-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://www.detik.com/tag/pemprov-jateng/?tag_from=tag_detail





Kolom

Peran Pemda dalam Pelaksanaan UU Cipta Kerja

Timboel Siregar - detikNews
Rabu, 14 Okt 2020 16:48 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Timboel Siregar
Foto: Istimewa
Jakarta -

Kehadiran UU Cipta Kerja yang disahkan tanggal 5 Oktober 2020 lalu terus menuai 
pro dan kontra. Aksi demonstrasi yang awalnya disuarakan Serikat 
Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB), juga diikuti oleh mahasiswa dan kelompok 
lainnya. Tentunya aksi demonstrasi yang dilakukan kalangan buruh terkait erat 
dengan pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang nilainya 
turun, dibandingkan isi di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Semangat membuat UU Cipta Kerja adalah baik untuk mendukung pembukaan lapangan 
kerja lebih banyak lagi, yaitu dengan mempermudah proses perizinan investasi di 
Indonesia. Selama ini pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen sehingga belum 
mampu mengatasi pertumbuhan angkatan kerja 2,6 juta sampai 3 juta orang tiap 
tahun. Lapangan kerja yang berhasil dibuka sekitar dua juta per tahun, sehingga 
target pembukaan lapangan kerja sebanyak sepuluh juta tercapai.

Namun tujuan baik ini dinilai tidak selaras dengan perlindungan pekerja. Ada 
beberapa pasal di UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang berpotensi 
menurunkan perlindungan pekerja, yaitu pertama, ketentuan Pasal 59 tentang 
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak di UU Cipta Kerja tidak 
lagi menyebutkan secara eksplisit tentang jangka waktu kontrak dan batas waktu 
perpanjangan kontrak. Ketentuan ini membuat ketidakpastian bagi pekerja kontrak.

Kedua, tentang pekerja alih daya (outsourcing) yang diatur di Pasal 66 UU Cipta 
Kerja, tidak lagi mensyaratkan pekerja alih daya hanya bisa dilakukan untuk 
pekerjaan yang sifatnya penunjang. Dengan ketentuan ini jenis pekerjaan inti 
bisa diisi oleh pekerja outsourcing. Pekerja alih daya pasti dikontrak oleh 
perusahaan alih daya.

Selama ini pekerja kontrak dan outsourcing kerap kali mengalami pelanggaran hak 
normatif seperti upah di bawah ketentuan upah minimum dan tidak didaftarkan ke 
lima program jaminan sosial. Rendahnya penegakan hukum yang dilakukan pengawas 
ketenagakerjaan menjadi faktor utama terjadinya pelanggaran hak normatif ini.

Ketiga, Pasal 88C di UU Cipta Kerja hanya mewajibkan Gubernur menetapkan upah 
minimum propinsi (UMP) sementara upah minimum kabupaten/kota (UMK) tidak wajib 
dan upah minimum sektoral dihapuskan. Ketentuan tentang penetapan UMK 
berdasarkan kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi suatu daerah.

Dengan ketentuan baru ini maka kota/kabupaten yang selama ini sudah memiliki 
nilai UMK akan berpotensi diganti oleh penerapan UMP. Nilai UMP lebih rendah 
dari UMK. Bila Gubernur hanya menetapkan UMP maka upah pekerja yang baru 
direkrut di sebuah kabupaten/kota akan mengacu pada nilai UMP.

Keempat, terkait PHK, UU Cipta Kerja memposisikan ketentuan alasan PHK dan 
perhitungan kompensasi PHK diatur di PP. Tentunya hal ini berpotensi menurunkan 
kepastian bekerja dan kompensasi PHK yang diterima pekerja ter-PHK. Persoalan 
PHK tertunya akan berkaitan erat dengan proses penyelesaian perselisihan 
hubungan industrial oleh mediator, dan pengawas ketenagakerjaan bila terkait 
dengan pelanggaran hak normatif pekerja.

Empat hal di atas memang relatif krusial bagi pekerja, walaupun tentunya ada 
hal lain di UU Cipta Kerja yang juga harus dikritisi seperti Program Jaminan 
Kehilangan Pekerjaan (JKP), waktu kerja dan tenaga kerja asing.

Respons Para Gubernur

Aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja terjadi juga di berbagai daerah. Para 
demonstran mendatangi kantor Gubernur dan DPRD. Respons para Gubernur cukup 
beragam. Ada yang membuat surat ke Presiden untuk menyampaikan aspirasi buruh 
menolak UU Cipta Kerja, ada Gubernur yang menyatakan menolak UU Cipta Kerja, 
ada Gubernur yang berdialog dengan kaum buruh, dan ada Gubernur yang enggan 
bertemu para demonstran.

Menarik untuk mencermati apa yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo 
yang tidak hanya bertemu dengan para demonstran tetapi juga mengajak dialog 
perwakilan SP/SB dari beberapa daerahnya, dengan tetap menjaga protokol 
Kesehatan. Dalam dialog tersebut, Gubernur Ganjar Pranowo mengajak Pemerintah 
Daerah (Pemda) dan SP/SB untuk saling mengevaluasi dan bertanya tentang apa 
yang bisa dilakukan setelah hadirnya UU Cipta Kerja ini.

Urusan ketenagakerjaan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 
merupakan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi urusan pemerintahan wajib. 
Oleh karenanya peran Pemda Tingkat I sangat signifikan terhadap masalah 
ketenagakerjaan.

Silahturahmi dan dialog sosial yang dibangun Gubernur Ganjar Pranowo dengan 
SP/SB merupakan modal baik bagi SP/SB untuk memastikan pelaksanaan UU Cipta 
Kerja mendukung pekerja. Persoalan ketidakpastian bagi pekerja PKWT dan 
outsourcing dapat diminimalisir dengan peran pengawas ketenagakerjaan yang 
lebih berkualitas.

Mengingat pengawas ketenagakerjaan ada di tingkat Propinsi maka Gubernur dapat 
meningkatkan peran Pengawas ketenagakerjaan sekaligus mengontrol dan 
mengevaluasi peran pengawas tersebut. Pak Ganjar akan membuka ruang pengaduan 
langsung dari SP/SB. Tidak hanya itu, pengawas ketenagakerjaan juga bertugas 
mengawal pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan 
(PP) yang menjadi ketentuan hubungan industrial (HI) di tempat kerja.

Terkait proses PHK, tentunya kekhawatiran adanya PHK yang lebih mudah dapat 
diminimalisir oleh peran mediator yang ada di tingkat Propinsi dan Kabupaten 
Kota. Peran sentral mediator melaksanakan penyuluhan HI akan meningkatkan 
kesepahaman HI antara pekerja dan pengusaha, demikian juga proses mediasi 
penyelesaian perselisihan HI khususnya perselisihan PHK akan bisa menghasilkan 
solusi win-win dengan kehadiran mediator yang berkualitas. Gubernur bisa 
meningkatkan kualitas mediator sekaligus mengawasi peran mediator dalam 
menangani PHK.

Penetapan upah minimum merupakan kewenangan Gubernur, oleh karenanya 
silaturahmi yang dibangun Gubernur menjadi modal SP/SB untuk memastikan UMK 
tetap berlaku bagi pekerja. Demikian juga Gubernur dapat meningkatkan daya beli 
pekerja yang mendapat upah minimum dengan memberikan diskon harga beberapa 
kebutuhan pokok, sehingga upah minimum tidak menjadi masalah lagi.

Saya berharap seluruh SP/SB di Indonesia bisa meniru SP/SB di wilayah Jawa 
Tengah dengan membangun silahturahmi dan dialog sosial dengan Gubernurnya. 
Demikian juga seluruh Gubernur mau meniru Pak Ganjar Pranowo, sehingga 
pelaksanaan HI di tempat kerja lebih baik lagi berlangsung di wilayahnya.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen Organisasi Pekerja 
Seluruh Indonesia (OPSI)-Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI)
(akn/ega)







Kirim email ke