-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>




https://news.detik.com/kolom/d-5188036/panggung-politik-perempuan-melawan-pelecehan-seksual?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom Kalis

Panggung Politik Perempuan Melawan Pelecehan Seksual

Kalis Mardiasih - detikNews
Jumat, 25 Sep 2020 16:20 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
kalis mardiasih
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Perempuan zaman sekarang semakin galak. Sedikit-sedikit teriak pelecehan. 
Sedikit-sedikit darurat kekerasan seksual. Cuma disiulin saja marah. Cuma 
digoda lewat chat langsung melapor di media sosial. Seram. Demikian tradisi 
lama yang dianggap normal merasa was-was dan kebingungan menghadapi norma baru: 
budaya melawan pelecehan seksual!

Kita sampai pada episode: seorang politikus laki-laki mencuit lewat akun 
pribadinya di Twitter perihal paha politikus perempuan. Paha calon wakil wali 
kota Tangsel itu mulus banget, ujarnya, secara sadar dan terbuka. Padahal, 
Rahayu Saraswati, sang calon wakil wali kota, pagi itu sedang dalam agenda 
berolahraga, tentu saja sepatutnya dengan pakaian olahraga.

Pelecehan seksual verbal oleh Cipta Panca Laksana serupa riak keruh yang 
menggambarkan betapa besar tantangan perempuan di ruang publik. Menariknya, ini 
bukan soal jenis kelamin. Seksisme bukan wajah laki-laki, melainkan wajah siapa 
pun dengan perasaan merasa berkuasa yang bertujuan membuat pihak yang lebih 
lemah menjadi tak berdaya, merasa rendah, merasa bersalah, mempertanyakan 
kembali dirinya sendiri sehingga selanjutnya dapat dikontrol dan dikuasai.

Nyatanya, Panca meleset. Ia salah memilih lawan.

Di media sosial yang terbuka, pelaku pelecehan memilih mengomentari bentuk 
tubuh perempuan, warna lipstik perempuan, baju perempuan hingga status 
perkawinan perempuan dibanding menakar gagasan perempuan yang disampaikan 
sesuai latar belakang akademik dan kiprah politiknya. Bisa jadi, ia tak mampu 
mengimbangi gagasan perempuan. Bisa jadi, ia adalah produk dari dunia yang 
terlalu laki-laki dari abad sebelumnya yang masih terkaget-kaget akan 
keberadaan perempuan pintar. Dalam dunianya yang dalam goa, ia masih berpikir 
perempuan tercipta sebagai budak dan pelayan.

Di ruang rapat, pejabat usia kepala lima merasa normal melecehkan mahasiswi 
magang dalam lembaga Pemerintahan. Kerlingan, tatapan, dan sentuhan yang tak 
diinginkan, kode gerakan yang membuat tak nyaman, hingga teks-teks bermuatan 
seksual digencarkan. Kita belum menghitung berapa banyak teknik manipulasi 
untuk mementahkan gagasan perempuan. Bersuara keras sedikit, sebut saja 
perempuan sebagai makhluk emosian. Banyak menyanggah pendapat di forum, sebut 
saja perempuan sedang siklus bulanan. Memperjuangkan nasib perempuan, anak-anak 
dan kelompok rentan, sebut saja perempuan memang hobi baperan.

Pertama, pelecehan seksual selalu soal relasi kuasa, dan struktur politik 
adalah profesi dengan kekuasaan paling mutakhir. Selama puluhan tahun sejak 
demokrasi memberi kesempatan perempuan terjun ke panggung politik, pelecehan 
seksual dinormalisasi begitu saja sebab struktur yang ada di atas dapat 
mengancam apa saja untuk struktur di bawahnya. Ada mitos yang menganggap bahwa 
struktur partai, lembaga pemerintahan, lembaga agama, perusahaan hingga kampus 
semestinya jadi lembaga yang bersih dari berita-berita "memalukan".

Kini, mitos itu dilawan. Lembaga apa saja justru memalukan jika melanggengkan 
tradisi pelecehan terhadap perempuan! Lembaga yang bisa merespons dengan cepat 
tindakan kekerasan seksual dengan berpihak kepada kerentanan korban akan 
menjadi lembaga yang terhormat dan terpercaya.

Kedua, normalisasi pelecehan seksual didukung dengan normalisasi pandangan 
bahwa tubuh perempuan mesti patuh. Tubuh yang telah dibuat patuh, pikiran dan 
sikap dengan mudah dibuat tunduk. Di linimasa, warganet mengutuk pelaku, namun 
juga sekaligus memberi saran agar perempuan berpakaian "sepatutnya". Mirip 
seperti pertanyaan apakah perempuan yang ada di ruang publik tetap bisa jadi 
pasangan dan ibu yang baik di rumah?

Tuntutan serupa tak pernah dicek kepada laki-laki. Pertanyaan berikutnya, apa 
standar kepatutan itu?

Belakangan, gelombang industri fesyen muslim punya pengaruh signifikan terhadap 
bergesernya norma kepatutan pakaian perempuan. Meskipun, sejak dulu penggunaan 
jilbab punya pengaruh signifikan terhadap political correctness hingga 
tersangka koruptor pun selalu berjilbab dadakan di ruang sidang.

Hari ini, diskursus jilbab terus berkembang dalam lanskap sosial Indonesia. 
Laporan Alvara Research Institute dalam Indonesian Moslem Report 2019 mendata 
jumlah perempuan berjilbab di Indonesia mencapai lebih dari 75%.

Di sekolah negeri, tanpa landasan tertulis apa pun, semacam terdapat 
kesepakatan tak tertulis menyoal bentuk seragam panjang, baik untuk perempuan 
maupun laki-laki. Banyak cerita dari siswi yang tak berjilbab atau tak 
berseragam panjang mendapat teguran langsung dari guru atau kepala sekolah. 
Jika tak langsung, ketidaknyamanan menjadi minoritas tak berjilbab dapat 
berasal dari sindiran atau nasihat terus-menerus agar segera berjilbab.

Apa alasannya? Tak ada. Hanya sepatutnya. Kepatutan sosial bahwa hari ini 
mayoritas perempuan mengenakan tren fesyen muslim.

Di perkampungan, kaum ibu berangkat ke acara hajatan dengan model fesyen muslim 
terkini. Para ibu sesungguhnya tak benar-benar mendefinisikan apa yang syar'i 
dan bukan syar'i menurut standar kekinian, melainkan model fesyen itulah yang 
dapat mereka temukan di pasar dan menjadi tren. Tren industri yang membentuk 
standar kepatutan baru, sampai-sampai balita perempuan pun terimbas tren itu.

Sebagai pilihan berpakaian untuk perempuan, tentu saja gelombang fesyen muslim 
ini bersifat dinamis. Sebagaimana produk kebudayaan lain, tren berpakaian akan 
terus berdialog dengan masyarakat sebagai pemakai produk kebudayaan itu. Produk 
yang fungsional, nyaman disertai daya kreatif akan keindahan akan memenangkan 
kebutuhan dan imajinasi manusia untuk sebuah kualitas barang.

Persoalan muncul ketika tren fesyen muslim untuk perempuan tidak bergerak 
sejalan dengan kesadaran perempuan akan agensi diri yang semakin kokoh. 
Perempuan, dengan pilihan berpakaiannya tidak boleh dilecehkan dan tidak boleh 
menjadi korban kekerasan.

Perlawanan terhadap pelecehan seksual mulai menjadi gerakan global lewat tagar 
"MeToo" pada 2017. Berawal dari laporan New York Times dan New Yorker tentang 
dugaan pelecehan seksual, kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan oleh 
Harvey Weinstein kepada lebih dari 80 perempuan dalam industri film, perempuan 
dari seluruh dunia bersepakat untuk mulai bicara soal pengalaman kekerasan 
seksual yang mereka alami.

Pada 2018, muncul gerakan #MosqueMeToo untuk mengeskalasi cerita pengalaman 
pelecehan seksual yang dialami perempuan ketika beribadah haji dan berziarah di 
tempat suci. Seorang Muslimah Pakistan, Sabica Khan, yang pertama menuliskan 
pengalaman di Facebook menghapus kiriman karena ketakutan, tetapi disambut 
dengan dukungan dari perempuan seluruh dunia yang kemudian mulai turut 
bercerita.

Di Mesir, pada Juli 2020, untuk pertama kali media massa memuat headline survei 
pelecehan seksual. Menurut survei itu, pelecehan seksual menimpa perempuan 
berhijab dengan persentase 32%, perempuan tanpa hijab 21%, kemudian menyusul 
perempuan dengan abaya lebar sebesar 20%. Setelahnya, akun Instagram 
@assaultpolice rutin mengawal aduan pelecehan seksual di lingkungan akademik 
dan tempat kerja. Akun ini juga menjadi inisiatif gerakan untuk edukasi anti 
pelecehan seksual kepada perempuan di Mesir.

Jawaban Rahayu Saraswati cukup mencuri hati saya. Ia memilih memaknai peristiwa 
yang ia alami untuk mengingatkan publik akan angka kekerasan seksual yang 
tinggi dan nyata dialami para perempuan dan anak yang jauh lebih lemah dan 
lebih rentan dibanding dirinya. Ia memakai momentum untuk menjadi pelantang 
bagi suara-suara korban yang selama ini tak punya kesempatan bicara.

Panggung politik perempuan bersiap melawan pelecehan seksual. Jika Anda masih 
bertanya sampai kapan para perempuan ini terus berisik? Jawabannya, barangkali, 
belum dalam waktu dekat ini mereka berhenti bicara. Sebab, perlawanan akan 
makin membuat para penganut norma lama tak nyaman. Tak akan berhenti, sampai 
perlindungan hukum tegak kepada korban. Sampai masyarakat melihat perempuan 
sebagai seutuhnya manusia dengan gagasan dan kesadaran, bukan semata tubuh yang 
dapat ditundukkan oleh kekuasaan.

(mmu/mmu)
pelecehan seksual


0 komentar






Kirim email ke