https://kolom.tempo.co/read/1145341/kecolongan-bencana-banjir/full&view=ok
Kecolongan Bencana Banjir
Senin, 12 November 2018 07:00 WIB
#
Foto udara Jembatan Pasanggrahan atau jembatan Pansel Jabar yang ambruk
diterjang arus sungai akibat banjir bandang di Desa Cipatujah, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis 8 November 2018. ANTARA FOTO/Adeng
Bustomi <https://statik.tempo.co/data/2018/11/08/id_795533/795533_720.jpg>
Foto udara Jembatan Pasanggrahan atau jembatan Pansel Jabar yang ambruk
diterjang arus sungai akibat banjir bandang di Desa Cipatujah, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis 8 November 2018. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Banjir dan tanah longsor kembali melanda sebagian wilayah di Tanah Air.
Korban jiwa serta harta benda telah jatuh dengan jumlah tak sedikit. Itu
menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya siap mengantisipasi bencana
tahunan tersebut. Kinerja ini mesti diperbaiki karena musim hujan masih
akan berlangsung lama. Puncaknya diprediksi terjadi pada Januari dan
Februari 2019.
Banjir dan tanah longsor, antara lain, telah melanda Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Lampung, dan semua bagian Pulau Jawa. Korban jiwa
mencapai puluhan orang, paling banyak di Sumatera Utara dan Barat, yakni
22 orang. Terakhir, banjir dan tanah longsor melanda tiga kecamatan di
Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa pekan lalu, yang menelan lima korban jiwa.
Jumlah korban semestinya bisa ditekan. Pasalnya, lokasi bencana kali ini
tak banyak berbeda dengan pada tahun-tahun sebelumnya. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan banjir di Padang dan
Tasikmalaya merupakan ulangan bencana tahun lalu. Jika sejak jauh hari
sudah ada langkah antisipasi matang, jumlah korban mungkin tak sebanyak itu.
Saat ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengumpulkan
peta area rawan banjir dan tanah longsor semua daerah. Informasi
tersebut menjadi dasar pemantauan dan kesiapsiagaan pusat pengendali
operasi di BNPB dan BPBD. Ini tentu hal yang positif, dengan catatan tak
hanya berhenti sebatas kumpulan data, tapi ada langkah nyata dan
koordinasi yang solid antar-instansi dalam menyusun antisipasi.
Peta rawan bencana itu bisa menjadi titik tolak untuk menyiapkan
alat-alat evakuasi, sarana kesehatan, dan bantuan lain jauh-jauh hari di
lokasi merah. Para kepala daerah juga selayaknya bersiaga karena
kehadirannya selalu dibutuhkan dalam situasi darurat. Perjalanan dinas
bisa ditunda dulu.
Koordinasi antar-instansi mesti diperbaiki karena soal ini hampir selalu
menjadi masalah. Sudah diketahui bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat memiliki banyak data tentang banjir. Lalu Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki peta wilayah rawan longsor.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun telah melakukan studi
kerawanan longsor. Semua itu seharusnya bisa menjadi modal untuk
menyusun langkah antisipasi terbaik.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak dua tahun lalu telah
mengembangkan model prediksi hujan yang cukup baik lewat modifikasi
cuaca. Dengan modal data lembaga-lembaga di atas, prediksi hujan hingga
lokasi terancam bencana 24 jam ke depan sudah bisa dilakukan. Dengan
aplikasi tertentu, sinyal bahaya segera terkirim ke daerah. Sayang kalau
sistem ini tak dimanfaatkan seoptimal mungkin hanya karena miskin
koordinasi.
Untuk antisipasi jangka panjang agar bencana tak terjadi lagi, perlu
terus didorong langkah-langkah meningkatkan mutu lingkungan.
Naturalisasi sungai hingga penanaman pohon baru di daerah hulu tak boleh
berhenti meskipun faedah kegiatan ini baru terasa beberapa tahun yang
akan datang. Sudah saatnya kita terlepas dari bencana rutin, juga
kesalahan-kesalahan rutin dalam menghadapinya.
------------------------------------------------------------------------