Prabowo, Strategi AS Lawan Tiongkok?
F63<https://www.pinterpolitik.com/author/f63>-Saturday, October 17, 2020
11:00
https://www.pinterpolitik.com/prabowo-strategi-as-lawan-tiongkok
/Menhan Prabowo Subianto (Foto: Okezone)/
/7 min read/
*Setelah 20 tahun tak diizinkan masuk Amerika Serikat (AS),
Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto akhirnya
mendapatkan visa dari Washington DC. Tak tanggung-tanggung, Ia
bahkan mendapatkan undangan langsung dari Menhan AS, Mark Esper
untuk melawat ke Pentagon. Lantas apa motif AS dari manuver ini?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com* <http://www.pinterpolitik.com/>
Tahun 2000 silam, mantan Danjen Kopassus yang kini menjabat sebagai
Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto hendak menghadiri wisuda
putranya, Ragowo Hediprasetyo di sebuah Universitas di Boston, Amerika
Serikat (AS). Namun sayangnya Prabowo gagal terbang saat itu lantaran
dirinya masuk dalam daftar cekal pemerintah negeri Paman Sam tersebut.
Tak jelas apa alasan Departemen Luar Negeri AS menolak visa yang
diajukannya saat itu. Namun dalam wawancaranya dengan Reuters pada 2012
silam, Prabowo*mengaku
<https://www.reuters.com/article/us-indonesia-usa-prabowo-idUSBREA4J12020140520>*pelarangan
itu terkait dengan tuduhan keterlibatan dirinya dalam penculikan aktivis
mahasiswa saat kerusuhan Mei 1998.
Meski sudah berulang kali membantah, namun tak dapat dipungkiri stigma
sebagai pelanggar HAM masa lalu memang kadung lekat pada sosok Prabowo.
Tak jarang, tudingan tersebut digunakan oleh lawan-lawan politiknya
untuk mendiskreditkan dirinya, termasuk dalam gelaran Pemilihan Presiden
(Pilpres) tahun lalu.
Namun kabar gembira sepertinya*menghampiri*
<https://news.detik.com/internasional/d-5203054/prabowo-dikabarkan-telah-mendapat-visa-masuk-as>Prabowo
saat ini. Pasalnya, setelah sekitar 20 tahun dilarang masuk AS,
Washington akhirnya mengabulkan permohonan visa Prabowo. Tak
tanggung-tanggung, Ia bahkan langsung diundang untuk melawat ke Pentagon
oleh Menteri Pertahanan AS, Mark T Esper.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad*menyebut*
<https://news.detik.com/berita/d-5204281/jejak-hubungan-prabowo-dan-paman-sam-hingga-kabar-dapat-visa>pencabutan
cekal dilakukan karena AS tengah berusaha 'mendekati' Prabowo. Dasco
mengklaim rival Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam dua gelaran pemilu
terakhir itu sudah menerima beberapa undangan dari AS.
Kendati demikian, tak semua pihak tampaknya senang dengan kabar ini.
Amnesty Internasional Indonesia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) seperti KontraS, Imparsial, ICW, LBH Jakarta hingga LBH
Pers*menandatangani
<https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201014150807-134-558362/amnesty-desak-as-batalkan-undangan-dan-visa-prabowo>***
<https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201014150807-134-558362/amnesty-desak-as-batalkan-undangan-dan-visa-prabowo>surat
protes kepada Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo atas keputusan tersebut.
Mereka menilai pemberian visa tersebut berpotensi menjadi bencana HAM
jika dimaksudkan untuk memberikan kekebalan atas kejahatan dan kekejaman
yang dituduhkan kepada Prabowo. Untuk itu mereka menuntut AS mencabut
keputusan tersebut.
Tak hanya dari dalam negeri, kritik terhadap undangan AS kepada Menhan
Prabowo nyatanya juga banyak disorot media-media asing.
The New York Times bahkan*memberitakan*
<https://www.nytimes.com/2020/10/14/world/asia/indonesia-prabowo-subianto-us-visit.html>rencana
kunjungan ini dengan kata-kata yang cukup pedas, seperti menyebut
Prabowo sebagai paria dalam urusan internasional hingga menudingnya
tengah berusaha mencari kehormatan. Meski begitu, mereka memang mengakui
bahwa pertemuan ini tetap penting bagi AS mengingat Washington kini
tengah bersitegang dengan Beijing, terutama di kawasan Laut Cina Selatan
(LCS). Lantas, apa kira-kira yang bisa dimaknai dari manuver terbaru AS ini?
*/Offensive Realism/*
Konflik yang terjadi antara AS dan Tiongkok bisa dianggap sebagai
konsekuensi dari sistem politik internasional. Hal ini terjadi karena
dalam tatanan dunia, relasi antara kekuatan-kekuatan besar akan
cenderung bersifat anarki sehingga berpotensi melahirkan konflik. Dalam
konteks hubungan internasional, ide ini dikenal dengan istilah Realisme.
John Mearsheimer kemudian mencoba*menjawab*
<https://www.e-ir.info/2014/03/06/john-mearsheimers-theory-of-offensive-realism-and-the-rise-of-china/>mengapa
kecenderungan konfliktual itu bisa terjadi melalui konsep yang Ia sebut
dengan istilah/Offensive Realism/.
/Offensive Realism/memiliki beberapa asumsi dasar. Salah satunya
menyebut bahwa negara adalah entitas rasional. Artinya negara selalu
berpikir strategis dalam mempertimbangkan keadaan eksternal dan memilih
keputusan untuk memaksimalkan kebutuhan dasarnya yaitu/survival./Dan
cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut adalah dengan menjadi
negara/hegemon./
Setelah runtuhnya Uni Soviet pasca Perang Dingin, AS sejatinya telah
mencapai status/hegemon./Namun status itu kini terancam seiring
bangkitnya kekuatan baru dunia, yakni Tiongkok.
Meski begitu, Mearsheimer*memprediksi*
<https://nationalinterest.org/commentary/can-china-rise-peacefully-10204>bahwa
kebangkitan Tiongkok tak akan berjalan mulus. Dalam tulisannya yang
berjudul/Can China Rise Peacefully?/Ia melihat kebangkitan Beijing akan
direspons Washington dengan strategi/containment,/yakni merangkul
negara-negara di kawasan Asia dan mengubahnya menjadi negara/big power/.
Hal ini dilakukan agar para/big power/itu dapat bersama-sama mencegah
Tiongkok tampil sebagai satu-satunya regional/hegemon/di kawasan tersebut.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka boleh jadi pendekatan terhadap
Menhan Prabowo merupakan salah satu strategi AS untuk menjadikan
Indonesia sebagai/big power/. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi
terbesar di ASEAN serta letak geografis yang dekat dengan LCS, Indonesia
memang berada di posisi yang cukup strategis dalam konteks perselisihan
AS-Tiongkok di perairan tersebut.
Lantas strategi apa yang akan digunakan AS untuk membujuk Indonesia yang
selama ini enggan turut campur dalam konfliknya dengan Tiongkok?
*Eksepsionalisme AS*
Meski undangan berkunjung ke Pentagon mendapat*kecaman*
<https://news.detik.com/bbc-world/d-5215255/menhan-prabowo-akan-berkunjung-ke-pentagon-senator-as-mengecam>dari
berbagai pihak, termasuk Senator-senator AS, namun nyatanya Gedung Putih
menganggap pertemuan ini sangat penting bagi hubungan bilateral kedua
negara.
Keputusan Gedung Putih yang tak lagi mengindahkan isu mengenai HAM bisa
saja disebabkan karena nilai-nilai eksepsionalisme. Ian Tyrrell dalam
tulisannya yang berjudul/What, Exactly, is American
Exceptionalism?/mendefinisikan eksepsionalisme sebagai keyakinan bahwa
AS mengikuti jalur sejarah yang berbeda dari hukum atau norma yang
mengatur negara lain. Nilai-nilai ini intinya meyakini bahwa AS bukan
hanya negara yang lebih besar dan kuat, tetapi juga luar biasa, sehingga
dapat melakukan apapun yang belum tentu bisa dilakukan negara lain.
Sebagai pihak yang meyakini kekuatannya sendiri, AS lantas memanfaatkan
kemajuan militernya untuk menjalin diplomasi dengan negara lain. Hal ini
dilakukan melalui perdagangan senjata.
Andrew J Pierre dalam tulisannya yang berjudul/Arms Sales: A New
Diplomacy/, mengatakan bahwa perdagangan senjata telah menjadi instrumen
yang sangat prominen dalam konteks diplomasi. Hal ini terjadi lantaran
instrumen-instrumen konvensional seperti aliansi formal, penempatan
pasukan di luar negeri, dan ancaman-ancaman intervensi langsung sudah
tak terlalu efektif.
Juru Bicara Prabowo, Dahnil Azhar Simanjuntak mengakui bahwa kunjungan
Menhan ke AS memang berkaitan dengan peluang kerja sama di bidang
pertahanan. Hal itu diafirmasi oleh peneliti dari RSIS, Alexander
Arifianto yang*menyebut*
<https://twitter.com/DrAlexArifianto/status/1313661557444734977>bahwa
pertemuan ini adalah negosiasi/last-minute/AS terkait penjualan senjata
untuk keperluan TNI sebelum pergantian rezim jika Joe Biden unggul dalam
Pemilu yang akan digelar November mendatang.
Hal tersebut cukup masuk akal lantaran banyak pihak berspekulasi Jika
Biden menang, maka AS akan cenderung menarik diri dari perselisihannya
dengan Tiongkok mengingat mantan wapres tersebut memang digosipkan dekat
dengan Beijing. Lantas pertanyaannya, akankah strategi diplomasi senjata
ini berhasil merayu Indonesia?
*Indonesia Tetap Netral?*
Meski kapal-kapal Tiongkok kerap melanggar tapal batas teritorial di
Laut Natuna Utara, namun Indonesia hingga kini nyatanya tak*mengambil*
<https://www.inews.id/news/nasional/konflik-laut-china-selatan-indonesia-tegaskan-netral>posisi
tegas untuk memihak Washington maupun Beijing dalam perselisihan ini.
Jakarta bersikeras untuk tetap netral dalam konflik ini.
Yohanes Sulaiman dalam*tulisannya*
<https://theconversation.com/why-indonesia-keeps-sending-mixed-signals-on-the-natuna-sea-dispute-with-china-129562>di
The Conversation menyebut keengganan Indonesia untuk terlibat dalam
konflik-konflik di luar negeri dilatar belakangi oleh kultur militer.
Menurutnya, militer Indonesia cenderung lebih mempercayai bahwa ancaman
terhadap negara datang secara internal melalui kelompok-kelompok yang
secara diam-diam mendukung dan membantu musuh negara, bukan melalui
invasi militer langsung dari luar. Pemahaman ini mengakar kuat karena
dipicu oleh pengalaman sejarah seperti pemberontakan PRRI/Permesta,
G30S/PKI, hingga aksi-aksi terorisme yang diyakini ada keterlibatan
asing di dalamnya.
Gelagat Indonesia untuk tetap mempertahankan netralitasnya sebenarnya
bisa dibaca dari gestur pemerintah. Pasalnya, belum lama sebelum lawatan
Prabowo ke AS, Presiden Jokowi sudah lebih dulu mengutus Menko Marves,
Luhut Binsar Pandjaitan untuk*bertemu*
<https://tasikmalaya.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-06829799/picu-persaingan-geopolitik-menlu-tiongkok-desak-negara-asia-kerja-sama-lawan-as>dengan
Menlu Tiongkok, Wang Yi.
Meski membahas dua persoalan yang berbeda, namun pertemuan-pertemuan itu
bisa saja diterjemahkan sebagai penegasan posisi Indonesia untuk tetap
menjalin kerja sama dengan dua negara yang tengah berkonflik. Asumsi
gestur tersebut semakin mendapatkan afirmasinya karena saat ini situasi
di LCS tengah memanas.
Singkatnya, sekalipun AS menjadikan Prabowo sebagai strategi untuk
merayu Indonesia agar mendukungnya dalam ketegangan di LCS, namun
agaknya strategi itu tidak akan berhasil. Posisi Indonesia sepertinya
tidak akan terlalu banyak berubah dalam waktu dekat terkait konflik di
wilayah tersebut.
Pada akhirnya, meski segala asumsi-asumsi yang telah diulas tersebut
memang disandarkan pada teori-teori logis, namun yang mengetahui tujuan
AS yang sebenarnya mengundang Menhan Prabowo ke Pentagon adalah
pihak-pihak terkait sendiri. Namun terlepas dari apapun maksudnya, mari
berharap lawatan Menhan Prabowo ke AS dapat menghasilkan suatu
kesepakatan yang memang menguntungkan masyarakat Indonesia. Menarik
untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)