https://tirto.id/ironi-anak-anak-pekerja-ondel-ondel-di-jakarta-ddgf
Ironi Anak-Anak Pekerja Ondel-ondel
di Jakarta
Seorang anak menggendong ondel-ondel di kawasan Monas, Jakarta Pusat.
Ondel-ondel tersebut digunakan sebagai sarana mengamen kepada wisatawan
di kawasan Monas. ANTARA FOTO/Andika Wahyu
<https://tirto.id/ironi-anak-anak-pekerja-ondel-ondel-di-jakarta-ddgf>
Seorang anak menggendong ondel-ondel di kawasan Monas,
Jakarta Pusat. Ondel-ondel tersebut digunakan sebagai sarana
mengamen kepada wisatawan di kawasan Monas. ANTARA
FOTO/Andika Wahyu
Oleh: Mulia Ramdhan Fauzani - 5 Januari 2019
Dibaca Normal 4 menit
/Arak-arakan ondel-ondel di Jakarta banyak melibatkan anak-anak di bawah
usia 18 tahun. Bahkan banyak yang masih duduk di bangku SD./
tirto.id <https://tirto.id/> - Belakangan, arak-arakan ondel-ondel yang
melibatkan anak-anak marak di Jakarta. Saban hari, mereka bisa ditemui
di sejumlah jalan dan gang-gang di antara permukiman warga, mengumpulkan
rupiah dari saweran orang-orang yang menonton.
Kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang harusnya anak-anak
dapatkan: pendidikan demi masa depan yang lebih baik.
"Tak hanya pada saat-saat menjelang tahun baru 2019, permainan
ondel-ondel ini banyak kita temui dalam keseharian. Dalam satu grup
permainan ondel-ondel terdapat 6-8 anak-anak yang menjadi anggota," kata
Susianah Affandy, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
dalam rilis yang diterima /Tirto/, Kamis (3/1/2019).
Di hari yang sama, saya berkunjung ke markas Sanggar Aqila Betawi (SAB)
di Jalan Lewa, Kelurahan Pekayon, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Sanggar ini bisa dibilang “dapurnya” pekerja ondel-ondel.
Saya disambut Bowo (27). Ia semacam koordinator lapangan di SAB.
Tugasnya mengerahkan para pekerja untuk mendandani ondel-ondel pada
setiap pertunjukan.
Markas SAB tak terlihat seperti ruang kerja pada umumnya. Cat biru tosca
yang mewarnai dinding ruangan itu mulai terkelupas, dan daun pintunya
sudah agak reyot.
"Ini rumah kakak saya, Bang Tommy, yang mendirikan sanggar ini," kata
Bowo, membuka percakapan.
Ondel-ondel di sanggar ini tidak hanya tampil saat ada permintaan yang
sifatnya hanya sesekali. Secara rutin, ondel-ondel juga mengamen dengan
arak-arakan ke jalan-jalan, lengkap dengan gerobak dan alat musik.
Baca juga:
* KPAI Nilai Pemerintah Belum Lindungi Masalah "Anak Ondel"
<https://tirto.id/kpai-nilai-pemerintah-belum-lindungi-masalah-anak-ondel-ddaV>
Pekerja ondel-ondel yang dibimbing Bowo ada 30 orang, mulai dari anak
kecil hingga yang berusia kepala tiga. Setiap hari, sanggar ini bisa
mengerahkan delapan ondel-ondel sekaligus yang disebar ke rute yang berbeda.
Sanggar ini juga menyediakan satu rumah kontrakan khusus untuk para
pekerja ondel-ondel.
“Kontrakannya ada di sana [menunjuk ke arah belakang kantor]. Anak-anak
lagi pada di situ,” kata Bowo.
Bowo lantas mengajak saya bertemu dengan para pekerjanya. Kontrakan itu
tak jauh dari rumah Tommy, kakak Bowo. Di dalam, ada dua kamar yang
ukurannya sama besar, masing-masing 2x2 meter persegi.
Di kamar yang satu, ada empat anak yang baru bangun tidur. Sedangkan di
kamar lainnya, ada empat remaja yang sedang tidur.
Kedua kamar bebas dari perabotan kecuali dispenser dan galonnya yang
tinggal setengah terisi. Baju-baju bergeletakan di lantai dan hanya
sebagian tercantol di dinding.
Saya kemudian berbincang dengan Farel (11), salah satu anak pekerja
ondel-ondel. Ia putus sekolah sejak kelas 2 SD. Waktu itu tahun 2016.
"Ngarak /aja/ tiap hari. Enggak sempat [sekolah lagi], malu. Kalau
/ngelanjutin/ mulainya dari kelas tiga [SD]. Seharusnya umuran saya,
kan, kelas empat,” ujarnya sambil menyulut rokok di bibirnya.
Farel terlahir di keluarga miskin. Sejak 2014, ia tinggal bersama
kakeknya di Ciracas, Jakarta Timur. Ini karena bapaknya tak mau
mengurusnya setelah ibunya meninggal. Sementara kakeknya, bekerja
sebagai pengantar makanan dari toko ke toko hingga larut malam.
"Pas mau kenaikan kelas tiga, udah mulai kabur-kaburan terus. Tiap mau
ke sekolah, malah ke sanggar ondel-ondel. Enggak ketahuan awalnya. Tapi
kemudian ada yang /ngasih/ tahu,” tutur Farel menceritakan awal mula ia
ikut arak-arakan ondel-ondel jalanan.
Bermodalkan kemauan menghabiskan waktu delapan jam sehari, Farel mengaku
bisa menghasilkan pendapatan yang lumayan. Di SAB, dalam sehari dia dan
kawan-kawannya bisa mengantongi Rp70 ribu hingga Rp100 ribu.
Itu merupakan keuntungan bersih. Rata-rata dalam sehari, uang sawer yang
terkumpul untuk satu ondel-ondel yang turun ke jalan, bisa mencapai
Rp400 ribu hingga Rp500 ribu. Anak-anak ini kemudian menyetor Rp90 ribu
ke pengelola SAB. Setelah itu, jumlah tersisa dibagi rata berdasarkan
jumlah anak-anak yang ikut mengarak.
Baca juga:
* Soal Ondel Anak, Dinas Pariwisata DKI Akan Komunikasikan dengan LKB
<https://tirto.id/soal-ondel-anak-dinas-pariwisata-dki-akan-komunikasikan-dengan-lkb-dddD>
Di SAB, Farel baru bergabung sejak Desember 2018 lalu. Sebelumnya ia
bekerja untuk Sanggar Rifat Koperasi, yang bermarkas di Ciracas, Jakarta
Timur.
Farel bukan satu-satunya anak-anak di SAB. Dari total 30 pekerja,
sebagian besar adalah anak berusia di bawah 18 tahun.
Saat berbincang dengan Farel, saya juga bertemu Aria (15), Teguh (16),
Airil (14), dan Danar (16). Mereka tampak gembira dengan kedatangan
saya. Aria dan Teguh masih bersekolah, sedangkan Airil dan Danar putus
sekolah sejak SD.
Di antara mereka berempat, hanya Teguh yang sudah tak punya orangtua. Ia
yatim-piatu dari Padang. Pada 2010, menyusul kematian ibunya, ia
diboyong bapaknya dari Padang ke rumah kerabat di Jakarta.
Di ibu kota, Teguh dibesarkan oleh tante dari mendiang ibunya yang
bekerja membuka toko percetakan.
Saat ini, di tengah-tengah kesibukannya mengarak ondel-ondel, ia
bersekolah di salah satu SMA di Depok dan duduk di bangku kelas dua. Ia
mengaku ikut mengarak ondel-ondel demi membantu keluarga tantenya.
"Biar saya mandiri, enggak tergantung sama tante. Kata tante, saya
disuruh /nerusin/ kerja di percetakan, aja. Tapi saya /pengen/nya cari
duit sendiri, tanpa bantuan tante," kata Teguh.
Berbeda dengan Teguh, Danar mengaku orangtuanya tak melarang ikut
mengarak ondel-ondel. Sebelum bergabung di SAB, Danar sudah
berpengalaman mengamen di kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Danar mengatakan sebagian penghasilannya selalu ia sisihkan untuk sang
bapak meski ia tak pernah mendapatkan ucapan terima kasih.
"Dulu saya tinggal di Jatinegara. Di sana pergaulannya lebih kaget
banget. Tahu, kan, Kampung Pulo? Ya, gitu: maen ngamen kerjaannya," kata
Danar.
infografik ondel ondel
Pundak Merah-merah
Pada masa awal bergabung, masing-masing anak-anak ondel ini harus
ditatar terlebih dahulu. Mereka diharuskan menggunakan kostum
ondel-ondel ketika arakan. Dalam istilah mereka: /ngebarong/.
Di hari-hari pertama, pundak mereka dipastikan merah-merah karena harus
memikul beban dari siang sampai malam. Menurut Bowo, pembimbing mereka,
itu adalah tahap adaptasi yang harus dilalui para pekerja ondel-ondel di
SAB.
"Pegang /barongan/ pasti pundaknya pada pegel. Saya /ngerasaian/ itu
pegalnya minta ampun. Nih, merah-merah,” tutur Bowo yang dulunya juga
mengarak ondel-ondel ke jalan-jalan sembari menunjuk pundaknya.
Bagi pekerja yang masih anak-anak dan belum punya tinggi memadai, akan
dikenakan teknik barongan berbeda. Kepala mereka akan dillit dengan kain
untuk memikul kerangka ondel-ondel.
"Nih, kayak dia, nih, enggak nyampai di pundak [kostumnya], jadi taruh
di kepala. Pakai kain diikat," ujar Bowo sambil menunjuk Farel yang
cengengesan.
Bantah Eksploitasi Anak
Tommy Himawan (39), si empunya sanggar, mengaku mendirikan SAB karena
ingin berkontibusi dalam pelestarian kebudayaan. Sebelumnya, ia adalah
wirausahawan yang awam tentang kebudayaan.
Tommy lantas melihat ondel-ondel sebagai peluang membuka lapangan
pekerjaan. Ia pun menampik anggapan bahwa dirinya hanya ingin mencari
keuntungan.
“Tujuannya bukan untuk komersil. Bukan. Sanggar ini rumah kedua mereka.
Keluarga mereka pun harus tahu, enggak boleh sembunyi-sembunyi. Kalau
orangtuanya enggak mengizinkan, saya juga enggak akan memperkerjakan,”
kata Tommy.
Dari hasil arakan ondel-ondel anak-anak buahnya, Tommy mengumpulkan Rp5
juta hingga Rp6 juta setiap bulan.
Tommy sendiri tak menampik adanya eksploitasi anak dalam bisnis
ondel-ondel ini. Namun, di SAB, ia mengaku ingin melakukan sebaliknya.
Tommy punya pandangan sendiri soal anak-anak yang bekerja di sanggarnya.
Baginya, anak-anak adalah mereka yang berumur di bawah usia pelajar SMA.
Jika usia rata-rata pelajar kelas satu SMA adalah 16 tahun, maka yang
tergolong anak-anak di mata Tommy adalah yang berusia 15 tahun ke bawah.
Dengan pengertian ini, Tommy menganggap hanya ada satu anak yang bekerja
di sanggarnya.
"Kan, kita enggak boleh memperkerjakan anak kecil. Terkecuali, dia sudah
tidak punya bapak ibu. Itu gimana? Terkecuali kayak Farel. Kalau
menunggu uluran tangan dari orang kaya, kan, dia akan kerja jadi
karyawan. Keperluan sehari-hari dia gimana kalau enggak jadi karyawan?”
kata Tommy.
Tommy merasa sudah memenuhi hak-hak para pekerja anak di sanggarnya. Ia
menyebut penghasilan rutin tiap karyawannya adalah Rp2 juta per bulan
dan ia juga sediakan tempat tinggal gratis.
Terkait wacana pemerintah yang ingin menghentikan fenomena anak ondel,
Tommy tak gentar. Ia justru yakin anak-anak ondel perlu diberi pekerjaan
untuk bertahan hidup.
"Kalau saya dibawa ke pengadilan pun saya siap. Saya akan menyampaikan
pandangan saya di situ. Kalau cari sanggar yang berengsek, boleh cek
semua. Ada 99 persen. Untuk itu saya di sini," pungkas Tommy.
Menanggapi ini, Plt Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Asiantoro
mengatakan akan berkoordinasi dengan Lembaga Kebudayaan Betawi (LBK)
untuk mencari jalan keluar. Asiantoro sendiri tak menyangkal temuan
KPAI. "Kami bina agar ondel-ondel anak itu lebih baik, seperti kasih
tempat, dan sebagainya. Kami juga berusaha," katanya.
Baca juga artikel terkait EKSPLOITASI ANAK
<https://tirto.id/q/eksploitasi-anak-bBo?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Mulia Ramdhan Fauzani
<https://tirto.id/author/muliaramdhan?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Sosial Budaya)
Reporter: Mulia Ramdhan Fauzani
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Abul Muamar
Pengusaha ondel-ondel bisa meraup keuntungan Rp5 juta hingga Rp6 juta
per bulan.