-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1962-mahkamah-tanpa-agung




 Kamis 15 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Mahkamah tanpa Agung 

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | Editorial

   Mahkamah tanpa Agung MI/Ebet Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group. 
HUKUM di negeri ini berpacu dengan waktu untuk bersungguh-sungguh membangun 
kepercayaan publik tentang komitmen terhadap keadilan dan kebenaran. Keadilan 
dan kebenaran itu, selama ini, ditaklukkan uang dan kekuasaan. Itulah yang 
menyebabkan korupsi dalam berbagai bentuk tetap tumbuh subur dan dirawat 
sepenuh hati di Indonesia. Namun, yang mahapenting dan menggembirakan ialah 
hakim mulai menghunus pedang perlawanan terhadap korupsi. Tidak 
tanggung-tanggung, empat terdakwa kasus megakorupsi PT Asuransi Jiwasraya 
(Persero) divonis seumur hidup pada Senin (12/10). Hakim menjatuhkan vonis 
seumur hidup bagi bekas Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hary 
Prasetyo, bekas direktur utama Hendrisman Rahim, dan bekas Kepala Divisi 
Investasi dan Keuangan Syahmirwan. Satu lagi ialah Direktur PT Maxima Integra 
Tbk Joko Hartono Tirto. Terus terang dikatakan bahwa selama ini hakim 
membiarkan pedang hukum berkarat dalam sarungnya. Pasal hukuman seumur hidup 
untuk koruptor dibiarkan menjadi seonggok teks tanpa makna, lebih parah lagi 
karena suka-suka dimaknai. Dari sekian banyak ketentuan yang mengatur tindak 
pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketentuan yang mengatur 
tentang merugikan keuangan negara, hanya terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3. 
Selebihnya, korupsi tidak memerlukan penghitungan kerugian keuangan negara. 
Pasal 2 berbunyi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan 
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat 
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur 
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan 
denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Sementara itu, 
Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri 
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan 
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat 
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur 
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan 
denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Sepanjang 21 tahun 
dua pasal itu sah berlaku, jumlah koruptor dihukum seumur hidup bisa dihitung 
jari satu tangan. Hanya empat orang dihukum seumur hidup berkekuatan hukum 
tetap. Mereka ialah Edy Santoso dan Adrian Waworuntu dalam kasus skandal 
pembobolan BNI pada 2005. Selang sembilan tahun kemudian, pada 2014, mantan 
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dijatuhi hukuman seumur hidup disusul 
Brigjen Teddy Hernayadi pada 2016. Padahal, Pasal 2 dan Pasal 3 itu menjadi 
primadona, paling banyak digunakan. Namun, hakim doyan menggunakan Pasal 3 
karena hukuman paling singkat satu tahun penjara. Hasil riset terbaru Indonesia 
Corruption Watch (2020), rata-rata vonis di tingkat pertama hanya 2 tahun 11 
bulan, banding 3 tahun 6 bulan, dan kasasi ataupun peninjauan kembali 4 tahun 8 
bulan. Hakim tidak bisa lagi suka-suka menjatuhkan vonis atas koruptor. Itu 
karena, sejak 8 Juli, sudah ada pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 
Tipikor. Pedoman itu diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020. 
Dalam perma yang diteken Ketua MA M Syarifuddin itu, MA memberikan pedoman 
kepada para hakim yang mengadili perkara korupsi untuk mengetukkan palu hukuman 
dalam lima kategori kerugian negara. Kategori paling berat ialah merugikan 
keuangan negara atau perekonomian negara lebih dari Rp100 miliar. Untuk 
kategori berat, kerugian negara mencapai Rp25 miliar-Rp100 miliar, kategori 
sedang Rp1 miliar-Rp25 miliar, kategori ringan Rp200 juta-Rp1 miliar, dan 
paling ringan kurang dari Rp200 juta. Selain kerugian negara, vonis juga harus 
mempertimbangkan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan terdakwa korupsi. 
Jika semuanya masuk kategori berat, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara 16 
tahun hingga 20 tahun atau seumur hidup. Sudah empat terdakwa divonis seumur 
hidup pascaperma. Itu vonis pada tingkat pertama yang bisa saja mendapat diskon 
hukuman pada tingkat selanjutnya. Konsistensi MA kini diuji, apakah benteng 
terakhir pencari kebenaran dan keadilan itu kembali membiarkan pedang hukum 
karat dalam sarungnya? Apakah hukuman seumur hidup didiskon besar-besaran? Jika 
itu terjadi, namanya mahkamah tanpa agung.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1962-mahkamah-tanpa-agung






Kirim email ke