http://www.sinarharapan.co/news/read/1708088818/stabilitas-makro-dan-problem-di-tingkat-mikro-



STABILITAS MAKRO DAN PROBLEM DI TINGKAT MIKRO

*CADANGAN DEVISA MENINGKAT KAREN BERTAMBAHNYA UTANG, BUKAN HASIL DEVISA
EKSPOR*

08 Agustus 2017 12:26 BC <http://www.sinarharapan.co/news/author/BC>
Editorial <http://www.sinarharapan.co/news/tajuk/editorial> dibaca: 113



inShar

ISTIMEWA /

*EDITORIAL*

Berita bagus datang dari Bank Indonesia (BI) pekan ini. Jumlah cadangan
devisa (cadev) kita meningkat cukup besar. Pada akhir Juli lalu tercatat
jumlah cadev tersebut mencapai US$ 127,76 milyar atau naik US$4,5 milyar
dari bulan sebelumnya.

Peningkatan jumlah cadev ini karena bertambahnya penerimaan devisa dari
penerbitan global bonds pemerintah, penerimaan pajak dan devisa ekspor
migas bagian pemerintah, serta hasil lelang Surat Berharga Bank Indonesia
(SBBI) valas. BI menyatakan bahwa penerimaan devisa tersebut melampaui
kebutuhan devisa terutama untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan
SBBI valas jatuh tempo.

Posisi cadev itu cukup untuk membiayai 9,0 bulan impor dan pembayaran utang
luar negeri (ULN) pemerintah. Jumlah tersebut berada di atas standar
kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Perkembangan ini tentu menggembirakan. Hal itu merupakan salah satu
indikator yang bagus bagi stabilitas makro ekonomi. BI mampu mengelola
cadev pada tingkat yang aman sehingga bila sewaktu-waktu kita membutuhkan
US$ dalam jumlah besar maka segera bisa dicukupi. Posisi ini juga bisa
melawan spekulan yang ingin menangguk untung besar dengan kemampuan BI
melakukan intervensi pasar.

Kita berharap dengan cadev yang cukup besar, bahkan terbilang mencapai
rekor tertinggi, memberikan pengaruh psikologis yang positif bahwa
perekonomian kita memang makin kuat dan stabil. Namun kita patut mewaspadai
angka-angka tersebut agar kita tidak hanya melihat satu sudut pandang saja.

Kenaikan cadev tersebut lebih banyak karena pertambahan utang luar negeri
(ULN) pemerintah. Sesuai data Kementrian Keuangan, jumlah utang pemerintah
pusat pada akhir Juni Rp3.706,52 triliun, yang terdiri dari penerbitan
Surat Berharga Negara (SBN) Rp2.979,5 triliun atau 80,4 persen dan pinjaman
Rp727,02 triliun atau 19,6 persen. Posisi utang pemerintah tersebut naik
secara neto sebesar Rp34,19 triliun. Kalau dihitung dalam dollar sekitar
US$2,8 milyar.

Para pejabat pemerintah umumnya mengatakan utang kita masih dalam kondisi
sehat dan tidak membahayakan perekonomian. Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia (BI) Mirza Adityaswara juga mengatakan ULN Indonesia masih berada
dalam level sangat sehat. "Saat ini utang pemerintah 28 persen dari
Pendapatan Domestik Bruto, artinya masih sehat," katanya pekan ini. "Batas
utang pemerintah itu adalah 60 persen dari ekonomi Indonesia yang diukur
dari Pendapatan domestik Bruto (PDB)," ujarnya.

Kita percaya pada argumentasi pemerintah tersebut. Kita juga percaya bahwa
kondisi fundamental makro ekonomi terus terjaga baik. Beberapa waktu lalu
kita juga disuguhi data likuiditas bank yang melimpah. Jumlah dana pihak
ketiga di perbankan jauh melampaui kredit yang disalurkan.

Fakta tersebut tidak selalu bermakna bagus. Sebab, semestinya kondisi
fundamental yang bagus tercermin dalam kemajuan mikro yang  mantap. Tentang
kenaikan cadev tadi, alangkah bagus bila kenaikannya mencerminkan ekspor
yang meningkat, bukan dari ULN. Fakta yang kita lihat, ekspor kita stagnan,
bahkan bila dilihat dari angka sejak 2011 nilai ekspor kita terus menurun.
Kalau saat ini ada surplus dalam neraca dagang, hal itu terjadi karena
impor kita juga menurun.

Impor yang menurun, apalagi kalau menyangkut bahan baku dan barang modal,
bukanlah indikasi yang bagus. Kenyataan ini sejalan dengan indeks
manufaktur yang kontraktif. Para produsen menghadapi kenyataan lesunya
permintaan domestik, sedangkan ekspor juga terkendala produk luar negeri
yang lebih kompetitif.

Kiranya kita tak boleh terpaku pada angka-angka makro yang bagus, termasuk
kenaikan cadev tadi. Kita ingin sektor riel bergairah, ekspor terus
meningkat dan kesejahteraan rakyat pun membaik. Maka data makro ekonomi
yang bagus perlu disikapi dengan bijak. Jangan sampai kondisi makro tampak
bagus tetapi mikronya makin tertekan. Sebab, dalam jangka panjang hal itu
merugikan dan mengancam potensi industri yang sudah dibangun dengan susah
payah.

Kirim email ke