Polemik soal Piutang DKI
by. Erizeli Jely Bandaro
DKI mengatakan mengapa belum juga menggelontorkan dana covid 19 karena 
kesulitan cashflow akibat pusat belum membayar piutang DKI.  Gubernur DKI 
Jakarta Anies Baswedan mengaku telah menyampaikan surat resmi kepada Menteri 
Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Surat itu terkait pencairan dana bagi hasil 
sebesar Rp 7,5 triliun. Saya ingin mencoba menjelaskan dengan sederhana. 
Pertama. Tagihan DKI itu berasal dari dana perimbangan dan SiLPA. Apa itu SiLPA 
? SILPA (dengan huruf I besar/capital) adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran 
Tahun Berkenaan, yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan 
pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan 
nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran 
yang terjadi. Tahun 2020,  DKI mengalami defisit sebesar Rp. 5,76 Triliun. Cara 
menutupi defisit, sumber dan dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) APBD 
DKI 2019 sebesar Rp 5,5 triliun dan Penerimaan Pinjaman Daerah sebesar Rp 
260,15 miliar. Dana SiLPA itu adalah hak dari PEMDA dan DPRD DKI. Tidak ada 
istilah tagihan atau piutang Pusat ke DKI. 
Kedua, Memang ada dana perimbangan sebesar Rp.6,4 Triliun.  Dana itu berasal 
dari bagi hasil, dana alokasi umun, dana alokasi umum. Tetapi  berdasarkan PMK 
Nomor 50/PMK.07/2017 tentang pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa. 
Pemerintah daerah tak akan menerima Dana Alokasi Umum (DAU) secara tetap 
seperti tahun-tahun sebelumnya. DAU pun akan disesuaikan dengan naik turunnya 
penerimaan negara. Tapi anehnya DPRD menjadikan dana SiLPA ini definitif. Aneh.?
Nah realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Agustus 2019 
defisit Rp 191,1 triliun. Akibatnya, dana perimbangan DKI menurun. Tak hanya 
itu, prediksi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) DKI 2019 turun dari 8,51 
triliun menjadi Rp 3,08 triliun. Kalau sampai DKI engga dapat lagi SiLPA dari 
perimbangan, kemungkinan memang engga ada lagi. Apa yang mau ditagih ke Menkeu? 
Mengapa ? Karena sampai dengan november saja APBN sudah defisit Rp 368,9 
triliun. Kesalahan ada pada RAPBD DKI dimana DPRD menetapkan dana SiLPA sebagai 
definitif, padahal jumlah tidak pasti tergantung dari turun naiknya penerimaan 
APBN.
Ketiga, saya engga ngerti mengapa DKI berwacana soal dana perimbangan ini? 
apakah ingin mengelak dari kesulitan cash flow merealokasi APBD untuk C-19. 
Karena sumber pembiayaan menutupi defisit dari SiLPA yang mungkin rekeningnya 
udah Nol.  Dan sengaja membuka front soal PMK Nomor 50/PMK.07/2017 dengan pusat 
dan tidak bisa menerima ketentuan dana perimbangan disesuaikan dengan turun 
naiknya penerimaan APBN. Engga ngerti saya cara berpolitik Abas. Padahal yang 
harus dia lakukan adalah segera putuskan alokasi C-19 yang sudah ditetapkan 
untuk disetujui DPRD, bukan hanya wacana. Apa jadinya kalau Dana C-19 itu cair 
setelah Mey, dimana C-19 sudah engga ada lagi. ? Kan sama saja boong.

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke