Berita yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang tidak percaya bahwa Bank 
Dunia, sebagai lembaga keuangan Imperialis, adalah musuh rakyat pekerja. 
Hubungan industrial fleksibel adalah penerapan kongkrit dari Neo-Liberalisme.. 
Politik ini tidak hanya diterapkan di negeri-negeri Dunia Ketiga, seperti 
Indonesia, tapi juga di "welfare states" seperti Belanda. Antara lain melalui 
"Kontrak Zero jam". Lagi-lagi kenyataan ini tidak dipahami oleh banyak sekali 
pekerja yang datang dari negeri Dunia Ketiga, karena mereka selalu 
membandingkan dengan situasi di negerinya sendiri. Jadi walaupun upahnya turun 
dan pekerjaannya sangat tidak stabil dengan jam kerja yang berubah-ubah, tetap 
saja mereka berterima kasih kepada perusahaan, tidak merasa dihisap dan 
diperas!!! memang sulit diharapkan mereka akan mengerti, sementara orang yang 
tahu Marxisme juga bisa sampai pada kesimpulan di negeri-negeri Skandinavia 
tidak ada penghisapan!!!!

Ide Bank Dunia Melindungi Buruh yang Tak Pro Buruh

Sejumlah pekerja pabrik rokok menerima uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran 
di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (15/6). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Oleh: Damianus Andreas - 28 Mei 2018Dibaca Normal 2 menitBank Dunia dalam 
laporan terbarunya menggagas agar negara-negara menerapkan kebijakan yang lebih 
lunak terhadap para pengusaha.tirto.id - World Bank atau Bank Dunia mengusulkan 
agar negara-negara miskin maupun berkembang mengurangi sejumlah peraturan 
ketenagakerjaan. Di antara aturan yang dimaksud adalah soal upah minimum, 
pesangon, serta wewenang pemberi kerja dalam merekrut atau menghentikan 
pekerjanya. Dengan kata lain, World Bank ingin relasi kerja atau hubungan 
industrial yang lebih fleksibel.

"Dalam banyak kasus, peraturan ketenagakerjaan—termasuk upah minimum, hambatan 
dalam keputusan perekrutan dan pemecatan, dan uang pesangon—membuat perusahaan 
terlalu mahal dalam menyesuaikan tenaga kerjanya untuk mengakomodasi perubahan 
teknologi," demikian tulis World Bank dalam laporan kerja bertajuk World 
Development Report 2019 halaman 117 (PDF).

Visi dari usulan tersebut, menurut institusi yang lahir setelah konferensi 
Bretton Woods pada 1944 itu, adalah untuk menyiapkan negara-negara miskin dan 
berkembang dalam menghadapi perubahan iklim pada industri kerja. 

Mereka sedang bicara soal perubahan karena teknologi yang kerap disebut 
"Revolusi Industri 4.0." Dalam lanskap revolusi ini, penggunaan kecerdasan 
buatan atau Artificial Intelligence dan otomatisasi meningkat sehingga tenaga 
kerja manusia semakin tak dibutuhkan secara langsung untuk menggerakkan 
mesin-mesin pabrik. 

   

Bank Dunia menilai peraturan ketenagakerjaan yang tidak terlalu membebani 
pemberi kerja dapat menjadi peluang bagi perusahaan dan berdampak baik bagi 
keseluruhan iklim ketenagakerjaan. 

"Dengan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik, secara alamiah semakin 
banyak perusahaan yang sukses mencapai puncak." (hlm. 78). 

Sebagai ganti dari pereduksian hak-hak pekerja itu, World Bank menawarkan apa 
yang dinamakan dengan "Kontrak Sosial Baru" yang salah satunya adalah 
menghabiskan lebih banyak investasi ke bidang sumber daya manusia. "Investasi 
dalam sumber daya manusia meningkatkan peluang bagi pekerja untuk mencari 
pekerjaan yang lebih baik. Investasi semacam itu meningkatkan prospek pekerjaan 
untuk bayi yang baru lahir atau anak-anak sekolah." 

Simpulan Bank Dunia bertolak belakang dengan apa yang mereka katakan lima tahun 
lalu lewat laporan yang sama. Ketika itu World Bank bilang peraturan 
ketenagakerjaan tidak atau berdampak minimal pada tingkat pekerjaan. Laporannya 
bisa dibaca di sini (PDF).

Usulan Bank Dunia ini, seperti bisa ditebak, akan ditentang oleh buruh. 
Perwakilan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (International Trade Union 
Confederation), Peter Bakvis, menilai usulan tersebut merupakan bentuk 
kemunduran. Bakvis menyebutkan rekomendasi ini tidak sesuai dengan agenda 
kemakmuran bersama yang digagas Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim.




Bakvis berpendapat bahwa usulan itu hampir sepenuhnya "mengabaikan hak-hak 
pekerja."

"Visi ini akan membuat perusahaan terbebas dari beban kontribusi untuk jaminan 
sosial, punya fleksibilitas untuk membayar upah serendah yang diinginkan, serta 
memecat sesuka hati," kata Bakvis di Washington DC, Amerika Serikat, kepada The 
Guardian.

"Serikat pekerja pun akan memiliki peran yang berkurang dalam pengaturan baru 
yang bertujuan untuk memperluas suara pekerja," tambahnya.

Seorang juru bicara Bank Dunia yang tidak disebutkan namanya mengatakan 
kepadaThe Guardian bahwa gagasan pada laporan tersebut dapat diaplikasikan 
pemerintah di seluruh dunia. Ia berharap usulan ini dapat menciptakan manfaat 
bagi buruh, dan semua masyarakat.

"Untuk menghapus kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran bersama, kita perlu 
mempertimbangkan inisiatif-inisiatif baru guna mengatasi gangguan yang pasti 
akan datang dari berbagai perubahan struktural," katanya.


Revisi UU Ketenagakerjaan

Dalam konteks Indonesia, aturan mengenai ketenagakerjaan diatur dalam 
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaaan. Jika rekomendasi 
Bank Dunia ini hendak diterapkan, maka yang pertama mesti dilakukan adalah 
merevisi UU ini.

Baca juga:   
   - Benarkah Tenaga Kerja Asing Mudah Masuk Indonesia?
   - Buruknya Jaminan Hak Pekerja Indonesia

Namun ini sebetulnya bukan perkara baru. Revisi UU Ketenagakerjaan telah 
diwacanakan sejak lama meski laporan Bank Dunia baru dilansir April lalu. 
Revisi pertama telah diwacanakan ketika aturan ini baru berusia tiga tahun. 

Pun demikian dengan tahun lalu. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 
mengatakan salah satu yang mesti diatur ulang adalah uang pesangon. Sekretaris 
Umum Apindo, Iftida Yasar mengatakan pengusaha keberatan dengan uang pesangon 
yang nominalnya sebesar 32 kali gaji. 

Bahkan lebih jauh dari revisi, dalam situsnya Apindo merekomendasikan 
pemerintah dan DPR untuk mengganti UU Ketenagakerjaan dengan UU baru. UU 
Ketenagakerjaan secara kebetulan lahir pada masa partai yang berkuasa saat ini, 
melahirkan UU ini 15 tahun lalu.

"Apindo menilai UU No 13/2003 tidak sekadar perlu direvisi, namun arus diganti. 
Pembentukan UU yang baru harus dilakukan satu paket dengan UU Serikat Pekerja 
(SP/SB) dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) secara 
komprehensif," tulis mereka pada 19 Mei 2017.

Meski didesak kalangan pengusaha, UU Ketenagakerjaan tetap dalam posisi status 
quo. Aturan ini tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 
2018.

Namun, catatan dari Bank Dunia ini menjadi sinyal bahwa gagasan hubungan 
industrial yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi nampaknya sedang 
berlangsung di dunia.
Baca juga artikel terkait UU KETENAGAKERJAAN atau tulisan menarik lainnya 
Damianus Andreas
(tirto.id - Bisnis) 

Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino

Kirim email ke