-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2136-membuka-ruang-dialog



 Kamis 08 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Membuka Ruang Dialog 

Administrator | Editorial 

  OMNIBUS Law ialah realitas politik hari ini. Di balik isi, pro ses 
pembuatan Rancangan Undang- Undang (RUU) Cipta Kerja, maupun persetujuannya 
oleh DPR yang menurut sebagian kalangan cukup kontroversial. Faktanya, kini RUU 
tersebut tinggal menunggu pengesahan Presiden untuk menjadi UU. Dalam sebuah 
realitas politik, tentu terbuka ruang untuk mereka yang setuju maupun yang 
tidak setuju. Tidak semua harus setuju, begitupun tidak boleh ada yang 
memaksakan ketidaksetujuan. Di tengah-tengah itulah ada ruang dialog atau 
diskusi. Tak melulu untuk mengejar titik temu, tapi paling tidak dialog itu 
bisa meminimalkan kesalahpahaman antarpihak. Proses itulah yang, sayangnya, tak 
terlalu terlihat dalam polemik Omnibus Law UU Cipta Kerja. Kesalahpahaman 
telanjur mendominasi, hoaks-hoaks keburu menggiring opini dan ketidakpuasan 
publik. Arus penolakan pun kian meninggi setelah DPR menyetujui RUU untuk 
disahkan jadi UU. Pada saat sama, sosialisasi dan penjelasan pemerintah malah 
tertinggal beberapa langkah. Benar bahwa ada beberapa substansi dari isi RUU 
Cipta Kerja itu yang mungkin tak memuaskan sejumlah pihak. Baik isu lingkungan, 
ketenagakerjaan, maupun perizinan. Namun, patut diduga, sebagian besar 
penolakan yang muncul di lapangan hingga memunculkan unjuk rasa di sana sini, 
sejatinya lebih terpicu oleh berita yang sudah terdistorsi dan kabar yang tak 
sepenuhnya sesuai fakta. Ditambah pula oleh asumsi yang berkembang karena 
omnibus law di satu sisi direspons sangat positif oleh investor dan pengusaha, 
tapi di sisi lain ditolak kaum buruh. Kesan yang muncul ialah undang-undang ini 
amat berpihak kepada para pemegang uang. Belum lagi dugaan dan kecurigaan 
bermunculan lantaran proses persidangan di DPR yang cukup ‘istimewa’ karena 
cepatnya. Tentu bukan hal mudah bagi pemerintah untuk menjawab itu semua. 
Namun, juga belum terlambat untuk melakukan hal krusial di saat-saat seperti 
ini, yakni membuka ruang dialog. Dialog harus disegerakan sebelum gelombang 
penolakan berkembang kian tak terkendali. Spirit dari proses dialog ialah semua 
pihak mesti mampu menahan diri dan membuka diri. Demokrasi tidak boleh melarang 
penyampaian pendapat, termasuk lewat demonstrasi atau unjuk rasa. Namun, di 
saat pandemi seperti ini, boleh jadi aksi-aksi yang pasti menciptakan kerumunan 
seperti itu justru akan memunculkan masalah baru. Kita tidak ingin terjadi, 
tapi sangat mungkin unjuk rasa akan menciptakan klaster-klaster baru penularan 
covid-19. Karena itu, proses dialog dan diskusi menjadi amat penting untuk 
dikedepankan. Setelah dialog, pekerjaan rumah (PR) pemerintah berikutnya ialah 
membuat aturan-aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang konkret dan aplikatif. 
Aturan-aturan itu, baik nantinya berupa peraturan pemerintah (PP) maupun 
(perpres), semestinya bisa menjadi bukti dari klaim pemerintah bahwa omnibus 
law tidaklah sengawur yang ditakutkan kaum buruh, mahasiswa, maupun aktivis 
lingkungan. Supaya tak melenceng, publik pun perlu mengawal penyusunan 
aturan-aturan turunan itu. Namun, jika dialog dan semua aturan turunan itu 
belum juga dapat memuaskan publik, negara ini punya satu saluran untuk 
menampung keberatan terhadap UU atau materi dalam UU, yakni dengan melakukan 
judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Manfaatkan jalur itu sebagai 
penghormatan kita terhadap hukum dan demokrasi.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2136-membuka-ruang-dialog







Kirim email ke