Isu PKI Gerus KAMI?
F63<https://www.pinterpolitik.com/author/f63>-Saturday, October 3, 2020
14:00
/Moeldoko dan Gatot Nurmantyo (Foto: Kompas)/
/6 min read/
*Presidium gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
Gatot Nurmantyo kembali menyinggung soal kebangkitan Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setiap tahun, isu PKI memang selalu
menghantui masyarakat ketika momen peringatan peristiwa
G30S/PKI. Di tengah kekisruhan pandemi seperti saat ini,
tepatkah KAMI mengangkat isu PKI sebagai konsentrasi kritik?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com* <http://www.pinterpolitik.com/>
Seperti sudah menjadi agenda tahunan, isu seputar Partai Komunis
Indonesia (PKI) selalu bangkit dari kuburnya saban 30 September.
Diskursus mengenai sejarah tahun 65 kembali menyeruak hingga membuat
pengalaman traumatik tersebut terus tereproduksi di muka khalayak.
Meski tahun ini ruang publik sudah cukup sesak dijejali pemberitaan
mengenai pagebluk yang kian tak terkendali, nyatanya selalu masih ada
tempat tersisa untuk isu bangkitnya PKI. Tahun ini terbitnya isu
tersebut agaknya disponsori presidium gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan
Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo.
Bagaimana tidak, jelang tutup bulan September, Gatot tiba-tiba membuat
heboh pemberitaan dengan*mengaku*
<https://www.merdeka.com/trending/selang-3-tahun-misteri-gatot-nurmantyo-dicopot-jokowi-sebagai-panglima-tni-terjawab.html>dirinya
dilengserkan dari pucuk pimpinan TNI dilatarbelakangi oleh perintah
untuk menonton film pemberontakan G30S/PKI yang Ia keluarkan saat masih
mengampu jabatan Panglima.
Sontak pernyataan Gatot ini*memantik*
<https://news.detik.com/berita/d-5195381/moeldoko-setelah-kami-nanti-ada-kamu-terus-apa-lagi>respons
sinis dari kubu pemerintah. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) yang juga
senior Gatot di TNI, Moeldoko sepertinya menjadi pihak yang paling keras
bereaksi. Selain menampik pernyataan Gatot, Moeldoko juga turut
menyentil KAMI agar tak mengganggu stabilitas poliik nasional.
Kendati terkesan reaktif, namun kritik Moeldoko terhadap KAMI tersebut
sebenarnya tidaklah salah sasaran. Mengingat isu*kebangkitan
<https://era.id/nasional/35672/ini-8-tuntutan-kami-kepada-pemerintah>*komunisme
memang menjadi salah satu dari delapan poin tuntutan yang diajukan KAMI
terhadap pemerintah
Meski selalu diributkan setiap tahun, namun faktanya tak terlalu banyak
masyarakat yang percaya akan isu kebangkitan PKI. Berdasarkan*survei
<https://news.detik.com/berita/d-5194458/14-warga-percaya-pki-bangkit-di-survei-smrc-alissa-artinya-tidak-laku>*yang
dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) hanya 14
persen responden yang menganggap isu itu nyata.
Sejumlah pengamat bahkan*menilai*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200930103216-20-552603/g30s-isu-hantu-pki-dan-gorengan-basi-elite-politik>isu
PKI hanyalah jualan politik tahunan. Isu tersebut terus muncul lantaran
dijadikan komoditas oleh segelintir politisi.
Lantas jika memang isu PKI dihembuskan untuk kepentingan politik,
tepatkah gerakan KAMI mengangkat isu tersebut di situasi terkini?
*PKI Sudah Usang?*
Sedari awal terbentuk, KAMI sebenarnya membawa angin segar bagi publik.
Hal ini lantaran perubahan peta politik pasca Partai Gerindra merapat ke
kubu pemerintah membuat parlemen praktis kehilangan daya kritisnya.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) bahkan menyebut
dewan sejauh ini hanya menjadi 'pemandu sorak' pemerintah pusat.
Legislator dianggap*gagal
<https://nasional.kompas.com/read/2020/10/01/21171721/setahun-kinerja-parlemen-formappi-dpr-pendukung-setia-pemerintah?page=all>*memperjuangkan
aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah. Contohnya dalam
hal pelaksanaan Pilkada 2020, di mana sebagian besar masyarakat
menghendaki adanya penundaan, namun di lain sisi, DPR selaku wakil
rakyat malah mendukung keputusan pemerintah yang ingin melanjutkan pesta
demokrasi di tengah pandemi.
Meski berada di luar parlemen, kemunculan KAMI yang bertujuan untuk
mengkritik kinerja pemerintah dapat menjadi kekuatan penyeimbang untuk
mengisi kekosongan peran oposisi. Apalagi dalam beberapa kesempatan,
KAMI sebenarya satu nafas dengan pendapat umum masyarakat seperti dalam
hal pelaksanaan Pilkada 2020.
Namun belakangan ini, KAMI, khususnya Gatot, justru terlalu fokus
berkutat di isu PKI. Padahal ada banyak aspek dari kegagalan kinerja
pemeritah yang lebih layak mendapat perhatian publik.
Robin Koerner dalam*tulisannya
<https://fee.org/articles/the-mistake-you-make-in-every-political-argument/>*yang
berjudul/The Mistake You Make in Every Political Argument/mengatakan
kekeliruan paradigma adalah salah satu alasan logis mengapa sebuah
argumen politik gagal untuk meyakinkan publik.
Mengutip pernyataan Daniel Patrick Moynihan, Robin mengatakan bahwa
setiap orang memang berhak atas pendapatnya sendiri, namun tidak berhak
atas faktanya sendiri.
Ia mengutip pernyataan tersebut untuk mendukung pemikirannya bahwa
sebagian besar kegagalan argumen politik terjadi bukan karena persoalan
moral, melainkan karena munculnya perbedaan keyakinan akibat tak adanya
fakta empiris yang disepakati bersama.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap pemikirannya itu, Robin memberikan
contoh seseorang bernama Laurie yang meyakini hak hidup semua orang
harus didahulukan. Laurie tengah berusaha meyakinkan orang lain bahwa
aborsi adalah perbuatan yang salah. Dalam argumen-argumennya Laurie
hanya fokus menyatakan aborsi adalah pembunuhan karena embrio manusia
adalah nyawa.
Bagi seseorang yang memiliki pemahaman moral yang sama, argumen Laurie
boleh jadi mudah diterima. Namun bagi seseorang seperti Charlie yang
meyakini bahwa setiap manusia memiliki hak penuh untuk menentukan
pilihannya sendiri, akan menganggap Laurie telah mengabaikan hak tersebut
Masing-masing memegang pandangannya berlandaskan fakta dan logika
sederhana. Tanpa adanya bukti empiris yang disepakati oleh keduanya,
argumen mereka tak akan mampu meyakinkan satu sama lain.
Narasi-narasi yang muncul ihwal isu kebangkitan PKI sebenarnya cenderung
stagnan dengan bukti-bukti yang hanya diyakini oleh sebagian kecil
golongan. Absennya bukti empiris yang disepakati bersama dalam upaya
reproduksi narasi tersebut menyebabkan isu ini tak bisa diterima semua
orang, kecuali oleh mereka yang memang sudah memiliki keyakinan akan hal
tersebut.
Jika mempertimbangkan hal-hal tersebut, bukan tak mungkin Gatot maupun
KAMI tak akan lagi mendapatkan simpati publik lantaran terlalu fokus
mengangkat isu-isu yang tak relevan dengan situasi kekinian.
Berkaca dari sini, lantas pertanyaannya apa sebaiknya narasi yang harus
diangkat oleh Gatot dan KAMI untuk gerakan tersebut memperoleh relevansinya?
*Kedepankan Kritik yang Relevan*
Isu PKI sebenarnya bukan baru kali ini saja disinggung Gatot.
Berdasarkan catatan pemberitaan, Ia sudah membahas persoalan PKI sejak
2016. Namun sayangnya dalam sejumlah kesempatan, argumen-argumen
tersebut tak dilandasi oleh fakta empiris yang meyakinkan.
Misalnya pada medio 2016 lalu, saat masih menjabat sebagai Panglima TNI,
Ia sempat*meminta
<https://news.detik.com/berita/d-5188982/gatot-nurmantyo-bicara-pki-dulu-curiga-adu-domba-kini-yakini-keberadaannya/1>*masyarakat
mewaspadai adu domba PKI. Nyatanya argumen itu terlontar untuk
menanggapi dugaan kebangkitan PKI berdasarkan tersebarnya pesan berantai
dan penangkapan seseorang yang memakai kaus bergambar palu arit.
Beberapa bulan setelah itu, Gatot kembali*menyinggung*
<https://news.detik.com/berita/d-5188982/gatot-nurmantyo-bicara-pki-dulu-curiga-adu-domba-kini-yakini-keberadaannya/1>soal
komunisme. Kali ini Ia menghubungkan isu itu dengan fenomena ateisme di
Eropa. Pada kesempatan ini Gatot sekali lagi gagal menghadirkan bukti
empiris yang meyakinkan.
Untuk membuat KAMI menjadi gerakan yang relevan, alangkah baiknya jika
Gatot fokus mengusung isu-isu terkini. Apalagi di tengah situasi pandemi
seperti saat ini terdapat kecenderungan masyarakat semakin bersikap
apolitis.
Pakar Psikologi Politik, Andik Matulessy*menyebut*
<https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4967512/pakar-psikologi-politik-sebut-corona-buat-orang-jadi-apolitis>hal
itu terjadi lantaran wabah virus mendorong orang untuk fokus pada diri
sendiri atau keluarganya. Isu-isu politik yang abstrak apalagi tak
didukung oleh bukti konkret tentu tak akan terlalu dipedulikan oleh
masyarakat.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka sebaiknya KAMI
menggunakan energinya untuk mengedepankan kritik terkait
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat langsung berdampak dan
dirasakan oleh masyarakat, misalnya seperti saat KAMI*mengkritik
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200921063908-32-548725/kami-sebut-jokowi-bisa-langgar-uud-jika-lanjutkan-pilkada>*kebijakan
pemerintah terkait pandemi maupun pelaksanaan Pilkada. Isu-isu seperti
itu tentu akan sangat relevan dengan situasi yang tengah terjadi dan
dapat langsung dipahami serta dirasakan oleh masyarakat.
Pada akhirnya, meski Gatot dan KAMI memang pernah memberikan kritik yang
relevan, namun pada kenyataannya, gaung kritik tersebut tidaklah lebih
besar ketimbang keributan yang ditimbulkan akibat isu PKI yang dipantik
oleh Gatot. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tak mungkin gerakan ini
lama kelamaan akan dilupakan masyarakat karena hanya lebih terlihat
mereproduksi isu-isu lama dan tak menawarkan hal yang baru kepada publik.
Namun bagaimanapun, gerakan KAMI faktanya memang baru seumur jagung.
Kita nantikan saja bagaimana kiprah gerakan tersebut ke depan. Menarik
untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)