http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/


Pertaruhan Independensi Jurnalis di Era Industri Pers: Studi Kasus
Pemberitaan Pemilu 2014 di Media Indonesia dan Koran Sindo

By: Rizal Assalam
<http://majalahsedane.org/author/mochamad-ikhsan-rizal-assalam/>

On: 18/05/2017

In: Analisis <http://majalahsedane.org/post/analisis/>

Tagged: independensi <http://majalahsedane.org/tag/independensi/>, pers
industrial <http://majalahsedane.org/tag/pers-industrial/>, posisi kelas
jurnalis <http://majalahsedane.org/tag/posisi-kelas-jurnalis/>, posisi tawar
<http://majalahsedane.org/tag/posisi-tawar/>, pragmatisme
<http://majalahsedane.org/tag/pragmatisme/>




<http://majalahsedane.org/wp-content/uploads/2017/05/rizal-1.jpg>

*Abstrak*

Penelitian ini mengangkat topik tentang independensi jurnalis dan
konstruksi jurnalisme profesional dalam konteks pers industrial di
Indonesia pasca-Orde Baru. Keterkaitan antara ketiganya dibingkai melalui
fenomena politisasi media pada momen Pemilu 2014 melalui studi kasus *Media
Indonesia* dan *Koran Sindo*. Penelitian dengan metode kualitatif ini
difokuskan pada independensi jurnalis sebagai fokus analisis. Berdasarkan
temuan penelitian, konstruksi pers industrial membatasi independensi
jurnalis. Keterbatasan ini didasari oleh posisi jurnalis sebagai kelas
pekerja yang berkonsekuensi pada posisi tawar yang lemah dan dorongan
pragmatisme jurnalis. Posisi kelas tersebut terbentuk dengan dilatari oleh
adanya perubahan konstruksi jurnalisme di dalam konstruksi pers industrial.
Pada akhirnya, independensi jurnalis dibatasi dengan sendirinya oleh
konstruksi jurnalisme profesional.

*Pendahuluan*

Dalam konstruksi profesional, jurnalisme merupakan pekerjaan yang
didedikasikan untuk kepentingan publik. Dalam kerangka ‘kepentingan
publik’, tujuan jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran agar publik dapat
mempunyai informasi yang dibutuhkan untuk berdaulat.(1) Dengan demikian,
fungsi pokok jurnalisme dalam konstruksi profesional pada dasarnya terkait
dengan pelayanan publik.

Untuk menjadi ‘profesional’, prinsip utama yang perlu dipenuhi oleh
jurnalis adalah independensi. Dalam pengertian luas, independensi bermakna
bebas dari pengaruh pemerintah, partai politik, perusahaan bisnis, iklan
dan lainnya.(2) Sementara dalam pengertian politik yang spesifik, prinsip
ini menjadi penting untuk menjaga agar jurnalisme dapat berfungsi secara
impersonal tanpa berpihak pada kepentingan politik tertentu.

Independensi dalam pengertian politik ini mendapat perhatian besar dalam
perkembangan demokrasi terkait kebebasan pers di Indonesia pasca-Orde Baru.
Dalam hal ini, beberapa pengamat telah mengidentifikasi perkembangan
kebebasan pers yang ditandai oleh pemusatan kepemilikan atau konglomerasi
dalam jejaring kekuasaan oligarki.(3) Melalui latar tersebut, media arus
utama digunakan untuk mendukung kepentingan oligarki. Kepentingan oligarki
yang dimaksud di sini yaitu mendominasi sistem perpolitikan melalui partai
politik dan politik elektoral dalam mengamankan penguasaan sumber daya
ekonomi.

Kondisi inilah yang menjadi latar belakang atas arah pemberitaan media arus
utama yang cenderung berpihak seperti yang dapat diobservasi pada Pemilu
2014. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel, terlihat bagaimana media yang
berada di bawah struktur konglomerasi mengambil posisi yang mendukung
kelompok kepentingan tertentu. Arah keberpihakan ini berkesesuaian dengan
posisi politik sang pemilik sebagai politisi.

*Tabel*

*Arah Keberpihakan di Beberapa Pers Pada Momen Pemilu 2014*

*Kelompok*

*Pemilik*

*Pers*

*Arah Keberpihakan Politik*

MNC Group

Hary Tanoesoedibjo

*Koran Sindo*

Partai Hanura, namun kemudian mendukung pasangan Prabowo-Hatta

*Okezone.com*

*RCTI*

*MNC Tv*

*Global Tv*

Bakrie Grup

Aburizal Bakrie

*TvOne*

Partai Golkar

*ANTV*

Media Group

Surya Paloh

*Metro TV*

Partai Nasdem

*Media Indonesia*

*Sumber:* Heychael, Ed (2014), Masduki, dkk (2014), Siregar, dkk (2014)
Darmanto dan Rianto, Ed (2015). Diolah peneliti.

Posisi institusi pers yang berpihak ini memberikan sinyalemen bahwa
jurnalis yang bekerja di dalamnya tidak independen. Tidak independennya
jurnalis ini didasari oleh adanya pengaruh pemilik media terhadap jurnalis
di ruang redaksi. Pengaruh ini dilakukan melalui campur tangan (intervensi)
baik secara langsung dalam bentuk instruksi atau secara tidak langsung oleh
aparatus pemilik melalui penyeleksian berita.(4) Campur tangan itu sendiri
umumnya disertai dengan tekanan dan ancaman terhadap jurnalis.(5)

Di samping itu, faktor yang menjadikan jurnalis tidak independen tidak
hanya didasari oleh intervensi dari luar, melainkan berasal dari dalam diri
jurnalis itu sendiri. Lebih jelasnya, terdapat kecenderungan di mana
jurnalis memajukan kepentingan pemilik sebagai suatu bentuk kepatuhan
secara sukarela tanpa tekanan.(6) Artinya, jurnalis dalam kerangka tersebut
melakukan sensor berdasarkan inisiatif diri atau swa-sensor (
*self-censorship*) dengan menyesuaikan pada kepentingan pemilik. Hal ini
memberikan sinyalemen adanya kesukarelaan jurnalis dengan motif tertentu
terkait pengaruh dan kepentingan pemilik.

Contoh kasus di atas memberikan gambaran tentang adanya permasalahan
independensi jurnalis dalam konstruksi profesional. Berdasarkan
kecenderungan yang ada, jurnalis justru menjalankan fungsi propaganda
ketika bertemu dengan kepentingan strategis pemilik daripada menjalankan
fungsi politik sebagai pelayan publik. Kecenderungan ini juga memberikan
sinyalemen adanya problem yang muncul dalam relasi antara jurnalis dan
pemilik. Secara garis besar, gambaran ini menunjukkan pertentangan dalam
konstruksi jurnalisme profesional yang berlaku.

Gambaran yang menunjukkan posisi keberpihakan ini menarik apabila
dikontraskan dengan konstruksi awal pers dan jurnalisme di Indonesia.
Berdasarkan sejarahnya, konstruksi awal pers dan jurnalisme memang lekat
dan identik dengan organisasi politik tertentu beserta aktivisme
politiknya.(7) Secara logis, hal ini menjadikan jurnalis sejak awal
*partisan*. Konstruksi ini dalam kesejarahan pers dan jurnalisme Indonesia
dikenal sebagai, meminjam istilah Dhakidae dalam disertasinya, ‘jurnalisme
politis’.(8) Singkatnya, pers dan jurnalisme dalam konstruksi politis
memang menjalankan fungsi propaganda.

Pada perkembangannya, konstruksi jurnalisme politis mulai bergeser menjadi
profesional seiring adanya perubahan pada institusi pers. Sejak memasuki
periode Orde Baru, pers mulai beroperasi secara industrial dalam latar
ekonomi kapitalisme yang dijalankan. Dalam konteks pers industrial,
ideologi dan atribut politik yang semula lekat dalam pekerjaan kewartawanan
mulai memudar. Konsekuensinya, eliminasi ideologi dan attribut politik ini
menempatkan jurnalisme sebagai profesi yang tanpa pretensi politik atau
bersifat impersonal.

Berdasarkan tinjauan atas kesejarahan pers dan jurnalisme, terutama melihat
konstruksi jurnalisme politis, maka isu mengenai independensi jurnalis
dalam konstruksi profesional perlu ditempatkan dalam konteks yang spesifik.
Konteks yang dimaksud merujuk pada konteks pers industrial. Hal ini
sebagaimana dalam konteks tersebut memuat pergeseran konstruksi jurnalisme.
Adanya konteks spesifik ini memberikan sinyalemen atas adanya perbedaan
struktur yang mendasari keberpihakan pada dua konstruksi jurnalisme.
Sinyalemen ini diperkuat dengan melihat gejala yang ada: jika keberpihakan
pada konstruksi politis didasari oleh ideologi, pada konstruksi profesional
didasari oleh pengaruh subjektif pemilik.

Dengan demikian, upaya untuk memahami independensi jurnalis pada penelitian
ini berpijak pada pertanyaan: *apakah konstruksi pers industrial
memungkinkan jurnalis independen secara politik? Jika tidak dimungkinkan,
dalam kondisi apa jurnalis menjadi tidak independen? Faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhinya?* Dengan mengasumsikan bahwa faktor-faktor tersebut
terbentuk secara historis, bukan fenomena yang terberi, maka faktor-faktor
tersebut perlu ditelusuri proses pembentukannya. Dalam penelusuran ini
nantinya akan dilihat bagaimana proses tersebut pada akhirnya
berkonsekuensi pada independensi jurnalis.

*Metode Penelitian*

Studi ini menggunakan strategi studi kasus.Penelitian ini akan dibatasi
pada beberapa fokus pembahasan dan analisis. Pertama, unit analisis
dibatasi pada jurnalis-upahan yang terikat kontrak dalam industri pers,
khususnya di media konglomerasi. Kemudian, fokus analisis atas jurnalis
berdasarkan pendahuluan sebelumnya akan dibatasi dalam kerangka relasi
antara jurnalis dengan pemilik, khususnya, di tingkat tempat kerja (*shop
floor*).

Penelitian ini menggunakan studi kasus *Media Indonesia* dan *Koran
Sindo *terkait
pemberitaan pada momen Pemilu 2014. Kedua contoh tersebut merupakan
representasi media dalam struktur konglomerasi dan dimiliki oleh politisi
(Hary Tanoesoedibjo/Partai Hanura dan Surya Paloh/Partai Nasdem). Pemilihan
kasus surat kabar menjadi menarik untuk melihat apakah keberpihakan
didasari oleh kesamaan cara pandang antar agensi di dalamnya seperti pada
konstruksi jurnalisme politis, atau didasari oleh dominasi relasi tertentu.

*Independensi Jurnalis di **Media Indonesia **dan **Koran Sindo*

Berdasarkan temuan penelitian *Masyarakat Peduli Media *(MPM) yang
mengobservasi konten pemberitaan di *Media Indonesia *dan *Koran Sindo*,
terlihat adanya posisi politik redaksi yang berpihak.(9) Keberpihakan ini
dilihat dari pemberian porsi pemberitaan dan kolom *headline* yang besar
terhadap pemilik dan afiliasi politiknya. Meskipun di permukaan relatif
terlihat adanya keberimbangan porsi pemberitaan, namun pada dasarnya
pemberitaan dan *headline* terkait pemilik dan afiliasi politiknya mendapat
porsi yang signifikan. Pada intinya, konten surat kabar *Media Indonesia*
dan *Koran Sindo* terkait pemberitaan Pemilu 2014 menunjukkan keberpihakan
terhadap kepentingan pemilik.

*Politik Ruang Redaksi: Pengaruh Pemilik dan Penyikapan Jurnalis*

Berdasarkan hasil penelusuran, arah pemberitaan di *Media Indonesia* dan *Koran
Sindo* yang berpihak dihasilkan melalui proses produksi yang sejak awal
telah diatur untuk berpihak. Pengaturan ini dijalankan dengan adanya
pengaruh pemilik yang menetapkan garis politik redaksi di kedua surat kabar
tersebut. Garis politik redaksi ini pada gilirannya menentukan kualitas
berita seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian MPM.

Perlu dipahami, garis politik redaksi ini bukan merupakan kebijakan formal
suatu pers. Artinya, dalam kasus *Media Indonesia* dan *Koran Sindo *misalnya,
kedua media tersebut bukanlah surat kabar ‘resmi’ partai. Hal ini dilihat
dari tidak adanya aturan tertulis tentang bagaimana suatu redaksi
menetapkan posisi politiknya atau pernyataan dukungan resmi.

Meskipun garis politik redaksi tidak dalam bentuk kebijakan formal, namun
bukti konkretnya dapat dilihat melalui arahan-arahan yang diterima oleh
jurnalis. Dalam kasus di *Media Indonesia*, arahan secara umum dari atasan
yang diterima oleh wartawan adalah untuk mencitrakan partai Nasdem secara
positif dengan tujuan mendapatkan suara pada Pileg.(10) Arahan dalam bentuk
yang sama juga terdapat pada kasus di *MNC Group* dengan instruksi secara
eksplisit, yaitu mendukung pemenangan pasangan Prabowo-Hatta.(11)

Secara garis besar, arahan yang diturunkan dari garis politik redaksi
dijalankan melalui rantai produksi dalam struktur pembagian kerja redaksi.
Dalam kaitannya dengan momen Pemilu 2014 yang lalu, proses produksi
berdasarkan arahan dari pemilik dapat dilihat melalui instruksi yang
diterima oleh reporter di lapangan. Dalam hal ini,

                 “Karena reporter dibawah koordinator liputan, maka
permintaan liputan itu ada. Misalnya ‘*kamu liput partai A, lagi ada
kampanye, liput kesana.*’ Reporter perusahaan kita itu berdasarkan
perintah, ada yang mengikuti si lawan, tapi ditugaskan ambil *angle *yang
menarik buat kita, bukan jadi *good news *bagi pesaing, ada juga yang ikut
ke [pasangan] kita.”(12)

Adanya instruksi liputan yang diterima oleh reporter ini dikonfirmasi oleh
informan yang menempati posisi sebagai reporter. Dalam penuturan Informan
2a, instruksi yang diterima berasal dari redaktur atas arahan dari pemimpin
redaksi.(13) Menariknya, pada kasus di *Media Indonesia *arahan dari
pemimpin redaksi itu didapat berdasarkan informasi dari koordinator
lapangan (korlap) Partai Nasdem yang mengagendakan peliputan untuk redaksi.
(14)

Temuan menarik adalah adanya penempatan jurnalis yang secara khusus meliput
agenda-agenda pemilik atau afiliasinya. Informan 1b misalnya, ditugaskan
untuk meliput kampanye Partai Hanura di satu wilayah Jakarta. Selain itu,
Informan 2a mengungkapkan pengalamannya sewaktu, dalam istilahnya,
‘mengawal’ kampanye Partai Nasdem. Dalam penuturannya, “*Saya ditugaskan
untuk mengawal kampanye Nasdem. Ketika itu, saya mengawal kampanye keliling
Indonesia naik pesawat pribadinya Surya Paloh*.”(15)

Secara garis besar, proses produksi berita yang sejak awal tidak netral
terjadi berdasarkan narasi di atas. Dapat dikatakan bahwa ketidaknetralan
didasari oleh adanya *pengaturan *sebagai manifestasi proses pada narasi di
atas. Melalui proses tersebut, konten berita yang dimuat telah diatur sejak
awal untuk mengarah pada kepentingan pemilik, baik mencitrakan pemilik
secara pemilik maupun mencitrakan pesaing secara negatif.

               “Itu semua sudah diatur. Katakanlah di-*budgeting*,
diagendakan tanggal sekian hari sekian, misalnya menaikkan si A. Di momen
ini, kejelekan si B itu di cari-cari. Jadi, ketika ada kampanye pesaing
politik yang positif, redaksi tutup mata. Itu *settingan *banget, sudah
diarahkan bagi semua petugas yang terjun ke lapangan untuk mencari yang
minus [bagi lawan politik]. Arahan itu dinyatakan secara eksplisit.(16)

Terlepas dari adanya proses yang sejak awal berpihak, jurnalis pada umumnya
menyadari bahwa sikap partisan yang diambil berkonsekuensi pada
profesionalitas kerjanya.(17) Kesadaran ini kemudian mendorong beberapa
jurnalis yang peneliti wawancarai melakukan resistansi, seperti dalam
bentuk komplain, pemilihan *tone *pemberitaan atau—yang paling
jauh—mengajukan pengunduran diri. Dalam pengalaman Informan 3b misalnya,
alasan pengunduran dirinya dari *Sindonews* adalah karena tidak nyaman
dengan garis politik redaksi yang diharuskan untuk mendukung kepentingan
pemilik.(18)

Namun demikian, pengunduran diri dengan alasan kontra garis politik redaksi
menurut Informan 2a tidak banyak terjadi di kalangan jurnalis. Selain itu,
menariknya pengunduran diri dalam banyak kasus cenderung tidak terkait
langsung dengan garis politik pemilik. Alasan yang lebih banyak mendasari
pengunduran diri lebih terkait pada faktor beban kerja atau tawaran
kerja.(19)

Kecenderungan ini juga terjadi pada kasus komplain atas arahan liputan yang
lebih banyak terkait beban kerja, seperti persoalan waktu peliputan yang
melelahkan.

                “Saya pernah disuruh [liputan] ke Nasdem, tapi saya minta
orang baru yang meliput. Bukan karena saya tidak mau, tapi karena acaranya
lama dan buang waktu. *Bukan berarti karena saya menolak meliput
‘Nasdem’-nya*, tapi karena melelahkan.”(20)

Dalam penelusuran lebih jauh, tidak banyaknya resistansi yang dilakukan
yang terkait secara langsung dengan garis politik redaksi menunjukkan
kepatuhan jurnalis atas instruksi pemilik. Hal ini melihat kecenderungan
jurnalis yang pada umumnya tetap melaksanakan tugas yang diberikan terlepas
adanya kesadaran atas bermasalahnya posisi keberpihakan. Dalam penuturan
Informan 2b,

             “Kekhawatiran dari kita ada. Jujur beberapa karyawan melihat ‘*wah
ini berlebihan*’. Tapi kalau memang atasan mengatakan ‘*mainkan berita itu*’,
atau ‘*tetap pada posisi itu*’, ya lanjut, *kita tetap lakukan*.”(21).

Berdasarkan informasi yang didapatkan, kepatuhan jurnalis ini dilatari oleh
kepentingan jurnalis dalam mempertahankan pekerjaannya. Sebagai contoh,
respons Informan 1b terkait instruksi yang diterimanya, “*ya sudah saya
kerjakan **karena saya butuh kerjaan**. Kalau [merasa] tertekan ya
tertekan*”.(22) Adanya
kepentingan ini menjadikan jurnalis pada umumnya tidak mempermasalahkan
garis politik yang ditetapkan pemilik.

Adanya kepentingan ini dapat dipahami melihat bagaimana jurnalis
mempersepsikan tempat kerjanya. Dalam hal ini, jurnalis telah sejak awal
memahami konsekuensi apa yang akan diterimanya ketika bekerja di suatu
media yang memiliki tendensi politik tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh
Informan 3a, “*Ya dia sadar dia bekerja dengan siapa. Terus masa kemudian
menentang garis politik koran tempat dia bekerja?*”.(23)

Berdasaran informasi di atas, faktor ‘pekerjaan’ di sini menjadi dasar
kepatuhan jurnalis. Poin penting yang dapat dimaknai berdasarkan informasi
di atas, dan juga pada berbagai penuturan sebelumnya, adalah ekspresi
bagaimana jurnalis *tidak merasa dipaksa* untuk mengakomodasi kepentingan
pemilik. Kepatuhan ini memberikan gambaran umum tentang berjalannya
instruksi pemilik secara fungsional melihat tidak banyaknya resistansi yang
dilakukan oleh jurnalis serta dari pola pemberitaan yang berpihak secara
vulgar.

*Tidak Independennya Jurnalis: Problem Otonomi Kerja dan Pragmatisme*

Berdasarkan temuan studi kasus, faktor pertama yang mendasari keberpihakan
sebagai indikator tidak independennya jurnalis adalah soal garis politik
redaksi. Adanya garis politik redaksi yang harus dipenuhi ini menjadikan
jurnalis diarahkan untuk menulis sesuai dengangaris yang telah ditetapkan.
Kemudian, berkaitan dengan faktor pertama, dasar keberpihakan jurnalis ini
juga didasari oleh kepatuhan jurnalis itu sendiri secara sukarela.
Kepatuhan ini dilandasi oleh kepentingannya dalam mempertahankan pekerjaan.

Menariknya, narasi-narasi seperti yang ditampilkan pada studi kasus tampak
kontras dengan pengalaman jurnalis pada konstruksi politis.
Bertolakbelakang dengan bentuk keberpihakan pada konstruksi politis,
berpihaknya seorang jurnalis profesional terjadi bukan karena adanya
kesepakatan diri jurnalis secara ideologis untuk menempatkan posisi
politiknya. Berdasarkan pengalaman jurnalis dalam studi kasus, keberpihakan
cenderung didasari oleh pengaruh subjektif pemilik. Dalam kata lain,
keberpihakan jurnalis seperti pada contoh studi kasus bersifat impersonal
karena berasal dari luar diri jurnalis.

Melihat bagaimana garis politik redaksi menjadi fundamen tidak
independennya jurnalis, hal ini berarti jurnalis tidak mempunyai otonomi
atas proses kerjanya, terutama pada dimensi *tujuan kerja*. Garis politik
redaksi dalam hal ini mengekspresikan bagaimana kebijakan politik suatu
redaksi dan tujuan di dalamnya berada di bawah kuasa pemilik. Dalam kata
lain, penentuan atas berita*apa yang akan dimuat* dan *peruntukannya *berada
diluar kontrol jurnalis karena telah ditentukan dalam kuasa
pemilik.

Tidak adanya kendali atas proses kerja ini dilatari oleh memudarnya
ideologi sebagai basis keterikatan jurnalis. Dalam konstruksi jurnalisme
politis, jurnalis mempunyai otonomi atas proses kerjanya karena
keberpihakan dan garis politik redaksi yang dipatuhinya dilandasi oleh
kesepakatan dan keterikatan secara ideologis.Artinya, jurnalis pada
konstruksi politis *ikutberpartisipasi *atas penentuan berita *apa yang
akan dimuat* dan *peruntukannya*. Dalam kata lain, garis politik redaksi
institusi pers melekat sebagai *tujuan kerja *jurnalis itu sendiri.

Berdasarkan bangunan argumen di atas, maka transformasi konstruksi
jurnalisme pada dasarnya merupakan selubung atas proletarisasi ideologis
jurnalis. Proletarisasi ini terjadi ketika jurnalis tidak dapat menentukan
garis politik redaksi karena telah ditetapkan oleh pemilik secara personal.
Dalam kaitannya dengan permasalahan independensi, tujuan kerja jurnalis
dalam konteks pers industrial dibatasi oleh adanya arahan-arahan dari
pemilik.

Transformasi pada konstruksi jurnalisme ini terjadi dalam latar perubahan
konteks. Dalam hal ini, konteks pers industrial dapat dimaknai sebagai
suatu bentuk kapitalisme dalam produksi media. Konteks ini kemudian menjadi
dasar perubahan *tujuan kerja *jurnalis yang ditandai oleh impersonalitas
kerja.

Poin penting dalam impersonalitas kerja ini adalah tentang partisipasi
jurnalis dalam menentukan garis politik redaksi.(24) Dilihat dari dimensi
partisipasi, impersonalitas kerja berarti mengimplikasikan ketidakmampuan
jurnalis dalam menentukan garis politik redaksi seperti pada contoh kasus
arah pemberitaan pada momen Pemilu. Selain itu, impersonalitas juga
berarti *hasil
kerja* jurnalis (produk jurnalistik) berada diluar kontrol jurnalis karena
digunakan untuk kepentingan tertentu pemilik.

Perlu dipahami di sini, bahwa dorongan awal atas impersonalitas kerja pada
konteks di atas tidak terkait secara langsung dengan masalah personalisasi
pemilik terhadap garis politik redaksi seperti dalam studi kasus. Dalam hal
ini, perubahan* sifatrelasi sosial* memperantarai impersonalitas kerja
dengan personalisasi pemilik terhadap garis politik redaksi. Argumentasi
ini didasari oleh relasi sosial kapitalisme yang berwatak kelas. Artinya,
relasi sosial yang berwatak kelas ini perlu dilihat dalam konteks
berubahnya *sifat produksi* dalam institusi pers. Dengan demikian,
personalisasi pemilik dimungkinkan ketika jurnalis terlibat dalam hubungan
kerja yang impersonal yang di dalamnya memuat relasi kelas.

Meskipun demikian, problem otonomi proses kerja bukan menjadi faktor
satu-satunya yang mendasari tidak independennya jurnalis. Berdasarkan
narasi tentang kepatuhan jurnalis, terlihat bahwa terdapat problem pada
diri jurnalis yang ditandai oleh kecenderungan pragmatisme. Kecenderungan
ini dapat dilihat dari bagaimana jurnalis cenderung bertahan betapapun
kondisinya dan betapapun kesadaran atas dampak sosio-politik yang
ditimbulkan.

Perlu dipahami di sini, adanya masalah pada diri jurnalis ini terjadi bukan
atas dasar kehendak bebas agensi jurnalis. Dapat dikatakan bahwa masalah
ini muncul karena adanya proses hegemoni yang mendasarinya. Dilihat dari
kecenderungan yang ada, hegemoni terjadi ketika jurnalis diberikan ruang
untuk mengamankan kepentingan material-intrinsiknya.

Salah satu bentuk ruang yang diberikan bagi jurnalis dapat dilihat melalui
adanya akses untuk mobilitas kerja. Adanya akses kerja ini dapat dikatakan
mengilusi bahwa jurnalis mempunyai pilihan alternatif ketika menghadapi
dilema dalam profesinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Im, “[…] *control
over the execution of their own job may give individual newsworkers an
**imaginary
sense of freedom and autonomy** in their daily activities*.”(25) Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa, proses hegemonipada konteks initerjadi*dalam
latar kompetisi antar industri pers*.

Kemudian, ruang dalam bentuk kedua adalah jenjang karir. Jenjang karir di
sini merupakan proses hegemoni *dalam tempat kerja* dalam rangka
mendisiplinkan pekerja atas potensi resistensi. Dengan melihat bukti
sebelumnya tentang keragu-raguan dalam memutuskan untuk mengundurkan diri,
maka hal ini mengisyaratkan adanya privilese tertentu yang dimiliki oleh
jurnalis berdasarkan ‘tingkat kenyamanan’ jabatannya. Privilese itu sendiri
dapat dilihat berdasarkan tingkat otoritas yang dimiliki dalam struktur
redaksi.

Kedua bentuk ruang di atas menegaskan bahwa ketertundukan terjadi sejauh
adanya irisan antara kepentingan intrinsik antara jurnalis dan pemilik.
Salah satu bukti penguat atas argumentasi ini adalah ekspresi Informan 2a
yang merasa tidak mempunyai alasan untuk ‘membangkang perintah’ dan
ekspresi informan lain yang serupa.(26) Artinya, hegemoni yang
dimanifestasikan oleh pragmatisme jurnalis ditopang oleh struktur relasi
kelas yang ada.

Dalam narasi yang lebih besar, pewacanaan profesionalitas jurnalis di sini
juga menjadi salah satu proses penundukkan melalui hegemoni. Dilihat dari
konteksnya, eliminasi ideologi dalam impersonalitas kerja merupakan hasil
dari pewacanaan profesionalitas. Hal ini pada gilirannya menciptakan
kondisi yang menjadikan jurnalis pragmatis. Kondisi yang dimaksud adalah
tidak adanya keterikatan jurnalis selain kontrak kerja. Melalui kondisi
ini, yang diperkuat dengan akses mobilitas yang terbentuk berdasarkan
kekhususan proses kerja, maka pragmatisme ini dimungkinkan.

Dalam kaitannya dengan masalah tidak independennya jurnalis, pewacanaan
profesionalitas ini menjadi hegemonik. Kondisi hegemonik ini pertama kali
dilihat dari bagaimana pewacanaan atas profesionalitas jurnalis
menyelubungi realitas proletarisasi ideologis. Selain itu, pewacanaan
tersebut menjadi bermasalah karena penerimaan atas wacana tersebut
membatasi secara signifikan kemungkinan pengorganisiran jurnalis melalui
serikat pekerja. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), salah satu masalah keberserikatan jurnalis
adalah ‘problem kelas yang belum tuntas’.(27) Problem kelas yang dimaksud
oleh AJI di sini adalah penyangkalan posisi objektifnya sebagai pekerja
dengan mengidentifikasi sebagai ‘profesional’.

Absennya serikat pekerja ini pada gilirannya menopang pragmatisme jurnalis.
Hal ini melihat upaya jurnalis dalam mengamankan kepentingan intrinsiknya
yang dilakukan secara individual dilatari oleh tidak adanya wadah kolektif.
Artinya, jurnalis menjadi tidak independen ketika tidak diantisipasi oleh
suatu wadah kolektif, khususnya dalam bentuk serikat pekerja. Pada
akhirnya, kondisi inilah yang melengkapi penjelasan tentang tidak
independennya jurnalis yang berasal dari dalam diri jurnalis.

Pewacanaan tentang profesionalitas jurnalis ini menjadi penting untuk
diberi penekanan khusus. Dalam hal ini, wacana profesionalitas yang
dikembangkan oleh industri pers dan negara pada periode Orde Baru terlihat
masih mendominasi diskursus jurnalisme pasca-Orde Baru. Hal ini memberikan
sinyalemen bahwa gagasan tersebut telah diinternalisir oleh jurnalis itu
sendiri dan menjadi acuan institusi pers saat ini. Internalisir ini dapat
dilihat dalam dokumen terkait pers dan jurnalisme, seperti di dalam pedoman
perilaku dan kode etik.

*Kesimpulan*

Studi ini berupaya untuk memahami lebih mendalam tentang tidak
independennya jurnalis berdasarkan studi kasus pada momen Pemilu 2014.
Jawaban atas masalah tidak independennya jurnalis pertama kali ditemukan
berdasarkan pertanyaan dasar penelitian, yaitu apakah konstruksi pers
industrial memungkinkan jurnalis independen. Berdasarkan hasil analisis,
independensi jurnalis secara umum dibatasi—jika tidak dimungkinkan sama
sekali—oleh konstruksi pers industrial.

Secara umum, jurnalis dalam studi kasus *Media Indonesia *dan* Koran Sindo*
menghadapi keterbatasan independensi ketika berada dalam kondisi pemilik
yang mempunyai kepentingan strategis tertentu. Berdasarkan temuan lapangan,
jurnalis menjadi tidak independen ketika hasil kerjanya berkaitan dengan
kepentingan strategis pemilik. Dalam momen Pemilu 2014 misalnya,
kepentingan strategis yang dimaksud berada dalam kerangka kepentingan
pengamanan sumber daya ekonomi jaringan kekuasaan oligarki.

Dalam penelusuran lebih dalam, kondisi keterbatasan ini ditopang oleh dua
faktor yang mendasarinya dan juga saling terkait. Faktor pertama yang
mendasari keterbatasan independensi jurnalis terkait dengan faktor
struktural (dimensi obyektif). Faktor struktural yang dimaksud di sini
adalah posisi jurnalis sebagai pekerja dengan basis keterikatan yang
impersonal, yaitu sebatas ikatan kontrak kerja. Secara umum, posisi
jurnalis sebagai pekerja ini berkonsekuensi pada eksklusi dalam penentuan
garis politik redaksi.

Dalam hal ini, faktor kedua yang menjadikan jurnalis tidak independen
adalah adanya kecenderungan pragmatisme pada diri jurnalis. Adanya
pragmatisme ini dilihat dari bentuk penyikapan jurnalis, baik pada
tingkatan pemimpin redaksi atau sampai tingkatan reporter lapangan, yang
akomodatif dan kooperatif terhadap kepentingan pemilik. Kedua bentuk
penyikapan itu sendiri ditopang oleh dominannya motif ekonomis dalam diri
jurnalis, yaitu alasan ‘pekerjaan’. Singkatnya, jurnalis mematuhi perintah
pemilik secara sukarela karena menempatkan kepentingan materialnya secara
individu sebagai prioritas.

Berdasarkan temuan dan hasil analisis, faktor kedua ini terlihat lebih
mendominasi masalah tidak independennya jurnalis. Indikator pertama atas
argumen ini adalah melihat berjalannya perintah pemilik secara fungsional.
Hal ini didasari temuan sebelumnya yang menunjukkan tidak banyaknya
resistansi yang dapat ditemukan terkait dengan kepentingan pemilik.
Artinya, ‘fungsional’ di sini berarti kepentingan pemilik berjalan tanpa
adanya dinamika penolakan yang berarti di dalam ruang redaksi.

Sebagai kesimpulan akhir, dengan menempatkan hegemoni sebagai masalah yang
paling dominan atas tidak independennya jurnalis maka mengisyaratkan bahwa
pragmatisme jurnalis di sini terjadi bukan atas dasar kehendak bebas
jurnalis. Secara keseluruhan, pragmatisme ini ditopang oleh tidak adanya
basis keterikatan jurnalis, selain kontrak kerja, pada suatu institusi
pers. Sementara itu, eliminasi ideologi sebagai basis keterikatan
sebelumnya terkait dengan diwacanakannya profesionalitas jurnalis untuk
memungkinkan akumulasi kapital pada periode pembangunan Orde Baru. Pada
momen inilah wacana profesionalitas jurnalis menjadi bentuk hegemoni paling
fundamental yang mendasari tidak independennya jurnalis.

Penulis : Mochamad Ikhsan Rizal Assalam, saat ini menjadi pengurus
Konfederasi Serikat Nasional. Dapat dihubungi di sini:
rizal.assa...@gmail.com

*Referensi*

Adam*, *Ahmat B. *The Vernacular Press and The Emergence of Modern
Indonesian Consciousness (1855-1913)*, Ithaca, New York: Southeast Asia
Program Cornell University, 1995/

Aritonang, Deytri Robekka. “Ardi  Bakrie Murka Iklan Jokowi Muncul di
*Viva.co.id
<http://Viva.co.id>*”. *Kompas.com* 08 April 2014. Diakses tanggal 16
September 2014 pukul 02.09 WIB.  <
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1106215/Ardi.Bakrie.Murka.Iklan.Jokowi.Muncul.di.Viva.co.id
>.

Braverman, Harry. *Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in
the Twentieth Century*. New York: Monthly Review Press, 1974

Burawoy, Michael.*Manufacturing Consent: Changes in the Labor Process under
Monopoly Capitalism*. Chicago: The Universityof Chicago Press, 1979.

Creswell, John W. *Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among
Five Approaches*. London: Sage Publications, 2007.

Derber, Charles. “Managing Professionals: Ideological Proletarianizationand
Post-Industrial Labor”.*Theory and Society, *Vol. 2, No 3, May, 1983.

Dhakidae, Daniel. “The State, The Rise of Capital and The Fall of Political
Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry”. Disertasi
Doktoral, Cornell University, 1991.

Hill, David T. *Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis
Mochtar Lubis (1922-2004) Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang *(Warief
Djajanto Basorie dan Hanna Rambe, Penerjemah). Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011a.

Im, Yung-Ho. “Towards a Labour-Process History of Newsworkers”. Javnost –
The Public: Journal of the European Institute for Communication and
Culture, 4:1, 1997.

Jamaludin, Jajang. Ed. *Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran.*
Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 2009.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. *Sembilan Elemen Jurnalisme* (Yusi A.
Pareanom, Penerjemah). Jakarta: Yayasan Pantau, 2006.

Lim, Merlyna. “The League of Thirteen: Media Concentration in
Indonesia”*.*Tempe,
AZ: Participatory Media Lab Arizona State University and Ford Foundation,
2012.

Manan, Abdul. *Ancaman Itu Datang Dari Dalam*.Jakarta: Aliansi Jurnalis
Independen, 2010,

McLellan, David, Ed. *Karl Marx: Selected Writings.*New York: Oxford
University Press, 2000.

Nugroho, Yanuar, Dinita Andriani Putri dan Shita Laksmi.*Memetakan Lansekap
Industri Media Kontemporer di Indonesia, *Jakarta: CIPG dan HIVOS, 2012.

Patria, Nezar dan Andi Arief.*Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni.*Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.

Prastuti, Citra Dyah. “Ini Dia Transkrip Percakapan Jurnalis-Pemred RCTI
Soal Berita Materi Debat CapresBocor”. *PortalKBR.com *28 Juni 2014.Diakses
pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 08.53 WIB,<
http://www.portalkbr.com/berita/beritapemilu/3299740_6033.html>.

Rianto, Puji, dkk. *Kepemilikan Dan Intervensi Siaran: Perampasan Hak
Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang*. Yogyakarta:
PR2 Media, 2014.

Ritchie,Jane dan Jane Lewis*. Qualitative Research a Guide for Social
Students and Researcher*. London: Sage Publications, 2004.

Said Tribuana, dan D. S. Moeljanto.*Perlawanan Pers Indonesia (BPS)
Terhadap Gerakan PKI.*Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Simon, Roger.*Gagasan-Gagasan Politik Gramsci* (Kamdani dan Imam Baehaqi,
Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Varma, Roli. “On Proletarianization of Scientists?” dalam Bernard Schiele,
Ed. *When Science Becomes Culture (Proceedings II)*, University of Ottawa
Press, Canada, 1994.

Winters, Jeffrey A. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Jurnal *Prisma*
Vol. 33 No. 1, 2014

Witschge,Tamara, dan Gunnar Nygren.*“Journalism: a Profession Under
Pressure”.*Dalam *Journal of Media Business Studies*, 2009.

Wright, Erik Olin.*Class, Crisis and the State*.London dan New York: Verso,
1978.

______________.*Classes*, London: Verso, 1985.

______________.*Class Counts: Student Edition*. United Kingdom: Cambridge
University Press, 2004.

Wulandari, Indah. “Panggil Aku Wartawan”. *Remotivi *15 Agustus 2014.
Diunduh pada tanggal 15 Agustus 2014 pukul 13.20 WIB. <
http://remotivi.or.id/kabar-tv/panggil-aku-wartawan>.

*Wawancara*

Wawancara langsung dengan Informan 1a seorang mantan jurnalis level
operator di *Media Indonesia *pada tanggal 18 Mei 2015.

Wawancara langsung dengan Informan 1b seorang jurnalis level operator di *Koran
Sindo *pada tanggal 25 Mei 2015.

Wawancara langsung dengan Informan 2a seorang jurnalis level operator di *Media
Indonesia *pada tanggal 19 Mei 2015

Wawancara langsung dengan Informan 2b seorang jurnalis level supervisor di *MNC
Tv* pada tanggal 26 Mei 2015

Wawancara langsung dengan Informan 3b seorang mantan jurnalis level
operator di *Sindonews *pada tanggal 18 Oktober 2015.

Wawancaralangsung dengan Informan 4b seorang mantan jurnalis level
supervisor di *Sindonews *pada tanggal 21 Oktober 2015.

Wawancara tidak langsung via telepon dengan Informan 3a seorang jurnalis
level operator di *Media Indonesia* pada tanggal 22 Mei 2015.

Catatan Kaki :

[1]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref1>
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, *Sembilan Elemen Jurnalisme*, (Yusi A.
Pareanom, Penerjemah), Jakarta: Yayasan Pantau, 2006, halaman 14.

[2]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref2>
*Ibid*.,halaman 32.

[3]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref3>Artikel
yang ditulis oleh Winter memperlihatkan dengan baik bagaimana pemusatan
kepemilikan media berada dibawah jejaring kekuasaan oligarki. Lihat Jeffrey
A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Jurnal *Prisma* Vol. 33
No. 1, 2014, halaman 25. Untuk pembahasan tentang tren pemusatan
kepemilikan lihat Yanuar Nugroho, Dinita Andriani Putri dan Shita
Laksmi, *Memetakan
Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia, *Jakarta: CIPG dan HIVOS,
2012, halaman 43 dan 65.danMerlyna Lim, “The League of Thirteen: Media
Concentration in Indonesia”*, *Tempe, AZ: Participatory Media Lab Arizona
State University and Ford Foundation, 2012.

[4]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref4>
Aparatus yang dimaksud pada umumnya merujuk pada posisi manajerial seperti
pemimpin redaksi atau posisi lainnya yang berfungsi sebagai fungsionaris
pemilik.  Lihat misalnya Jajang Jamaludin, Ed, *Wajah Retak Media: Kumpulan
Laporan Penelusuran*, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia,
2009.

[5]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref5>Lihat
pengalaman jurnalis *RCTI* Raymond Rondonuwu yang dibebastugaskan dan
pernyataan keras Presiden Direktur *Tv One *Ardi Bakrie terhadap pekerjanya
dalam Citra Dyah Prastuti, “Ini Dia Transkrip Percakapan Jurnalis-Pemred
RCTI Soal Berita Materi Debat CapresBocor”,*PortalKBR.com *28 Juni 2014,
diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 08.53 WIB,<
http://www.portalkbr.com/berita/beritapemilu/3299740_6033.html>, dan Deytri
Robekka Aritonang, “Ardi  Bakrie Murka Iklan Jokowi Muncul di *Viva.co.id
<http://Viva.co.id>*”, *Kompas.com* 08 April 2014, diakses pada tanggal 16
September 2014 pukul 02.09 WIB,<
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1106215/Ardi.Bakrie.Murka.Iklan.Jokowi.Muncul.di.Viva.co.id
>

[6]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref6>Bentuk
kepatuhan tersebut diistilahkan oleh Rianto, dkk, dalam penelitiannya
sebagai ‘budaya paternalistik’ jurnalis. Lihat Puji Rianto, dkk, *Kepemilikan
Dan Intervensi Siaran: Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di
Tangan Segelintir Orang*, Yogyakarta: PR2 Media, 2014, halaman 148-153.
Sebagai tambahan, lihat juga Indah Wulandari, “Panggil Aku Wartawan”. *Remotivi
*15 Agustus 2014. Diunduh pada tanggal 15 Agustus 2014 pukul 13.20 WIB. <
http://remotivi.or.id/kabar-tv/panggil-aku-wartawan>.

[7]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref7>
Identifikasi ini dijelaskan dengan baik oleh Dhakidae mengutip Shiraishi,
bahwa “*jurnalisme adalah pergerakan dan pergerakan adalah jurnalisme,
bahwa pemimpin pergerakan lahir dari jurnalis dan juga sebaliknya*”. Lihat
Daniel Dhakidae, “The State, The Rise of Capital and The Fall of Political
Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry”, Disertasi
Doktoral, Cornell University, 1991.

[8]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref8>
Disertasi Dhakidae itu sendiri merupakan karya otoritatif pers dan
jurnalisme Indonesia dengan ruang lingkup studi yang komprehensif. Studi
lain yang membahas tentang kesejarahan pers dan jurnalisme Indonesia,
khususnya yang mencakup pembahasan jurnalisme politis lihat disertasi Ahmat
B. Adam*, The Vernacular Press and The Emergence of Modern Indonesian
Consciousness (1855-1913)*, Ithaca, New York: Southeast Asia Program
Cornell University, 1995 dan David T. Hill, *Jurnalisme dan Politik di
Indonesia: Biografi Kritis MochtarLubis (1922-2004) Sebagai Pemimpin
Redaksi dan Pengarang *(Warief Djajanto Basorie danHanna Rambe,
Penerjemah), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011a.

[9]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref9>
Tulisan ini tidak banyak membahas tentang konten di kedua surat kabar yang
menjadi studi kasus. Fokus pembahasan ditekankan pada proses produksi yang
menghasilkan konten yang berpihak. Pembahasan detail dan analisis mengenai
konten pemberitaan di *Media Indonesia *dan *Koran Sindo* dapat merujuk
pada penelitian MPM dalam Darmanto dan Puji Rianto, Ed. *Media Terpenjara:
Bayang-Bayang Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu 2014*.Yogyakarta:
Perkumpulan Masyarakat Peduli Media (MPM), 2015.

[10]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref10>
Wawancara langsung dengan Informan 1a seorang mantan jurnalis level
operator di *Media Indonesia *pada tanggal 18 Mei 2015.

[11]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref11>
Wawancara langsung dengan Informan 2b seorang jurnalis level supervisor di *MNC
Tv* pada tanggal 26 Mei 2015. Sebagai bukti tambahan, pengakuan Raymond
(produser/jurnalis level supervisor RCTI) terkait Pemilu 2014 adalah adanya
peraturan tidak tertulis yang mengarahkan agar pemberitaan mengenai kedua
pasangan capres-cawapres pada periode Pilpres harus ditampilkan dengan
perbandingan frekuensi tayang 80:20 (pasangan Prabowo-Hatta berbanding
pasangan Jokowi-Jusuf Kalla). Lihat Indah Wulandari, *loc. cit*.

[12]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref12>
Wawancara langsung dengan Informan 2b seorang jurnalis level supervisor di *MNC
Tv* tanggal 26 Mei 2015.

[13]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref13>
Pada saat wawancara berlangsung, Informan 2a menunjukkan isi pesan
instruksi liputan agenda partai Nasdem. Wawancara langsung dengan Informan
2a seorang jurnalis level operator di *Media Indonesia *pada tanggal 19 Mei
2015.

[14]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref14>
Selain itu, Informan 2a juga menjelaskan bahwa pengagendaan jadwal tersebut
tidak terbatas berasal dari korlap Partai Nasdem langsung, namun bisa juga
dilakukan oleh sekretaris ketua umum partai atau anggota redaksi yang
memiliki jaringan ke partai.

[15]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref15>
Wawancara langsung dengan Informan 2a seorang jurnalis level operator di *Media
Indonesia *pada tanggal 19 Mei 2015. Lihat juga narasi dalam esay singkat
Wulandari yang memuat penuturan Yarnes seorang reporter *Metro Tv* yang
ditugaskan untuk ‘menempel’ Jokowi. Lihat Indah Wulandari, *loc. cit*.

[16]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref16>
Wawancara langsung dengan Informan 4b seorang mantan jurnalis level
supervisor di *Sindonews *pada tanggal 21 Oktober 2015.

[17]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref17>
Informan-informan yang peneliti wawancarai pada umumnya mengakui bahwa
tulisan atau liputan yang berpihak berpengaruh buruk bagi publik.

[18]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref18>
Wawancara langsung dengan Informan 3b seorang mantan jurnalis level
operator di *Sindonews *pada tanggal 18 Oktober 2015.

[19]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref19>
Alasan adanya tawaran kerja yang lain ini nantinya menjadi unsur yang
membedakan antara jurnalis pada konstruksi politis dengan konstruksi
profesional. Selain itu, perpindahan jurnalis atas adanya tawaran kerja ini
juga nantinya menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang membatasi
independensi jurnalis.

[20]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref20>
Penekanan oleh peneliti. Wawancara tidak langsung via telepon dengan
Informan 3a seorang jurnalis level operator di *Media Indonesia* pada
tanggal 22 Mei 2015.

[21]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref21>
Penekanan oleh peneliti. Wawancara langsung dengan Informan 2b seorang
jurnalis level supervisor di *MNC Tv* pada tanggal 26 Mei 2015.

[22]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref22>
Penekanan oleh peneliti. Wawancara langsung dengan Informan 1b seorang
jurnalis level operator di *Koran Sindo *pada tanggal 25 Mei 2015.

[23]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref23>
Penekanan oleh peneliti. Wawancara tidak langsung via telepon dengan
Informan 3a seorang jurnalis level operator di *Media Indonesia* pada
tanggal 22 Mei 2015.

[24]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref24>
Sejauh penelusuran peneliti, analisis ini pertama kali diargumentasikan
oleh Dhakidae dalam menganalisis perkembangan kapitalisme media dan
tendensi ketundukan pers terhadap sensor Orde Baru. Lihat analisis Dhakidae
dalam Daniel Dhakidae, *op. cit*., halaman 402.

[25]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref25>
Penekanan oleh peneliti. Lihat Yung-Ho Im, *op.cit*., halaman 44.

[26]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref26>Wawancara
secara langsung dengan Informan 2a seorang jurnalis level operator di *Media
Indonesia *pada tanggal 19 Mei 2015.

[27]
<http://majalahsedane.org/pertaruhan-independensi-jurnalis-di-era-industri-pers-studi-kasus-pemberitaan-pemilu-2014-di-media-indonesia-dan-koran-sindo/#_ednref27>
Abdul Manan, *Ancaman Itu Datang Dari Dalam*.Jakarta: Aliansi Jurnalis
Independen, 2010, halaman 12.

Kirim email ke