-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5055849/revisi-uu-mk-untuk-siapa?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Revisi UU MK untuk Siapa?

Idul Rishan - detikNews

Selasa, 16 Jun 2020 16:31 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Kegiatan di Mahkamah Konstitusi (MK) nampak berjalan normal seperti biasa. 
Rencananya, BPN Prabowo-Sandiaga akan menyampaikan gugatan Pemilu hari ini.
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Ada dua poin besar dalam draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) 
yang menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Pertama, 
menambah syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 
tahun. Kedua, mengubah ketentuan aturan masa jabatan hakim konstitusi dari 
model periodisasi ke batas usia maksimum 70 tahun.

Dalam lanskap politik dan teknik legislasi, dua klausul ini cenderung sangat 
spekulatif. Belum ada satu pun hasil studi yang membenarkan bahwa menambah 
syarat usia hakim konstitusi bisa mempengaruhi kualitas interpretasi terhadap 
sebuah perkara. Sungguhpun itu dibentuk sebagai syarat, pengaturan batas 
minimal usia tak lebih dari sebuah kompromi politik. Dan adakalanya, 
rasionalisasi pilihan angka itu jatuh secara insidentil.

Begitu juga dalam konteks masa jabatan hakim konstitusi. Terlalu dini kiranya 
jika ada persepsi yang menyatakan bahwa pembatasan masa jabatan hakim dengan 
klausul usia maksimum akan menguatkan independensinya dalam mengadili perkara. 
Sebab independensi jabatan hakim tidak dipengaruhi dengan syarat usia, 
melainkan pada prinsip meritokrasi yang melekat dalam proses seleksi dan 
pengangkatan hakim.

Tak heran kiranya, jika masyarakat dibuat bingung dengan kebutuhan revisi UU 
MK. Apa yang menjadi motif di balik dua klausul itu? Poin perubahan yang sama 
sekali tidak substantif, bahkan membuka konflik kepentingan antara hakim 
konstitusi dan pembentuk undang-undang. Menjadi menarik bila meletakkan konteks 
ini jauh lebih luas.

Pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, fungsi legislasi menjadi anasir 
yang secara signifikan mendapatkan krisis legitimasi sosial. Begitu masifnya 
penolakan publik dalam fungsi legislasi (Presiden-DPR) tentu tidak bisa hanya 
dimaknai sebagai bekerjanya kontrol kewargaan dalam negara demokrasi. Melainkan 
juga harus dilihat sebagai bentuk pentingnya evaluasi kinerja Presiden dan DPR 
dalam melaksanakan fungsi legislasi.

Berawal dari proses politik yang buruk pada perubahan UU KPK dan juga diikuti 
dengan perubahan UU Minerba, krisis legitimasi publik kemudian mengerangkai 
pada pembentukan undang-undang lainnya. Sebut saja RUU Cipta Kerja, sampai 
dengan yang paling anyar revisi UU MK.

Legitimasi Sosial

Dalam konsepsi hukum dan masyarakat, undang-undang bukan hanya soal legalitas 
formal, melainkan juga legitimasi sosial (Sulistiyowati Irianto, 2019).

Luc Wintgens ( 2012) mengungkapkan bahwa krisis legitimasi publik terhadap 
pembentukan undang-undang disebabkan akibat proses legislasi yang buruk baik 
dari segi prosedur maupun isi dari undang-undang itu sendiri. Rasionalitas 
publik ditabrak atas dasar kehendak partai, partisipasi publik lemah dan suara 
rakyat dibajak dengan kelompok-kelompok penekan yang memiliki kepentingan 
sektoral atas pembentukan sebuah undang-undang.

Studi Larkins dalam Judicial Independence and Democratization membenarkan bahwa 
pola intervensi pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya dilakukan 
dengan proses politik pembentukan undang-undang yang mengatur lembaga peradilan 
(Christoper M Larkins, 1996). Polanya sederhana. Pemerintah memperdagangkan 
pengaruh dalam materi muatan pembentukan hukum agar hakim terjebak pada pusaran 
konflik kepentingan.

Praktik di berbagai negara merefleksikan keadaan yang hampir mirip. Intervensi 
pemerintah dilakukan dengan proses politik pada revisi undang-undang kekuasaan 
kehakiman. Hungaria contohnya, pemerintah Orban mengubah aturan dengan menambah 
jumlah hakim konstitusi dari delapan menjadi lima belas. Kemudian memberikan 
peran bagi partai penguasa untuk melakukan penunjukan langsung terhadap 
hakim-hakim yang baru.

Demikian juga Polandia. Partai pemenang pemilu menolak calon hakim yang 
diusulkan oleh partai pendukung pemerintah sebelumnya. Kemudian partai pemenang 
pemilu mengangkat lima hakim konstitusi yang baru untuk mendelegitimasi calon 
yang lama. Semua itu dilakukan agar pemerintah dapat memberikan pengaruh 
terhadap hakim ketika dan akan mengadili perkara yang melibatkan kepentingan 
pemerintah. Ketika hakim tidak lagi independen, proses peradilan menjadi sangat 
transaksional.

Hak Konstitusional Warga Negara

Dalam draf revisi UU MK, Pasal 87 huruf c mengatur apabila hakim konstitusi 
berakhir masa jabatannya di usia 60, maka hakim yang bersangkutan dapat 
meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun. Tanpa adanya kejelasan dalam 
ketentuan peralihan, pasal ini bisa mengancam dan mengakibatkan hakim 
konstitusi terjebak dalam kubangan konflik kepentingan. Artinya akan ada hakim 
konstitusi yang dirugikan ataupun diuntungkan dengan ketentuan perubahan UU MK.

Sebagai contohnya Hakim Saldi Isra. Periodisasi jabatannya habis sebelum usia 
60 tahun. Berbanding terbalik dengan Hakim Aswanto yang periodisasi jabatannya 
bisa berhenti di usia 60 tahun. Dengan merujuk ketentuan revisi pasal a quo 
akan ada hakim konstitusi yang mungkin saja bisa menjabat hingga dua puluh 
tahun lamanya. Bisa dibayangkan ketika revisi UU a quo pada akhirnya diujikan 
di MK, majelis hakim konstitusi tidak hanya mengadili kepentingan lembaganya, 
melainkan juga mengadili kepentingan jabatannya sendiri.

Oleh karena itu revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi 
pemenuhan hak konstitusional warga negara. Menelaah kebutuhan kelembagaan MK 
yang jauh lebih substantif dari pada sekedar mengatur usia jabatan hakim. Bukan 
sebaliknya, momentum revisi UU MK justru hanya menjadi langkah mundur dalam 
upaya perlindungan hak konstitusional warga negara.

Idul Rishan penulis buku Kebijakan Reformasi Peradilan

(mmu/mmu)






Kirim email ke