuah catatan tertulis menyebutkan batik baru muncul pada 1518 di wilayah 
Galuh, sekitar Barat Laut Jawa di masa pra-Islam.

Jenis dan corak batik tradisional sendiri tergolong amat banyak. Corak dan 
variasinya disesuaikan dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang 
memiliki kebudayaan atau tradisi batik.

Sejarah batik di Indonesia sangat boleh jadi berkaitan dengan Kerajaan Mataram 
Hindu (abad ke-9 hingga ke-10) dan Kerajaan Majapahit (abad ke-13 dan 
seterusnya). Pengembangan batik kemudian banyak dilakukan pada masa-masa 
Kerajaan Mataram Islam, diteruskan pada masa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan 
Yogyakarta.

Pada awalnya, batik merupakan kesenian gambar di atas kain yang dikhususkan 
untuk pakaian keluarga para raja Jawa dan para pengikutnya. Karena itu batik 
hanya dikerjakan terbatas dalam lingkungan keraton. Namun karena banyak 
pengikut raja bertempat tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa 
ke luar keraton dan dikerjakan di rumah masing-masing abdi dalem.

Selanjutnya kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan meluas menjadi 
pekerjaan rumah tangga kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Maka, batik 
yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat 
yang digemari oleh wanita dan pria dari segala golongan ataupun umur.


Majapahit


Batik semakin berkembang setelah akhir abad ke-18, paling tidak awal abad 
ke-19. Batik yang dihasilkan mulanya adalah batik tulis sampai awal abad ke-20. 
Batik cap baru dikenal seusai Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920.

Batik yang telah menjadi kebudayaan di Kerajaan Majapahit, konon jejak-jejaknya 
masih dapat ditelusuri di daerah Mojokerto, Tulung Agung, dan Jombang. Sampai 
akhir abad ke-19 kerajinan batik masih populer di Mojokerto.

Tersebarnya batik ke berbagai wilayah, salah satunya karena dampak Perang 
Diponegoro (1825-1830). Ketika itu pasukan-pasukan Kiai Maja mengundurkan diri 
ke arah timur yang sekarang bernama Majan. Maka dikenallah nama Batik Majan 
yang muncul seusai Perang Diponegoro itu.

Di sejumlah daerah penyebarluasan seni batik dilakukan oleh putri keraton Solo 
yang menikah dengan Kiai Hasan Basri. Di antaranya dibawa ke Tegalsari dan 
Ponorogo, yang memang tidak jauh dari Solo. Yang pertama dikenal adalah batik 
tulis. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah Perang Dunia I, 
dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas.

Dari kerajaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta, batik kemudian menyebar ke 
berbagai daerah, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Kalau pada awalnya batik 
hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian, maka 
pada masa-masa selanjutnya batik dikembangkan menjadi komoditi perdagangan. 
Selama bertahun-tahun Batik Solo sangat disukai kalangan ningrat karena corak 
dan pola tradisionalnya sangat khas, misalnya Batik Sidamukti dan Sidaluhur.

Di Yogyakarta batik mulai dikenal pada masa Kerajaan Mataram Islam dengan 
rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama adalah di desa Plered. 
Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga keraton yang 
dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Oleh karena warga masyarakat 
tertarik pada pakaian-pakaian yang dikenakan oleh keluarga keraton, maka mereka 
menirunya. Akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok keraton.

Akibat dari peperangan antara keluarga raja-raja maupun dengan tentara Belanda 
dahulu, maka banyak keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah 
baru, antara lain ke Banyumas, Pekalongan, Ponorogo, dan Tulungagung. Mereka 
ikut mengembangkan pembatikan ke seluruh pelosok pulau Jawa.


Tarumanagara


Dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita 
turun-temurun, diperkirakan di daerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman 
Kerajaan Tarumanagara. Kemungkinan pohon tarum yang banyak terdapat di sana 
dimanfaatkan untuk pembuatan batik kala itu.

Ke luar Jawa pun batik berkembang, termasuk ke Sumatera Barat. Sumatera Barat 
termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum Perang Dunia I, terutama 
batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Meskipun di Sumatera 
Barat telah berkembang terlebih dahulu industri tenun tangan “tenun Silungkang” 
dan “tenun plekat”, namun batik tetap digemari masyarakat setempat.

Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang. 
Pengembangannya terjadi secara tidak disengaja. Ketika itu akibat blokade 
Belanda, perdagangan batik menjadi lesu. Karenanya pedagang-pedagang batik yang 
biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri. 
Ciri khas dari Batik Padang adalah kebanyakan berwarna hitam, kuning, dan merah 
ungu dengan pola Banyumasan, Indramayuan, Solo, dan Yogyakarta.

Di antara berjenis-jenis batik, tidak dimungkiri kalau yang paling populer 
sampai sekarang adalah Batik Pekalongan. Perjumpaan masyarakat Pekalongan 
dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang 
pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. 
Ada beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut 
yang kemudian dikenal sebagai jati diri Batik Pekalongan. Motif Jlamprang, 
umpamanya, merupakan ilham dari India dan Arab. Lalu Batik Encim dan Klengenan, 
dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda (disebut juga Batik VOC atau 
Batik Kompeni), Batik Pagi Sore, dan Batik Hokokai, tumbuh pesat sejak 
pendudukan Jepang.

Sebagai pakaian adat yang dulu banyak dipakai kalangan keraton, tentu saja 
batik sudah mempunyai motif baku yang penuh filosofi. Pada dasarnya ragam hias 
batik yang bercirikan tradisional adalah pola geometrik (ceplokan, pola hias 
kawung, nitik, lereng, parang, dll) dan pola non-geometrik (sidaluhur, 
sidamukti, semen rama, dll).

Dulu, pakaian batik menunjukkan status sosial. Selain itu banyak dipakai untuk 
upacara daur hidup. Namun dalam perkembangan selanjutnya batik berubah menjadi 
kain hiasan, artinya tidak digunakan semata-mata untuk pakaian tetapi juga 
untuk seprei, taplak meja, sarung kursi, dan sebagainya.

Patut dipertanyakan, apakah kita sudah bangga dengan ditetapkannya batik 
sebagai ikon warisan budaya asal Indonesia yang bertaraf internasional? 
Bagaimana dengan upaya pelestarian batik, yang semakin tahun semakin sedikit 
pendukungnya?

Pada pertengahan 2009 Departemen Arkeologi UI diundang oleh Walikota Pekalongan 
untuk berkunjung ke Museum Batik di sana. Maksudnya agar Tim Arkeologi UI bisa 
memberikan masukan untuk pengembangan batik di museum tersebut.

Di antara kegiatan itu tim UI sempat mengunjungi pengrajin batik terkenal di 
masa lalu, yakni seorang pioner batik peranakan. Ironisnya, saat ini tinggal 
cucunya seorang diri yang mengembangkan batik tersebut. Lainnya sudah gulung 
tikar atau alih profesi. Cucunya ini masih bertahan hanya karena ingin 
mempertahankan kehidupan para pengrajin yang sudah lama ikut dengan kakeknya 
dulu.

Hal ini tentu sangat dilematis, mau di kemanakan bila usaha ini tutup. “Sebagai 
jalan keluar Departemen Arkeologi sekarang ikut membantu memasarkan batik ini 
agar pengrajin terbantu, sementara batik peranakan tetap lestari,” kata Dr. 
Heriyanti, salah seorang dosen di Departemen Arkeologi UI.

Pada dasarnya batik dibedakan atas dua macam berdasarkan lokasinya, yakni batik 
pesisiran dan batik pedalaman. Batik pesisiran lebih berkembang karena banyak 
mendapat pengaruh dari luar. Dari teknik pembuatannya dikenal beberapa jenis 
batik, yaitu batik simbut, batik tulis, batik cap, batik printing, batik prada, 
dan batik campuran.


Batik Pengaruh Cina


Budaya Cina banyak memengaruhi ragam hias batik di Jawa, terlebih pada daerah 
pesisir utara Jawa. Corak hias naga, burung hong, bunga peony, dan rumpun bambu 
sering dijumpai pada batik-batik tersebut. Misalnya saja pada Batik Cirebon, 
Batik Lasem, dan Batik Pekalongan. Begitu juga di Rembang, Juwana, dan Pati. Di 
ketiga daerah ini batik gaya Cinanya disebut Lok Can.

Lok Can adalah salah satu jenis batik sutera yang paling populer, arti 
sebenarnya adalah sutera kebiru-biruan. Dulu batik Lok Can dipasok ke Bali, 
Nusa Tenggara, dan Sumatera. Bahkan diekspor ke Shanghai dan Hongkong.

Di daerah Cirebon dan Lasem berkembang Batik Bang-bangan. Batik ini menggunakan 
warna merah (Jawa, abang) pada proses pencelupannya, di atas warna dasar coklat 
sehingga menghasilkan warna merah bata yang unik.

Batik biru putih disebut Batik Kelengan, banyak ditemukan di daerah Ciledug, 
Cirebon. Batik ini dibuat dari bahan dasar kain katun dengan proses pewarnaan 
dan bahan-bahan alami (Buku Pengantar Pameran Tekstil dan Busana Indonesia yang 
Dipengaruhi Budaya Cina, 2005)

Pengaruh Cina tampak pula pada Batik Tiga Negeri. Dinamakan demikian karena 
proses pencelupan dan pelilinan berlangsung di tiga sentra batik yang berbeda, 
yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo.

Salah satu corak batik pesisiran yang lumayan populer adalah Batik Buketan, 
dari bahasa Inggris bouquet. Batik ini sering diperkaya dengan ragam hias 
berupa kumpulan karangan bunga.


Penggolongan Batik


Penciptaan batik tidak terjadi begitu saja. Batik membutuhkan kain, kain 
membutuhkan keterampilan memintal. Memintal juga membutuhkan keterampilan 
memilih bahan yang tepat untuk kemudian diolah menjadi benang dan dirangkai 
menjadi pintalan.

Di beberapa wilayah di Indonesia, banyak dijumpai bahan-bahan pembuatan batik 
dari bahan alami, seperti kayu pohon mengkudu, kunyit, tinggi, soga, dan nila. 
Juga bahan soda yang dibuat dari soda abu serta garam yang dibuat dari tanah 
lumpur.

Kain batik memiliki nilai sejarah yang tak ternilai, karena pada kain batik 
terdapat makna suatu peristiwa, identitas, penjelasan strata sosial, bahasa 
kebudayaan, spiritualitas manusia, penemuan teknologi, dan perjalanan suatu 
peradaban.

Batik merupakan seni melukis yang dilakukan di atas kain. Dalam pengerjaannya, 
pembatik menggunakan lilin atau malam untuk mendapatkan ragam hias atau pola di 
atas kain yang dibatik dengan menggunakan alat yang dinamakan canting.

Indonesia memiki banyak karya budaya. Batik merupakan salah satu warisan budaya 
Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. 
Dibandingkan peninggalan budaya lainnya, seni batik memiliki kelebihan 
tersendiri. Nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan 
visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan 
pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang 
muncul dalam komposisi batik itu.

Kegiatan membatik merupakan sebuah proses yang membutuhkan ketelatenan, 
keuletan, kesungguhan, dan konsistensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari 
serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain, membuat pola, membuat isian, 
hingga pengeringan.

Batik dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu proses pembatikan, kualitas 
pembatikan, motif, dan warna batik. Beberapa orang ada yang memperhitungkan 
makna atau nilai yang terkandung dalam selembar kain batik.

Secara visual, batik mempunyai sejumlah pakem yang mesti diterapkan dalam 
penggunaannya. Baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan motif 
tersebut beserta acara atau upacara ritual yang akan diselenggarakan. Tidak 
sembarang orang boleh menggunakan pola tertentu. Pola Parang Rusak, misalnya, 
hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola Truntum yang diperuntukkan bagi 
pasangan pengantin.

Warna yang digunakan pada batik keraton terbatas pada pewarna alami. Ini karena 
pada masa itu belum ditemukan pewarna sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, 
penerapan warna seperti hitam, merah, putih atau coklat mengacu pada pakem yang 
berlaku. Semua tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan 
harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan 
utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya seni, dalam hal ini adalah 
batik. Penciptaan tersebut merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. 
Hal ini kiranya sesuai dengan adagium “seni sebagai seni”, bukan seni untuk 
sebatas harta.


Desain Batik


Pada umumnya ada dua jenis desain batik, yaitu geometris dan non-geometris. 
Desain geometris terdiri atas (1) motif parang dan diagonal, (2) 
persegi/persegi panjang, silang atau motif ceplok dan kawung, dan (3) motif 
bergelombang (limar). Sementara desain non-geometris terdiri atas (1) semen 
[motif semen terdiri atas flora, fauna, gunung (meru), dan sayap yang dirangkai 
secara harmonis], (2) buketan, dan (3) lunglungan.

Ditinjau dari jenisnya, kita mengenal batik keraton, yakni batik dari Surakarta 
(Solo) dan Yogyakarta (Yogya). Batik keraton memiliki beberapa motif dan 
filosofi. Motif Ceplokan Kasatrian digunakan oleh masyarakat kelas menengah ke 
bawah, orang yang mengenakannya akan terlihat gagah dan kepribadian yang 
berani; Motif Parang Rusak Barong (parang berarti senjata) menunjukkan 
kekuatan, kekuasaan, dan pergerakan yang gesit, ksatria yang mengenakan batik 
ini terlihat gagah dan cekatan; Motif Kawung digunakan oleh para Raja dan 
keluarga kerajaan, sebagai sebuah simbol kekuasaan dan keadilan; Motif Truntum 
(truntum berarti membimbing), mengandung makna bahwa diharapkan orang yang 
memakainya dapat memperoleh dan memberi kebaikan.

Jenis lainnya adalah batik pesisir, yakni batik yang dibuat di luar daerah Solo 
dan Yogyakarta. Beberapa contohnya Motif Megamendung dari Cirebon, Motif 
Paksinagaliman dari Cirebon, Motif Merak Ngibing dari Indramayu, dan Motif 
Sawat Gunting, juga dari Indramayu.

Batik harus benar-benar kita lestarikan. Pengalaman yang lalu-lalu menunjukkan 
pelestarian berbagai peninggalan masa lampau hampir selalu terabaikan karena 
masalah dana. Nah, mulailah membuka mata, perjuangan keras agar batik tidak 
diklaim negara lain sudah berhasil, kini upaya pelestarian harus benar-benar 
dipikirkan.


Sejarah Teknik Batik


Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah 
salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini 
telah dikenal sejak abad ke-4 SM, dengan ditemukannya kain pembungkus mumi yang 
juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga 
diterapkan di Cina, semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang 
semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh 
Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, 
batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer 
akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik 
tulis sampai awal abad XX. Batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau 
sekitar tahun 1920-an.

Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri 
tidak tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa teknik batik ini kemungkinan 
diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.

Di sisi lain, J.L.A. Brandes dan F.A. Sutjipto percaya bahwa tradisi batik 
adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu 
dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme 
tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad 
ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa 
dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting 
ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan 
Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke 
India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada 
setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri 
kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya 
mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Serasah itu 
ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku 
History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah 
menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda.

Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik 
yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan 
pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu 
dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia 
memukau publik dan seniman.

Sejak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, 
batik jenis baru muncul. Dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara 
batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan 
canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari 
Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.


Budaya Batik
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian 
dari budaya Indonesia, khususnya Jawa, sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di 
masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata 
pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan 
eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya 
laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, 
yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada 
corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik 
adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun-temurun, sehingga 
kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. 
Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat 
ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton 
Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia yang sampai saat ini masih ada. 
Batik pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada 
waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Corak Batik
Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, 
batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya 
boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai 
pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para 
penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga 
mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada 
batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal 
(seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung 
atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna 
biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam 
upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan 
masing-masing.

Pada awalnya baju batik kerap dikenakan pada acara acara resmi untuk 
menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya pada masa Orde Baru baju batik 
juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah dan pegawai negeri (batik 
Korpri) setiap hari Jumat. Perkembangan selanjutnya batik mulai bergeser 
menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum wanita. Pegawai swasta 
biasanya memakai batik pada hari Kamis atau Jumat.

Di Malaysia setiap Kamis, semua pegawai negeri lelaki diharuskan memakai baju 
batik Malaysia mulai 17 Januari 2008. Ketua Pengarah Jabatan Perkhidmatan Awam 
Tan Sri Ismail Adam telah membagikan kepada semua jabatan kerajaan. Sebelum ini 
peraturan memakai baju batik hanya pada Sabtu saja. Kemudian diubah kepada hari 
ke-1 dan hari ke-15 setiap bulan. Tetapi banyak yang melupakannya.

-- 



You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"Gastronomi Indonesia" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to gastronomi-indonesia+unsubscr...@googlegroups.com.
To post to this group, send email to gastronomi-indone...@googlegroups.com.
To view this discussion on the web visit 
https://groups.google.com/d/msgid/gastronomi-indonesia/66a3db2a-1659-4a38-bf8b-ff401a80ddc2%40googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke