MEMBANGUN LOGIKA BERPIKIR SOAL UYGHUR
http://indonesian.cri.cn/20191227/76ab9458-b4d2-6634-ade6-a516a6c5c3c0.html
2019-12-27 10:41:16
Saya menulis ini dengan berdasarkan pengalaman perjalanan saya berkuliah
di Republik Rakyat Tiongkok. Saya bukan ahli ilmu Hubungan
Internasional, Hukum Internasional, atau mungkin ilmu Sosiologi, ilmu
yang terkait dengan apa yang sedang heboh dibicarakan akhir-akhir ini
dimedia sosial kita. Sehingga saya hanya menyampaikan pengalaman yang
saya dapatkan dan peroleh secara apa adanya. Beserta informasi-informasi
resmi dari dokumen dan aturan Undang-Undang Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok. Semoga pengalaman dan tulisan saya ini bisa menjadi jembatan
logika dalam berpikir kita melihat persoalan di Provinsi/Xinjiang/di
Republik Rakyat Tiongkok.
图片默认标题_fororder_微信图片_20191227104015
*Bertemu Mahasiswa Asal Xinjiang Dari Suku Uyghur*
Kisah pertama, sebagai mahasiswa perantau saya mengisi waktu luang
dengan pergi ke lapangan sepakbola kampus dan ikut bermain dengan
teman-teman yang ada disana. Siapapun yang berkumpul terlihat dipinggir
lapangan, saya datang dan meminta untuk ikut bermain. Niatnya sederhana,
menambah teman. Sekedar memiliki kesempatan awal untuk berbincang,
bertukar akun/We Chat/, dan selanjutnya menjadi teman baru.
Cerita ini sekitar bulan Oktober. Suatu hari, seperti biasa di waktu
sore saya berangkat bermain sepakbola. Singkat cerita, setelah selesai
saya menghampiri satu orang teman. Kulitnya berkulit putih, matanya
sipit namun tidak begitu sipit dibanding orang Tiongkok pada biasanya,
jika dibandingkan, wajahnya lebih mirip orang dari negara “tan”,
misalkan : Uzbekistan, Kazakhstan, dsb. Kami berkenalan, ia memiliki
nama latin Ahmed, tentunya memiliki nama/Chinese/sejak lahir. Seperti
saya yang pada akhirnya memiliki nama/Chinese/yang dibuat ketika
registrasi awal masuk kuliah. Dia mahasiswa Sarjana Teknik Elektro.
Ternyata Ahmed berasal dari Provinsi/Xinjiang/, provinsi paling barat di
Republik Rakyat Tiongkok. Beliau beragama muslim dan berasal dari
suku/Uyghur/. Pantas saja dia bermain sepakbola menggunakan celana
olahraga panjang, muslim yang taat pikir saya, dibanding saya yang
bermain dengan celana pendek. Singkat cerita setelah berkenalan, saya
teringat soal pemberitaan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok melakukan
tindakan persekusi dan penahanan paksa dalam sebuah/camp/kepada
masyarakat/Xinjiang/. Saya tanyakan kepada Ahmed, “Saya mendengar kabar
soal keadaan penduduk di/Xinjiang/yang dilakukan persekusi serta dipaksa
untuk tinggal dalam/camp/, serta kehidupan beribadah disana juga
dihambat oleh pemerintah, bagaimana itu? Apakah benar?”. Tapi wajah
Ahmed terlihat bingung dan bahkan balik bertanya kepada saya, “Maksudnya
berita apa ya? Saya tidak tahu”. Saya cari berita tersebut
di/handphone/saya dan saya mendapatkan link beritanya dari media/BBC/dan
berbahasa Inggris. Lalu saya tunjukkan kepadanya. Setelah membaca,
beliau menjawab bahwa berita itu tidak benar. Sama sekali tidak ada
kejadian seperti yang diberitakan. Keluarga dan teman-temannya sangat
aman semua, menjalani hidup seperti biasa, kehidupan beribadahpun juga
normal. Ahmed hanya bercerita bahwa disana Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok hanya mewajibkan penduduknya untuk diberikan pelatihan semacam
pelatihan keahlian, seperti menjahit, memperbaiki alat-alat elektronik,
cara beternak, dsb tapi sama sekali tidak ada kekerasan dan kekejaman
seperti yang diberitakan. Semuanya normal. Diakhir cerita Ahmed
menunjukkan gambar mesjid yang indah Masjid Selatan, di Kota/Umruqi/,
Provinsi/Xinjiang/.
*Berislam di Kota/Tianjin/*
Kisah yang kedua adalah kisah saya berkehidupan sebagai seorang muslim
Indonesia di Kota/Tianjin/, Republik Rakyat Tiongkok. Kisah ini sudah
pernah saya tulis disebuah media online dengan judul “Menjadi Muslim di
Kota/Tianjin/, Republik Rakyat Tiongkok”. Tulisan ini saya buat
berdasarkan pengalaman saya selama beberapa bulan di Kota/Tianjin/,
Republik Rakyat Tiongkok, khususnya bagi saya dan tentunya orang
Indonesia lain yang beragama Islam sangat istimewa, karena kami menjadi
minoritas disini. Kondisi terbalik ketika kami di Indonesia, bahwa kami
adalah penduduk mayoritas : orang Indonesia asli, Warga Negara Indonesia
(WNI), bukan keturunan, dan tentunya beragama Islam, agama mayoritas
penduduk Indonesia.
Kota/Tianjin/memiliki penduduk yang beragama Islam sebanyak 200.000
jiwa. Kota/Tianjin/memiliki 57 masjid. Pembangunan serta renovasi
(perbaikan) masjid ini didukung oleh pemerintah. Misalkan, hasil
bincang-bincang saya dengan Ketua DKM Masjid Xiningroad , yaitu Mr. Li
Xiaochun, pembangunan Masjid Xiningroad menghabiskan biaya 4.5
Juta/RMB/atau sebesar 9 Miliar Rupiah. Dibangun dengan 2 lantai sejak 30
tahun yang lalu. Semua biaya tersebut Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok yang mengalokasikan biayanya. Masjid ini berada di
tengah-tengah Kota/Tianjin/dekat pusat perbelanjaan/Binjiang Dao/.
Selain itu pembangunan Masjid/Xiguan/, Distrik/Jinnan/,/Tianjin/,
pemerintah memberikan biaya sebesar 27 Juta RMB atau sebesar 54 Milliar
Rupiah.
Saya paling sering pergi ke Masjid/Xiningroad/karena letaknya dekat dari
kampus. Untuk menuju Masjid/Xiningroad/dapat ditempuh menggunakan sepeda
yang dapat disewa secara digital menggunakan aplikasi di/handphone/,
menggunakan sepeda memerlukan waktu 15-20 menit, atau menggunakan bus
dari Halte/Qilitai/dengan bus nomor 643, dan turun di Halte/Binjiang
Dao/. Saking akrabnya dengan pengurus DKM disana, saya selalu mendapat
pesan/We Chat/dari Mr. Li Xiaochun setiap Hari Kamis untuk mengingatkan
besoknya (Hari Jum’at) datang lebih awal pukul 11.30 untuk makan siang
bersama pengurus DKM terlebih dahulu. (sebagai gambaran, pelaksanaan
Ibadah Sholat Jum’at disini dimulai pukul 13.30). Sebagai anak rantau,
saya pun dengan sangat senang hati datang lebih awal untuk menikmati
makan gratis, tentunya terjamin halal, dan sembari bersilaturahim. Mr.
Li Xiaochun selalu melayani pertanyaan-pertanyaan saya, bahkan saya
sempat bertanya kepada beliau, pendapat beliau soal Partai yang tidak
bisa saya sebutkan namanya karena dianggap tabu di Indonesia, serta
perlakuannya kepada Islam di Tiongkok. Singkat cerita beliau mengatakan
bahwa sama sekali belum pernah beliau merasakan dipersulit, dilarang,
ataupun dilakukan hal-hal lain yang menghambat dalam melaksanakan ibadah
sebagai muslim.
Pengalaman saya dalam beribadah sholat berjamaah di masjid tersebut juga
biasa saja, terasa normal, dan tidak ada yang aneh atau janggal. Sama
sekali tidak ada penjagaan satupun oleh petugas keamanan seperti satpam
atau polisi.
*Kebijakan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok*
Hak untuk kebebasan keyakinan agama dijamin oleh Konstitusi Tiongkok.
Pasal 36 dari Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok menyatakan: "Warga
Republik Rakyat Tiongkok akan memiliki kebebasan beragama. Ini juga
menyatakan: Negara melindungi kegiatan keagamaan yang normal. Tidak ada
organ negara, organisasi sosial atau orang yang dapat memaksa warga
untuk percaya atau tidak percaya pada agama, juga tidak dapat mereka
diskriminasi terhadap warga negara yang percaya pada agama atau warga
negara yang tidak percaya pada agama. Tidak ada yang akan menggunakan
agama untuk melaksanakan kegiatan yang merusak tatanan sosial,
mengganggu kesehatan warga, atau mengganggu sistem pendidikan negara.
Kelompok keagamaan dan urusan keagamaan tidak tunduk pada pengaruh
asing. Ketentuan ini memberikan dasar konstitusional bagi negara untuk
menjamin hak untuk kebebasan keyakinan agama untuk melaksanakan urusan
keagamaan sesuai dengan hukum, dan untuk membangun hubungan keagamaan
yang positif dan sehat.”
Persoalan di Provinsi/Xinjiang/, Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pun
menjelaskan dalam dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Informasi Dewan
Negara Republik Rakyat Tiongkok dengan judul “Pendidikan Kejuruan dan
Pelatihan di Xinjiang” bahwa pendidikan pelatihan ini diadakan karena
antara 1990 dan akhir dari 2016 tindakan separatis, ekstrimis religius,
dan teroris muncul seperti pemboman, pembunuhan, pembakaran, serangan,
dan kerusuhan di Provinsi/Xinjiang/. Banyak orang yang tidak bersalah
dan beberapa ratus polisi tewas dalam menunaikan tugas. Pelaku
diidentifikasi melakukan hal ini karena memiliki paradigma berpikir yang
salah soal pemahaman kepercayaan agama. Mereka berpandangan bahwa ilmu
pengetahuan modern itu tidak berguna dan perlu untuk diboikot. Selain
itu mereka menolak penggunaan bahasa resmi negara yaitu Bahasa Cina
beserta tulisan alfabetnya. Selain itu mereka menolak hukum negara dan
berpandangan bahwa pemerintahan yang sah harus digulingkan karena
dianggap sekuler dan mereka memperjuangkan untuk pendirian pemerintahan
teokratis. Pandangan mereka dalam memperjuangkan hal tersebut dengan
berbagai cara hingga meninggal adalah tindakan paling mulia.
Dalam rangka untuk secara efektif mengandung dan secara sistematis
memperbaiki penyebaran ekstrimisme religius dan insiden teroris yang
sering, Pemerintah Provinsi/Xinjiang/telah mendirikan pusat pendidikan
dan pelatihan di beberapa Kabupaten. Upaya ini adalah untuk untuk
memenuhi kebutuhan memerangi terorisme dan ekstrimisme, Pusat ini
memberikan kurikulum yang mencakup pendidikan Bahasa Cina secara lisan
dan tertulis, pemahaman hukum, keterampilan kejuruan, dan pemahaman
bahaya radikalisasi. Berdasarkan permintaan dari masyarakat dan peluang
kesempatan kerja di Provinsi/Xinjiang/, kursus yang diadakan adalah
pembuatan garmen, pengolahan makanan, perakitan produk elektronik,
mengetik dan percetakan,/hairdressing/dan layanan
kecantikan,/e-commerce/, pemeliharaan dan perbaikan otomotif, desain
interior dan dekorasi, pembibitan ternak,/pomiculture/, terapi pijat,
jasa rumah tangga, kerajinan tangan, merangkai bunga, menenun permadani,
melukis, dan seni pertunjukan seperti musik dan tarian. Peserta didik
yang memenuhi syarat akan disalurkan untuk memperoleh pekerjaan.
Program pendidikan dan pelatihan tidak pernah mengganggu kebebasan para
peserta didik untuk memeluk kepercayaan beragama dan program ini tidak
pernah membuat upaya untuk meminta peserta pelatihan mengubah keyakinan
keagamaan mereka. Ini adalah prinsip dasar, diabadikan dalam Konstitusi
Tiongkok, ditentukan oleh hukum, dan dibuktikan dengan upaya pemerintah
Tiongkok, untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia (HAM).
Pendidikan dan pelatihan di/Xinjiang/adalah sebuah pemerintahan sosial
yang diambil oleh pemerintah, sesuai dengan hukum, untuk melindungi
nyawa dan dasar hak sipil warga negara. Program pendidikan dan
pelatihan bukanlah tindakan untuk membatasi atau menghalangi kebebasan
orang tersebut. Melainkan merupakan langkah penting untuk membantu
masyarakat untuk membebaskan diri dari ide terorisme dan ekstremisme
keagamaan. Ini adalah upaya untuk membantu para peserta didik untuk
membebaskan pikiran mereka, memperbaiki diri dan prospek masa depan mereka.
Upaya yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini membuahkan hasil
yang signifikan setelah diadakannya pendidikan dan pelatihan ini.
Kondisi keamanan dan kenyamanan masyarakat berlangsung stabil.
Masyarakat kembali kepada pemahaman yang benar bahwa ilmu pengetahuan
modrn tidak bertolak belakang dengan ajaran agama serta memahami bahwa
hukum dan konstitusi Negara Tiongkok menjamin dan melindungi kebebasan
warganya dalam beragama dan beribadah.
Situasi aman ini juga terlihat dari jumlah yang meningkat dari wisatawan
yang datang ke Provinsi/Xinjiang/. Pada tahun 2018 sebanyak 150.000.000
wisatawan dalam negeri dan mancanegara datang ke Provinsi/Xinjiang/.
Dari angka tersebut sebanyak 2.600.000 adalah wisatawan mancanegara.
Jumlah ini meningkat 12% dari tahun-tahun sebelumnya.
Media internasional pun memberikan tanggapan positifnya kepada upaya
Pemerintah Tiongkok dalam mengatasi permasalahan ekstrimisme dan
terorisme di wilayahnya. Surat Kabar/Al-Riyadh/di Arab Saudi pada
tanggal 15 Mei 2019 mengabarkan dan melaporkan kondisi ini dengan
beberapa laporannya yaitu "Tiongkok menghormati etnis minoritas dan
keyakinan keagamaan mereka, telah merumuskan serangkaian kebijakan dan
peraturan untuk menghormati dan mengakomodasi kuliner, pakaian,
festival, pernikahan, dan pemakaman etnis minoritas. Di/Xinjiang/, Semua
kelompok etnis memiliki hak untuk mempertahankan atau mengubah gaya
hidup atau adat istiadat sendiri, yang merupakan kebijakan Tiongkok yang
konsisten."
Pada tanggal 15 Mei 2019, Surat Kabar/Al-Ahram Al-Masa/di Mesir
menerbitkan sebuah artikel berjudul "Tiongkok Menggunakan Pelatihan dan
Pendidikan untuk Mengatasi Ekstremisme". Berita tersebut menyatakan,
"Negara di seluruh dunia mengadopsi berbagai tindakan pencegahan
terhadap terorisme dan ekstremisme sesuai dengan kondisi aktual mereka.
Tindakan yang diambil terhadap ide ekstremis oleh Pemerintah Tiongkok di
Provinsi/Xinjiang/dapat memberikan pengalaman yang berguna.
Provinsi/Xinjiang/telah menyiapkan pendidikan dan pelatihan untuk
melatih kaum muda agar tidak dipengaruhi oleh gagasan ekstremis teroris”.
Sebuah laporan dari Surat Kabar/DHA/di Turki mengatakan "Pemerintah
Tiongkok menyediakan layanan manajemen berbasis sumber daya manusia
dalam bentuk pelatihan. Tidak ada penganiayaan atau larangan kebebasan
pribadi. Para peserta dengan senang hati belajar dan tinggal di sana.”
*MEMBANGUN/PREMIS/LOGIKA BERPIKIR*
Ketika saat ini disaluran media sosial yang kita miliki dibanjiri oleh
berita soal/Provinsi Xinjiang/. Saya berpikir, apakah benar? Pertama,
jikalau Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok itu tidak suka dan takut
terhadap Islam dengan perwujudan tindakan seperti yang tersebar dalam
media-media sosial yang disebut bahwa Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok merupakan pemerintah komunis, rezim otoriter, menindas dan
sebagainya, lalu mengapa ibadah Umat Islam di Kota/Tianjin/begitu
normalnya dan sama sekali tidak ada penjagaan seperti aktivitas
pemeriksaan? Begitupun dengan teman-teman saya yang lain yang berada di
kota lain di Tiongkok, mereka juga merasakan dan melihat secara langsung
bahwa proses menjalankan ibadah Umat Muslim di Masjid berlangsung normal
dan faktanya ternyata itu dijamin pada pasal 36 konsitusi Negara
Republik Rakyat Tiongkok.
Pikiran selanjutnya muncul dengan pertanyaan, lantas apa yang terjadi di
Provinsi/Xinjiang/? Terjawab bahwa itu adalah murni bagaimana Pemerintah
Republik Rakyat Tiongkok dalam mengelola wilayahnya paling ujung, paling
barat, yaitu Provinsi Xinjiang. Sebagaimana layaknya sebuah negara dalam
mengelola perbatasannya demi menjaga keutuhan negaranya serta menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan. Melindungi dari pemahaman dan pengaruh
pihak luar yang ingin mengganggu kedaulatan. Tindakan ini juga tercantum
pada pasal 36 konsitusi Negara Republik Rakyat Tiongkok yang menyatakan
bahwa "Tidak ada yang akan menggunakan agama untuk melaksanakan kegiatan
yang merusak tatanan sosial, mengganggu kesehatan warga atau mengganggu
sistem pendidikan negara. Kelompok keagamaan dan urusan keagamaan tidak
tunduk pada pengaruh asing.”
Pertanyaan selanjutnya, mengapa persoalan ekstrimisme dan terorisme
mengatasnamakan agama yang menjadi alasan pemerintah untuk melakukan
tindakan khusus pelatihan dan pendidikan di Provinsi/Xinjiang/?
Terjawab, tentunya ada sebab dan ada akibat, tidak ada asap jika tidak
ada api, bahwa sejak tahun 1990-2016 terjadi tragedi teror di Xinjiang.
Pertanyaan selanjutnya, melihat hal ini, bagaimana kita sebagai sebuah
negara bertindak? Apakah diam saja? Tentu tidak, harus ada hal-hal yang
dilakukan sebagaimana negara lain mengatasi persoalan terorisme dan
ekstrimisme, karena ini merupakan kejahatan/global/. Serta setiap negara
pasti memiliki caranya sendiri tergantung dari kondisi internal negara
tersebut, yang terpenting tidak melanggar HAM. Pemerintah Republik
Rakyat Tiongkok mengatasi ini dengan Program Pendidikan Pelatihan Vokasi
dan Kejuruan didalamnya juga ditanamkan nilai-nilai kenegaraan.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana proses pendidikan dan pelatihan
tersebut? Apakah betul melanggar HAM seperti yang diberitakan (dengan
kekerasan, persekusi, penindasan, dsb) ?
Saya sebagai orang yang memperoleh informasi mengatakan bahwa terdapat
dua versi soal ini, versi pertama, di media BBC dan beberapa media lain
diberitakan adanya persekusi. Belum lagi pernyataan kontroversial Mesut
Ozil yang mengatakan bahwa ada pembakaran Al Qur’an dan pelarangan
ibadah, dsb. Belum lagi soal berita-berita lain yang berseliweran di
media sosial kita.
Versi kedua, pernyataan Ahmed, mahasiswa asal Provinsi/Xinjiang/dan dari
suku/Uyghur/mengatakan tidak. Dokumen penjelasan dari pemerintah
Republik Rakyat Tiongkok pun sudah menjelaskan tidak, serta secara detil
dan lengkap bagaimana proses pendidikan dan pelatihan di
Provinsi/Xinjiang/. Media-media internasional dari Arab Saudi, Mesir,
dan Turki pun sudah memberitakan itu dan mengapresiasi.
Melalui pengamatan saya versi yang pertama itu menyebar dengan masif
dengan tingkat intensitas yang sangat tinggi. Sedangkan versi yang kedua
saya pikir tidak semasif dan setinggi intensitas versi yang pertama.
Beberapa orang menyampaikan tapi secara tingkat intensitas produksi
tertutupi oleh masif dan tingginya intensitas penyebaran berita pertama.
Kita harus objektif menilai berita dan informasi. Secara nilai adalah
tetap sama keduanya adalah sebuah berita dan informasi. Kebenaran bukan
dinilai secara kuantitas dari produksi berita, bukan dihitung dengan
angka tingginya sebaran, sapalagi menilai dengan perasaan (/feeling/)
yang terbangun akibat sentuhan-sentuhan solidaritas keagamaan.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengecek kebenaran
tersebut. Bukan langsung menyebarkan berita dengan tambahan kata-kata
menuduh dan menghujat karena jikalau tidak benar maka akan menjadi
fitnah yang tidak berdasar. Semua tindakan yang kita lakukan tentunya
akan dinilai oleh Tuhan YME, sehingga kita harus hati-hari.
Cara mengeceknya adalah dengan berangkat kesana dan melihat secara
langsung. Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok Untuk Indonesia Mr. Xiao
Qian pun sudah menyampaikan silakan bagi yang mau melihat langsung
Provinsi Xinjiang dan bertemu dengan penduduk muslim disana dengan
murni, alami, dan tanpa ada rekayasa sosial masyarakat sebelumnya.
/So/, mari kita sama-sama menabung buktikan dengan berangkat langsung
serta melihat kesana.Termasuk saya yang sedang menabung untuk berencana
berangkat ke Provinsi/Xinjiang/melihat secara langsung.
Achyar Al Rasyid
Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Bidang Hubungan
Internasional / Kandidat Ph.D./Urban Planning, Tianjin University/,
Republik Rakyat Tiongkok