http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/01/23/ok8oqn319-jumlah-besar-jadi-beban-sejarah

Selasa , 24 January 2017, 06:00 WIB

Jumlah Besar Jadi Beban Sejarah
Red: Maman Sudiaman

Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Sekiranya diizinkan mengerang, saya akan lakukan siang dan 
malam, tetapi agama melarangnya. Tidak ada manfaatnya mengerang dan meratap 
panjang, tanpa berbuat sesuatu kebajikan untuk semua, betapa pun kecil 
nilainya. Umat Muslim yang bertebaran di muka bumi dalam jumlah sekitar 1,6 
miliar dan akan terus membengkak dari waktu ke waktu nyaris lumpuh dalam 
perlombaan peradaban. Tetapi apakah dunia memperhitungkan jumlah besar ini, 
kecuali untuk diperas dan dipermainkan, sementara yang menjadi sasaran 
permainan masih saja merasa sebagai umat yang terbaik yang dikhotbahkan dari 
mimbar ke mimbar? Perasaan palsu semacam ini belum beranjak jauh dari dari 
hampir seluruh komunitas Muslim dari timur sampai ke barat, dari utara sampai 
ke selatan. Muslim Indonesia adalah bagian yang disorot dalam tulisan ini, dan 
saya yang lemah ini hanyalah sebuah skrup alit (kecil) yang berada di tengah 
sorotan itu. 

Siapakah yang bisa menghilangkan beban kehinaan sejarah ini? Tidak seorang pun, 
kecuali mereka sendiri yang mau sadar dan jujur dalam membaca diri mereka dalam 
kaitannya dengan perjalanan peradaban global, yang baik atau pun yang nista. 
Tuhan sendiri, tanpa inisiatif kolektif umat Muslim, berdasarkan logika Alquran 
(surat al-Ra’d:11 dan surat al-Anfâl: 53) terkesan akan berdiam diri, 
membiarkan umat ini tenggelam dan tersungkur hingga ke kerak bumi yang 
terdalam, jika kelakuan bahlul mereka, termasuk saya sendiri, tidak berubah 
secara radikal dan berani untuk keluar dari kotak kelam dan pengap kesadaran 
sejarah yang sudah berjalan dalam lapisan abad yang panjang..

Dunia Arab Muslim jangan ditanya lagi, semuanya tiarap dalam keputusasaan dan 
penderitaan. Negara-negara besar sedang berpesta menghancurkan mereka. Mereka 
yang waras sudah tidak betah dan tidak nyaman lagi hidup di kampung halamannya. 
Mereka hijrah dan berkarya di belahan dunia lain. Prof. Komaruddin Hidayat 
dalam artikelnya baru-baru ini di bawah judul: “Mengapa Denmark Menjadi Salah 
Satu Negara Termakmur Dunia? sungguh sangat menyengat dan menyayat. Bukan saja 
termakmur, selain Selandia Baru, tetapi juga aman dan nyaman untuk tempat 
tinggal bagi siapa saja, padahal mereka tidak pernah mengaku sebagai umat yang 
terbaik.

Dalam artikel itu dikatakan bahwa hanya ada satu kata kunci filosofi yang 
menyatu dengan kehidupan rakyat mereka: kejujuran, sesuatu yang nyaris sirna 
dalam komunitas Muslim yang tidak jarang senang hidup dalam serba topeng 
kepalsuan dan suka menfitnah, tanpa rasa dosa dan dusta. Tentu pasti ada 
pengecualian yang masih menjaga nilai-nilai luhur agamanya, tetapi sering hidup 
dalam kesunyian di tengah kebisingan ketidakjujuran.

Sebuah umat yang hidup dalam kenistaan sejarah akan sangat sulit mengembangkan 
nalar jernih, cerdas, dan tulus, sekalipun mereka berpendidikan tinggi dengan 
gelar profesor, tetapi terkepung dalam himpitan kehinaan di titik nadir. 
Kesulitannya, tak mau mengakui secara jujur dengan jalan bersedia menengok 
borok kebanggaan palsu yang telah diidap terlalu lama. Jeritan Iqbal kepada 
Rumi abad yang lalu terasa masih segar untuk dibaca:

Pikiranku tinggi menyentuh langit;

Tapi di bumi aku terhina, kecewa, dan sengsara.

Urusan dunia tak mampu kutangani;

Dan aku tetap saja menghadapi rintangan di jalan ini.

Mengapa urusan dunia terlepas dari penguasaanku?

Jawaban telak Rumi di bawah ini membuka lorong buntu itu:

Siapa pun yang [mengaku dapat] berjalan di langit;

Mengapa harus sulit baginya melangkah di bumi?

(Dikutip dari Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an 
Intellectual Tradition. Chicago-London: The University of Chicago Press,1982, 
hlm. 58).

Inti pesannya sangat terang benderang: lepaskan diri dari pengakuan palsu dan 
hadapi kenyataan dengan penuh kejujuran, keberanian, sekalipun harus melukai 
diri sendiri. Tanpa sikap ini, Tuhan sendiri jangan diharap akan membela nasib 
manusia tertindas, tetapi pongah dan culas, dan bahkan sering berteriak atas 
nama Tuhan. Ini adalah sebuah krisis mental yang perlu segera dicarikan obatnya 
dengan jalan beragama secara tulus dan jujur. Jalan lain pasti akan berujung 
dengan kebuntuan. Beban sejarah yang sangat berat hanya dapat dilepaskan dengan 
membiarkan nurani berbicara sebening dan sebersih mungkin. Saya sendiri belum 
tentu mampu melakukannya. Siapa tahu tuan dan puan lebih punya kemampuan untuk 
keluar dari krisis lingkaran setan ini.

Kirim email ke