http://tabaos.id/kisah-diro-sutomo-eks-tapol-pki-yang-dibuang-ke-pulau-buru-maluku/
Kisah Diro Sutomo Eks Tapol PKI Yang Dibuang ke Pulau Buru, Maluku

By *Redaksi <http://tabaos.id/author/redaksi/> *30/09/2020

*
<https://i2.wp.com/tabaos.id/wp-content/uploads/Diro-Sutomo-Eks-Tapol-PKI-yang-dibuang-ke-Pulau-Buru-Maluku-1.png?fit=640%2C352>*Diro
Sutopo, saat ditemui di lokasi sawah, di kawasan Desa Savana Jaya,
Kabupaten Buru, 29 september 2020. Foto : Asma Kasih
*Diro : Saya tidak merasa terlibat, namun dipaksa mengaku*

*TABAOS.ID <http://TABAOS.ID>*,- *DIRO Sutopo* (84), jelang magrib, selasa
29 september 2020  masih terlihat bekerja membersihkan rumput liar yang
berada di areal persawahan miliknya yang berada di samping rumahnya di
kawasan Desa Savana Jaya, Kabupaten Buru.

Saat ini, Diro sapaan Diro sutopo ini sibuk menggarap lahan sawahnya dengan
luas hampir 400 hektar.

Di lokasi itu, Diro menyulap lahan gambut dan juga hutan liar menjadi lahan
perkebunan dan juga sawah, di tahun 1978.

“saat itu, saya dibuang ke sini masih hutan lebat. Masih gelap dan tidak
keliatan matahari. Saya yang kerja keras untuk membuka lahan ini,” kata
pria kelahiran tahun 1936 ini.

Selain sawah, Diro juga rutin menggarap lahan pertanian lainnya, seperti
sayur mayur dan juga umbi-umbian, serta menanam buah-buahan. Pekerjaan ini
digeluti Ia tanpa kenal lelah.

Karena giat bercocok tanam, Diro bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten
Buru, untuk menjual hasil panen padinya.

Meski telah sukses dalam bidang pertanian, namun pria berusia 84 tahun ini
masih menyimpan cerita perih massa lalunya saat di buang ke Pulau Buru,
Maluku, tahun itu.

Diro adalah seorang tahanan politik yang dikirim ke pulau itu. Dia dibuang,
pada 11 November 1969, dan di penjara di beberapa tempat sebelum di
pindahnya ke Nusa Kambangan lalu ke Pulau Buru. Saat itu, usianya 33 tahun.

“Dari Nusa Kembangan saya dibawa menggunakan kapal KM. Tokala ke Pulau
Buru, dan akhirnya ditempatkan ke kawasan unit 18 pada 10 november 1969.
Bulan januari 1972 saya dipindahkan ke Mako,” ungkap Diro.

Sebelum dititipkan dipenjara, sambungnya, Ia dipekerjakan secara rodi
bersama para tahanan lainnya. “saya dikerjakan dulu di proyek jembatan dan
waktu itu banyak orang. Jadi namanya orang ditahan, ya ikuti saja. Kalau
kita bantah cilaka. Orang yang tak salah dianggap salah, ya kita terima
saja.

“Istri saya meninggal karena stres setelah saya ditahan, begitu juga anak
dalam kandungannya,” ujar Diro kepada *TABAOS.ID <http://TABAOS.ID>*,
Selasa, 29 September 2020.

Diro menceritakan, perjalanannya ke Pulau Buru tahun itu (1969). “Saya dan
para tahanan lainnya membuka hutan di lembah Waepo menjadi lahan pertanian
seluas lebih dari 1.700 hektar,” terang pria yang kini berusia 84 tahun itu.

*Baca Juga*  *Bulan Aneksasi Maluku Selatan*
<http://tabaos.id/bulan-aneksasi-maluku-selatan/>

Kata Diro, Mereka membuka hutan belantara dengan alat seadanya, jika
menolak akan disiksa aparat keamanan.

“Kami pagi-pagi bangun lalu apel, terus mencabut rumput-rumput di
sekeliling barak terus juga membuka areal hutan, babat hutan pakai tangan,
kemudian pakai kapak atau gergaji,” ungkap Diro Utomo, petani asal Boyolali.

“Selama ditahan dan bekerja di Pulau Buru, ya, sering juga dapat siksaan,
di pelipis dan kaki,” jelas Diro.

Namun, kata Diro hingga saat ini, hampir tak ada bekas bangunan yang dapat
mengingatkan Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tahanan politik.
Barak-barak yang menjadi tempat tidur para tahanan di 22 unit sejak lama
dihancurkan. Hanya beberapa rumah yang dibangun oleh para tapol yang masih
tersisa.

“Beberapa kuburan dengan tulisan di nisan yang sudah mulai memudar terdapat
di sejumlah tempat yang dulunya adalah kamp para tahanan politik. Tujuan
utama saya adalah Desa Savana Jaya, Waepo yang dikenal sebagai unit IV,
tempat tinggal bagi lebih dari 20 orang eks tahanan politik,”Ujarnya

Menurut Diro, mereka yang dibuang ke Pulau Buru dikategorikan sebagai
golongan B yaitu para aktivis pro-PKI dan ormasnya.

“Untuk tapol 65 ada tiga golongan yakni A,B, dan C. Mereka yang golongan A
disidang di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati, seperti DN. Aidit,” jelas Ia.

Sedangkan golongan C, mereka yang dianggap simpatisan, tak terbukti punya
kartu anggota dan dilepaskan setelah menjalani pemeriksaan oleh aparat,”
tambahnya.

Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Diro bertemu dengan Yadiono,
seorang warga Blitar Jawa Timur  yang dituduh PKI Di Desa Savana Jaya. Ia
masih aktif mengajar seni musik di SMA Negeri 3 Waepo.

Yadiono (84), dituduh terlibat G30S karena aktivitasnya dalam serikat buruh
Perusahaan Jawatan Kereta Api PJTKA. Dia di tangkap ketika masih berada di
kantor, kemudian dibuang ke Pulau Buru pada tahun 1969 bersama kelompok
pertama dengan kapal ADRI XV yang berlayar dari Nusa Kambangan.

*Baca Juga*  *Bertambah Lagi Pasien Meninggal Akibat Covid-19*
<http://tabaos.id/bertambah-lagi-pasien-meninggal-akibat-covid-19/>

“Ketika itu kami berlayar cukup lama sampai dua minggu, karena kapal bocor
sehingga para tahanan pun harus memperbaiki kapal dan membuang air yang
berada di dalam kapal,” jelas Diro.

Yadiono kata Diro, tiba di Namlea sebelum ditempatkan di Unit III Wanayasa.
Keluarganya tak mengetahui dia ditahan, karena menyangka dia sudah
meninggal.

“Dulu banyak yang dibunuh di Blitar, jadi keluarga menganggap Ia sudah
tewas karena tidak kembali dari kantor. Akhirnya mereka menggelar selamatan
untuk mendoakan arwah Yadiono,” jelas Diro.

Kata Diro, Keluarga Yadiono  baru mengetahui masih hidup pada 1995 lalu,
ketika itu dia kembali ke Blitar untuk mencari keluarganya.

“Ya ketemu anak-anak dan istri, tapi sudah menikah lagi. Anak-anak tak
terlalu ingat saya, tapi kemudian mereka memahami saya meninggalkan mereka
karena masalah politik, karena ditahan,” ujar Diro, meniru perkataan
rekannya Yadiono saat itu.

Pria ber-anak empat ini menceritakan, Ia dituduh terlibat Partai Komunis
Indonesia (PKI). Ia dibawa ke Pulau Buru bersama 500 orang lain tanpa ada
putusan pengadilan. Di sana, Diro  tinggal di kawasan unit 3 bersama
Pramoedya Ananta Toer.

Pembuangan mereka yang dituduh PKI setelah partai itu dinyatakan terlarang,
menyusul tragedi 30 September 1965, dimana tujuh jenderal dibunuh, dan
berakhirnya kepemimpinan Presiden Sukarno.

“ceritanya dulu itu kalau orang yang sudah dewasa umurnya, itu bisa PKI
bisa BTI. Yang muda bisa pemuda rakyat. Jadi karena saya masih muda makanya
pemuda rakyat dan mereka saja yang mengelompokan kita, kalau kita sih tidak
ada berpikiran sampai ke situ. Kita dengan sesama tuh rukun bergotong
royong, menghargai karena kita kan saling membutuhkan,” jelas dia.

Pada tahun 1978 Diro dinyatakan bebas dan bisa menjalankan kehidupannya
secara normal. “kita dikumpulkan tanggal 15 november 1978 di lapangan Desa
Savana Jaya dan dinyatakan bebas. Mereka mempersilahkan kita mencari untuk
nafkah, dan termasuk saya,” Kata Tiro.

Tetapi, hidup di kampung halaman bagi Diro tak lagi mudah, diskriminasi dan
tuduhan mereka terkait dengan PKI dialami oleh keluarga para tahanan
politik dari masyarakat membuat mereka sulit untuk mencari pekerjaan.

*Baca Juga*  *Ferry Tanaya Resmi Ditetapkan Tersangka Lahan di Pulau Buru*
<http://tabaos.id/ferry-tanaya-resmi-ditetapkan-tersangka-lahan-di-pulau-buru/>

Stigma terhadap para eks tapol itulah yang menyebabkan Diro terpaksa
memilih untuk menetap di Pulau Buru, yang pernah menjadi ‘penjaranya’.

“Saya memilih di sini karena istri saya meninggal. Saya berpikir kalau saya
yang *ga* bisa merawat anak saya seperti yang saya harapkan saya akan
menderita lagi, maka saya memutuskan untuk tinggal disini,” jelas Diro.

Dia menikah dengan perempuan asli Pulau Buru dan memiliki empat anak.
Anaknya sulungnya dibesarkan oleh orang tua Diro di Jawa Tengah.

“namun kata anak sulung saya saat di sekolah dia selalu diejek oleh
teman-temannya di kelas 2 SMP. Namanya juga orang tidak disukai kok, jadi
pasti berimbas saja. Jadi bukan saya saja, semua anak-anak yang dilibatkan,
bukan terlibat ya, tapi dilibatkan pasti diejek,” tandas lelaki asal
Boyolali ini.

Diro menghidupi keluarganya dari sawah dan juga ternak. “Yang saya pikirkan
sekarang hanya bagaimana anak-anak bisa sekolah supaya pintar, agar tidak
dibodohi kayak saya ini, tidak salah dianggap bersalah sampai dibuang ke
sini,” ungkap Diro.

Diro yang kini tinggal di Namlea, Pulau Buru mengaku, masih ada suara
sumbang dari sebagian masyarakat tentang keterlibatannya dalam “organisasi
terlarang”. Namun hal ini tidak menyurutkan niatnya untuk meluruskan
sejarah.

“Setiap refleksi kemerdekaan di sini, saya selalu memberikan semangat pada
kaum muda akan pentingnya Pancasila dan persatuan, serta meluruskan sejarah
yang selama ini tak benar,” tutur Diro, yang menghabiskan hari tuanya
dengan bercocok tanam itu.

Menurutnya, banyak orang dituduh PKI dan ormasnya tanpa lewat proses
peradilan. Persoalan ini seharusnya diketahui masyarakat dan pemerintah
bersedia mengakui kesalahan masa lalu.

“Kalau Negara itu punya Pancasila tolong diaplikasikan dalam kehidupan
setiap warga Negara, Saya dan warga yang dituduh tapol ini merasa tak
pernah buat kejahatan dan tak pernah macam-macam,” ungkap Tiro sambil
mengakhiri perbincangan, selasa 29 september 2020.

*Reporter : Asma Kasih / Editor      : Redaksi*

Kirim email ke