-------- 轉寄郵件 --------
主旨: [nasional-list] Tertahanpulang karena G30S, Florensia jadi dokter
di Perang Vietnam
日期: Mon, 19 Oct 2020 22:44:58 +0200
從: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [nasional-list]
<nasional-l...@yahoogroups.com>
_https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/150923_indonesia_lapsus_eksil_florensia_
*Tertahan pulang karena G30S, Florensia jadi dokter di Perang Vietnam*
*
Endang Nurdin
*
Wartawan BBC Indonesia
1 Oktober 2015
florensia
Keterangan gambar,
Florensia menangani sekitar 100 sampai 200 pasien di rumah sakit
lapangan selama Perang Vietnam.
*Pada musim dingin yang menggigit di akhir tahun 1966, seorang dokter
perempuan muda Indonesia, memutuskan untuk meninggalkan Rusia setelah
lulus beasiswa dari fakultas kedokteran di satu universitas Rusia, yang
masuk dalam Uni Soviet saat itu.*
Tujuannya adalah Vietnam, dan ditempuh dengan kereta api, melalui Cina
dengan total perjalanan sekitar 10 hari.
Tidak ada orang Indonesia lain yang menemani dokter muda yang saat itu
berusia 24 tahun dalam mengarungi perjalanan panjang lebih dari 10.000
kilometer itu.
Florensia hampir menamatkan studinya sebagai mahasiswa kedokteran di
Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa di Moskow, Rusia, saat mendengar
'terjadi sesuatu' pada bulan September dan Oktober 1965.
Ia termasuk di antara ratusan eksil Indonesia yang saat peristiwa 1965
meletus tengah berada di luar negeri untuk berbagai tujuan, ada yang
dikirim sekolah, diutus sebagai diplomat atau menjadi wakil organisasi
internasional.
Florensia - yang menamatkan fakultas kedokteran pada 1966- khawatir
untuk pulang karena keselamatannya setelah mendengar cerita
mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah terlebih dahulu kembali ke Indonesia
mengalami penyiksaan dan dipenjara.
"Saya hanya mendengar terjadi sesuatu...dan bahwa Presiden Soekarno
sakit," kata Florensia.
*Jadi dokter militer di Perang Vietnam*
Ia dan mahasiswa Indonesia lain diizinkan pihak universitas untuk
menyelesaikan studi.
warga menyelamatkan diri saat perang vietnam
SUMBER GAMBAR,
GETTY
Keterangan gambar,
Warga sipil Vietnam menyelamatkan diri saat perang.
Walaupun sempat bekerja di Rusia, ia dan sejumlah orang Indonesia lain
diajak pemuda dari organisasi Vietnam untuk menjadi sukarelawan di
negara tersebut.
"Saya bekerja di rumah sakit lapangan. Jadi sewaktu-waktu harus bisa
melarikan pasien ke tempat lain, karena kalau ada tanda suara tiit tit,
tempat itu akan dibom berarti tempat itu pasti ada mata-mata," kata
Florensia.
"Pasien yang datang dari medan perang, datang dengan luka yang tidak
baru, jumlahnya sekitar 100 sampai 200 orang, berat sekali urus pasien,
obat tak cukup, dan ada bantuan dari Tiongkok dan obat tradisional. Tapi
juga tidak cukup."
"Penduduk di Vietnam, diminta untuk menampung satu pasien. Kami membuat
sendiri tempat dari bambu dan kasur dari rumput yang kami keringkan dan
untuk tempat tidur. Yang tidak ada kaki, kami buatkan tempat tidur dari
bambu dengan lubang jadi mereka yang buang air langsung di situ," tambahnya.
"Yang paling berat kalau operasi, obat biusnya kurang. Orang
menjerit-jerit, kasian sekali, tapi kami harus menyelamatkan mereka."
Setelah beberapa tahun bekerja sebagai dokter militer di rumah sakit
lapangan, Florensia bertemu dengan Suranto, yang juga menjadi
sukarelawan di Perang Vietnam dan bertugas mereparasi senjata.
Suranto
Keterangan gambar,
Florensia bertemu dengan Suranto di Vietnam dan menikah saat perang
masih berkecamuk.
Sama seperti Florensia, Suranto juga menamatkan studi di Universitas
Persahabatan Bangsa-Bangsa jurusan teknik mesin.
Selama Perang Vietnam, semua sukarelawan dilatih untuk "tutup mulut,
tutup telinga, tutup mata. Tidak boleh menjawab yang tak dikenal, tidak
boleh mengatakan apa yang diketahui dan didengar."
*'Ayah saya dieksekusi'*
"Kami makan batang pohon pisang...sangat miskin saat itu, dan mencari
makan untuk pasien juga sangat sulit."
bersembunyi dari bom
SUMBER GAMBAR,
GETTY
Keterangan gambar,
Warga sipil berlindung dari pemboman pada tahun 1967.
Florensia melahirkan dua putrinya di perbatasan Vietnam-Cina, dan dua
bayinya dititipkan ke orang Indonesia lain yang saat itu juga berada di
perbatasan kedua negara, sebelum bertolak ke medan perang.
Perjalanan keluarganya dilanjutkan ke Cina pada 1972 setelah Kementerian
Pertahanan Vietnam saat itu meminta agar orang asing keluar dari negara itu.
"Saya selalu terpikir kapan bisa pulang, tetapi apa boleh buat. Saya
sudah menerima kenyataan terpisah dari keluarga dan mungkin tak bisa
bertemu lagi," kata Florensia.
"Saya dengar terjadi pembunuhan luar biasa, termasuk ayah saya
dieksekusi setelah mendengar anaknya sekolah di Rusia."
"Kami bukan pelarian politik. Kami terhalang pulang. Presiden Soekarno
mengirim kami untuk studi di luar negeri untuk tujuan membangun negeri
sendiri. dan pemerintah orde baru meminta kami untuk mengutuk Soekarno.
Kami tidak mau. Kalau toh pulang, ya leher ini," kata ibu dua putri yang
saat ini berusia 74 tahun.
para korban
SUMBER GAMBAR,
GETTY
Keterangan gambar,
Para korban perang Vietnam yang diamputasi.
Florensia, Suranto dan kedua putri mereka tinggal selama 17 tahun di
Cina setelah sempat selama empat tahun tidak diizinkan bekerja karena
terjadi Revolusi Kebudayaan,
Menjelang normalisasi Cina dan Indonesia pada 1990, Jakarta meminta
Beijing untuk memulangkan orang-orang Indonesia yang tinggal di sana.
Namun Beijing menolak dan menawarkan izin tinggal di Cina atau diberi
surat perjalanan menuju negara lain.dam "mengejar kemajuan teknologi."
Asvi mengatakan para mahasiswa ini dikirim ke luar negeri ke negara
"yang dianggap bisa mentransfer teknologi seperti ke Uni Soviet, Eropa
timur dan Tiongkok dengan ilmu yang bisa dipakai untuk pembangunan
Indonesia.”
Florensia dan keluarganya memilih ke Eropa dan tinggal sampai saat ini
di Utrecht, Belanda, sampai sekarang.
Ia pertama kali kembali ke Indonesia dan menemui ibu dan adik-adiknya
pada 1992 dan telah berkunjung beberapa kali sejak itu.
Florensia dan Suranto termasuk di antara ribuan mahasiswa yang dikirim
ke luar negeri pada 1960an untuk apa yang disebut sejarawan dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman A