Soal omnibus law, Menkopolhukam: Penyerapan aspirasi sudah berjalan
Rabu, 21 Oktober 2020 02:03 WIB
Soal omnibus law, Menkopolhukam: Penyerapan aspirasi sudah berjalan
Menko Polhukam Mahfud MD (HO-Tangkapan layar Youtube)
Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
Mahfud MD menyebutkan proses penyerapan aspirasi dalam
penyusunan/omnibus law/UU Cipta Kerja sudah berjalan.
"Bahwa ada orang tidak setuju, itu soal lain," kata Mahfud dalam talk
show bertajuk Setahun Jokowi-Ma'ruf di salah satu televisi swasta,
Jakarta, Selasa (20/10) malam.
Itulah sebabnya, kata dia, dibentuklah lembaga Mahkamah Konstitusi (MK)
untuk menangani pengaduan terhadap perundang-undangan.
Bahkan, kata dia, jika memang mau mencari kesalahan tentu semua UU punya
sisi kelemahan sehingga dipersilakan jika mengajukan "judicial review"
ke MK.
*Baca juga:Mahfud minta pengunjuk rasa waspadai penyusup
<https://www.antaranews.com/berita/1792309/mahfud-minta-pengunjuk-rasa-waspadai-penyusup>*
"Mana ada UU di Indonesia tidak diprotes? Yang tahun ini semua diprotes.
Ya, ndak apa-apa, tetapi negara ini kan harus jalan.
Bukan kalau diprotes kemudian berhenti, evaluasi," ujar mantan Ketua MK itu.
Yang jelas, kata dia, proses penyerapan aspirasi dalam penyusunan
Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah berjalan, misalnya dari Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
"Said Iqbal itu sudah beberapa kali ke kantor saya, menyampaikan 13 usul
perbaikan, sudah ditampung. Ditampung, dalam arti mari dirembuk.
Pasalnya dirembuk, mari cari jalan tengah," katanya.
Kemudian, kata Mahfud, ketika ada polemik soal klaster pendidikan dalam
UU Omnibus Law sehingga akhirnya dicabut.
*Baca juga:Menko Polhukam: Perlakukan pedemo secara humanis
<https://www.antaranews.com/berita/1792273/menko-polhukam-perlakukan-pedemo-secara-humanis>*
"Bahwa kemudian ada perbedaan isi itu ndak apa-apa, itu ada
kritik-kritik bagus tadi. Meskipun kadangkala kritiknya terlambat.
Artinya, begitu ada kritik, itu sudah dicabut yang dikritik," katanya.
Selain itu, Mahfud mengatakan awal mula/omnibus law/itu sudah muncul
sejak 2016 ketika dirinya, Jimly Asshidiqie, dan Indriyanto Seno Adji
diundang Luhut B Panjaitan semasa menjadi Menko Polhukam.
"Kata Pak Luhut, bagaimana ini pemerintah terhambat? Di situlah kita
katakan buat saja/omnibus law/, itu 2016. Oke, saat mau digarap
tiba-tiba Pak Luhut mau di-'reshuffle' ke (Menteri) kemaritiman. Macet
itu," katanya.
Saat itu, kata dia, regulasi di Indonesia sangat tumpang tindih sehingga
menghambat investasi, misalnya "dwelling time" kapal yang bisa sampai
7-8 hari.
*Baca juga:Mahfud akan umumkan hasil investigasi Intan Jaya
<https://www.antaranews.com/berita/1789021/mahfud-akan-umumkan-hasil-investigasi-intan-jaya>*
"Kok lama sekali? Apa ndak bisa 2-3 hari. Sesudah ditanya di bidang
itunya, ada uu lain yang beda. Sesudah diselesaikan di imigrasinya, wah
ini ada lain lagi, lain lagi," katanya.
Oleh karena itu, kata Mahfud, pemerintah melalui/omnibus law/UU Cipta
Kerja sebenarnya bertujuan untuk, antara lain mengatasi tumpang tindih
aturan dan membuka lapangan kerja.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: M Arief Iskandar
KPPU: UU Cipta Kerja bisa ciptakan persaingan usaha sehat
Rabu, 21 Oktober 2020 03:31 WIB
KPPU: UU Cipta Kerja bisa ciptakan persaingan usaha sehat
Kepala Kantor Wilayah IV Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di
Surabaya, Dendy Rakhmat Sutrisno. (ANTARA/Awaludin)
Mataram (ANTARA) - Kepala Kantor Wilayah IV Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) di Surabaya, Dendy Rakhmat Sutrisno, menyatakan
Undang-Undang Cipta Kerja bisa menciptakan persaingan usaha yang sehat
dengan adanya sanksi denda tak terbatas bagi pelaku usaha nakal.
"Dalam satu pasal di undang-undang itu, denda maksimalnya dihapus. Jadi
bisa lebih dari Rp25 miliar. Ini memberikan ruang untuk membuat efek
jera," kata Dendy kepada wartawan di Mataram, Selasa.
Selama ini, KPPU hanya bisa memberikan sanksi denda maksimal sebesar
Rp25 miliar kepada pelaku usaha nakal.
Dengan penghapusan denda maksimal di dalam Undang-Undang Cipta Kerja,
bisa membuat KPPU bisa menjatuhkan sanksi yang lebih proporsional
terhadap kerusakan yang ditimbulkan akibat persaingan usaha yang tidak
sehat.
"Dari sisi sanksi sebenarnya bisa memberikan harapan muncul denda-denda
yang lebih fair. Tetapi kalau sanksi yang seharusnya Rp1 triliun
dendanya Rp25 miliar ya dibayar, tidak ada efek jera," ujarnya.
Meskipun tidak ada batasan nilai denda, hukuman yang diberikan sesuai
Undang-Undang Cipta Kerja bukan untuk mematikan pelaku usaha. Namun
lebih kepada memberikan efek jera dan mengingatkan pelaku usaha untuk
bersaing secara sehat.
"Di beberapa putusan KPPU ada yang dendanya Rp1 miliar karena kita
merasa kalau didenda Rp1 miliar malah mati. Mematikan usaha bukan tujuan
dari penegakan hukum," ucapnya pula.
Dalam kerangka percepatan pemulihan ekonomi nasional dan daerah,
pihaknya menginginkan agar para pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat
mulai menerapkan kultur bersaing sehat.
KPPU juga mendorong munculnya kemitraan yang sehat antara pelaku usaha
besar dengan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sebab, jumlah
pelaku UMKM luar biasa banyaknya.
"Sebesar 99 persen usaha mikro kalau itu tidak dikelola dengan bagus
berarti tidak ada artinya jumlah yang besar itu," katanya.
KPPU juga berharap kepada Pemerintah Provinsi NTB untuk memastikan
kebijakan yang diambil tidak bersinggungan dengan Undang-Undang
Persaingan Usaha, namun lebih mendorong terciptanya persaingan usaha
yang sehat.
*Baca juga:KPPU dukung pengusutan dugaan persaingan tak sehat impor
bawang putih
<https://www.antaranews.com/berita/1744365/kppu-dukung-pengusutan-dugaan-persaingan-tak-sehat-impor-bawang-putih>
Baca juga:KPPU sebut monopolisasi di industri perunggasan tidak dilarang
<https://www.antaranews.com/berita/1719242/kppu-sebut-monopolisasi-di-industri-perunggasan-tidak-dilarang>*
Pewarta: Awaludin
Editor: Royke Sinaga