-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1946-habis-penyakit-terbitlah-utang



Sabtu 26 September 2020, 05:00 WIB 

Habis Penyakit, Terbitlah Utang 

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group | Editorial 

  Habis Penyakit, Terbitlah Utang MI/Ebet Abdul Kohar Dewan Redaksi Media 
Group. JUDUL di atas ialah terjemahan bebas dari kalimat after the disease, the 
debt. Majalah The Economist menuliskan kata-kata itu pada sampul edisi 25 
April-1 Mei 2020. Cukup alasan mengapa majalah terkemuka Inggris tersebut 
mengingatkan negara-negara di dunia akan mahalnya ongkos ekonomi akibat pandemi 
covid-19, bahkan sejak saat pandemi baru memasuki tahap dini lima bulan lalu. 
Di tengah kondisi yang sangat suram, seluruh negara dan otoritas moneter harus 
memberikan obat pereda rasa sakit berupa stimulus agar krisis kemanusiaan dan 
ekonomi tidak semakin memburuk dan membuat kejatuhan ekonomi makin dalam. 
Triliunan dolar AS dipompa ke kocek masyarakat dan sistem keuangan untuk 
mengangkat daya beli masyarakat, mencegah kejatuhan harga aset keuangan, 
mencegah kebangkrutan dunia usaha, mencegah ledakan PHK, dan mencegah korban 
jiwa yang lebih besar. Kemerosotan yang mencengangkan, tulis The Economist, 
dalam keuangan publik sedang berlangsung. Defi sit meningkat di seluruh negara 
maju karena pemerintah secara agresif melonggarkan dompet mereka sebagai 
tanggapan terhadap pandemi. Pemerintah AS, misalnya, akan mengalami defisit 15% 
dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini. Angkanya akan naik jika lebih 
banyak stimulus diperlukan. Jepang, negara dengan ekonomi relatif stabil selama 
beberapa dekade, setali tiga uang. Mereka mulai mengalkulasi warisan mahal 
pagebluk ini. Apalagi, pada 2019 utang publik bruto Jepang sudah hampir 240% 
dari PDB. Walhasil, defisit akan kian menganga. Di seluruh negara kaya, IMF 
mencatat utang pemerintah bruto akan naik US$6 triliun menjadi US$66 triliun 
pada akhir tahun ini. Itu berarti naik dari 105% PDB menjadi 122% PDB 
—peningkatan yang lebih besar daripada yang terlihat di tahun mana pun selama 
krisis keuangan global. Mengelola utang kolosal seperti itu akan membebani 
masyarakat selama beberapa dekade mendatang. Bahkan, secara agak mengerikan The 
Economist melukiskannya dengan kalimat, ‘Jam utang nasional yang terus berdetak 
di dekat Times Square di New York telah memperingatkan Armageddon fi skal yang 
akan segera terjadi sejak 1989’. Lalu, apa kabar dengan Indonesia? Ternyata 
sama juga. Sembari menyatakan fakta pahit soal datangnya resesi ekonomi, 
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan angka-angka defi sit yang 
terjadi, awal pekan ini. Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mencapai Rp500,5 triliun hingga 
Agustus. Defisit terjadi karena penerimaan negara baru mencapai Rp1.034,1 
triliun, padahal belanja negara sudah Rp1.534,7 triliun. Defisit anggaran itu 
setara dengan 3,05% PDB, atau telah mencapai 48,2% dari target defisit dalam 
Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar 6,34% dari PDB. Kenaikan defi sit yang 
sangat besar jika dibandingkan dengan defi sit pada periode yang sama tahun 
lalu, yang mencapai Rp197,9 triliun. Maka, persis seperti kalimat dalam sampul 
The Economist, defisit yang terus menganga harus ditambal dengan utang karena 
tak tersedia lagi jalan selain itu. Kemenkeu mencatat realisasi pembiayaan 
utang sudah Rp693,6 triliun hingga Agustus 2020. Pembiayaan utang dilakukan 
untuk menutup defisit anggaran Rp500,5 triliun. Utang tersebut sudah mencapai 
56,8% dari target dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp1.220,5 triliun. 
Jumlahnya juga tumbuh 143,3% jika dibandingkan dengan utang pada periode yang 
sama tahun lalu. “Ini kenaikan luar biasa. Beban APBN kita luar biasa berat,” 
kata Sri Mulyani dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (22/9). Tingkat 
utang memang menciptakan ketidakpastian jangka panjang, terutama terkait dengan 
bagaimana negara akan membayar pinjaman itu. Namun, dalam ekonomi modern 
tersedia rumus defi sit dan utang merupakan ‘kejahatan yang diperlukan’. 
Apalagi, untuk mengendalikan pandemi yang belum bisa dideteksi kapan akan 
berhenti. Tanpa pelonggaran yang signifi kan dan dukungan fiskal, resesi bahkan 
bisa menjadi depresi. Otot-otot ekonomi bisa kian lunglai. Persendian ekonomi 
bisa makin kelu. Karena itu, senyampang masih bisa dijaga secara ketat, 
menambal defi sit dengan utang bukanlah barang haram, apalagi kiamat. Jangan 
pula angka-angka di atas dijadikan amunisi untuk memainkan politisasi. Selama 
ini isu utang kerap jadi gorengan gurih para petualang dan peselancar politik 
untuk menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah melalui cap ‘rezim utang’. 
Padahal, jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, rasio utang 
Indonesia masih jauh lebih rendah, di kisaran 30% dari PDB. Kendati demikian, 
kepada pemerintah perlu selalu diingatkan untuk menjaga defi sit dan utang 
secara sangat ketat, sangat ketat, dan sangat ketat. Munculnya Perpres 72/2020 
yang menyediakan akselerasi bagi penggunaan anggaran negara untuk penanganan 
covid-19 jangan pula dijadikan amunisi oknum pemburu rente untuk gegabah 
menggerojokkan anggaran minus pertanggungjawaban sebab akselerasi itu 
berpotensi menaikkan rasio utang kita menjadi 36% PDB. Jangan sampai kita jatuh 
dalam perangkap seperti yang diingatkan ekonom Ludwig von Mises, “Apakah kita 
berusaha menyembuhkan penyakit saat ini dengan menabur benih penyakit yang jauh 
lebih besar untuk masa depan?” Tentu saja harus lantang dijawab: sangat tidak, 
sangat tidak, dan sangat tidak.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1946-habis-penyakit-terbitlah-utang





Kirim email ke