https://suaraislam.id/sekarang-musuh-sila-ketuhanan-yme-itu-bukan-komunisme-tapi-intoleransi/
*Sekarang Musuh Sila Ketuhanan YME itu Bukan Komunisme, tapi Intoleransi*

 Ilustrasi

Upaya sekulerisasi Pancasila nampaknya tidak akan pernah berhenti. Bahkan
kini menuju titik membahayakan. Menghadapkan agama (baca: Islam) dan
sekaligus kelompok keagamaan dengan Pancasila.

Nampaknya, pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi yang menghebohkan umat
beragama seantero negeri beberapa waktu lalu tidak selesai begitu saja.
Belum ada koreksi, malah kian menjadi. Bukan hanya BPIP, MPR pun sekarang
sudah terimbas.

Seperti dilansir Kantor Berita *ANTARA,
<https://www.antaranews.com/berita/1347534/mpr-bpip-perkuat-kerja-sama-kembalikan-marwah-pancasila>*
Selasa
10 Maret 2020, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, saat ini ada lima
musuh utama Pancasila yang harus diwaspadai. Pernyataan ini disampaikan
Bamsoet usai menerima pimpinan BPIP di Gedung MPR RI.

Pertama, kata Bamsoet, intoleransi yang tidak sejalan dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa; Kedua, pelanggaran HAM serta penegakan hukum yang tidak
sesuai dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Ketiga, kata dia, disintegrasi yang berlawanan dengan sila Persatuan
Indonesia; Keempat, liberalisasi demokrasi yang bertentangan dengan sila
keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dan kelima, kemiskinan dan kesenjangan sosial
yang bertolak belakang dengan sila kKeadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.

Dari lima musuh Pancasila yang disebut Bamsoet itu, pada hematnya, yang
paling kontroversial dan potensial menimbulkan polemik adalah penyebutan
“intoleransi” sebagai musuh sila pertama Pancasila.
------------------------------

Esensi sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Endang Saifuddin
Anshari, dalam bukunya* “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”*, dalam Maklumat
ke-12 berjudul “Pancasila Pembukaan UUD 1945: Di Dalam Renungan”,
menuliskan, “Paham keesaan Tuhan yang paling konsekuen adalah paham dan
ajaran tauhid dalam akidah Islam.”

Habib Rizieq Syihab, dalam artikelnya “Undang-Undang Dasar 1945”
mengatakan, sila pertama Pancasila wajib ditafsirkan dengan ajaran Islam
yang paling mendasar, yakni tauhid Pengesaan Allah SWT. Sila pertama
Pancasila itu menjadi ikrar negara untuk menjalankan aturan dan hukum Allah
SWT sebagai Tuhan YME.

Barangsiapa yang menyebarkan pemahaman yang bertentangan dengan nilai
Ketuhanan YME, maka ia adalah musuh Pancasila. Artinya, pemahaman yang
bertentangan dengan nilai Ketuhanan YME, seperti Atheisme, Komunisme,
Marxisme, Leninisme, demikian pula dengan sekulerisme, pluralisme dan
liberalisme harusnya dilarang di Indonesia. Sebab semuanya bertentangan
dengan ajaran tauhid.

Secara aturan, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah ditetapkan sebagai
organisasi terlarang menurut TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966. Sekaligus
menetapkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai paham
terlarang. Selanjutnya, larangan ini diperkuat dalam penjelasan Pasal 59
ayat 4 huruf c UU No. 16 Tahun 2017.

Jadi, yang sejatinya menjadi musuh Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, secara resmi disebut dengan jelas dan tanpa penafsiran
macam-macam adalah paham-paham di atas. Sementara ‘intoleransi’ tidak
disebutkan.

Menyebutkan ‘intoleransi’ sebagai musuh sila Ketuhanan YME tentu saja
bermasalah. Sebab kata ini sejatinya hanyalah stigma negatif belaka. Sama
dengan ekstremisme atau radikalisme, meminjam istilah mantan Perdana
Menteri *Allahyarham* Mohammad Natsir, istilah itu mengalami pergeseran
dari istilah *akademik *menjadi istilah politik dan dikembangkan sebagai
instrumen politik.

Jika radikalisme adalah istilah yang disematkan untuk kelompok Islam yang
ingin menerapkan syariat Islam kaffah dan biasanya kelompok itu berafliasi
secara global, maka intoleran disematkan untuk kelompok-kelompok Islam
lokal yang melakukan aksi-aksi amar ma’ruf nahi munkar.

Facebook


Twitter


LinkedIn


Selama ini, itulah yang terjadi. LSM-LSM liberal itu, selama ini memasukkan
indikator-indikator terjadinya intoleransi itu tidak jauh-jauh dari urusan:
apakah umat Islam setuju dengan kepemimpinan non-muslim untuk level
Bupati/Wali Kota-Gubernur hingga Presiden, bagaimana sikap umat Islam
terhadap aliran sesat seperti Ahmadiyah, pendirian tempat ibadah non Muslim
di tengah mayoritas Muslim, ucapan selamat natal, dan tentang Perda Syariah..

Karena itu tidak mengherankan jika LSM-LSM liberal memasukkan
provinsi-provinsi yang tingkat ketaatan dan keteguhan warganya terhadap
Islam kuat, ke wilayah yang tingkat intoleransinya tinggi.

Padahal, jika standarnya adalah konstitusi atau peraturan
perundang-undangan, sama sekali tak ada yang salah dengan sikap umat Islam
yang hendak dipojokkan dengan istilah intoleransi ini.

Mari kita buka dan kita tanya satu-satu.

Pertama, apakah salah jika umat Islam lebih memilih pemimpin yang seakidah
dengan mereka. Tidak ada yang salah. Dan pilihan ini dijamin oleh
Konstitusi.

Kedua, apakah salah jika umat Islam menolak aliran/paham sesat Ahmadiyah?
Tidak ada yang salah. Sebab sikap umat itu sesuai dengan SKB Tiga Menteri
tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Ketiga, apakah umat Islam salah jika menolak pendirian rumah ibadah yang
melanggar aturan? Tidak salah. Sebab sikap umat Islam itu sesuai dengan SKB
Dua Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Keempat, apakah umat Islam boleh dikatakan intoleran jika menolak
pemurtadan yang dilakukan kelompok agama tertentu dengan beragam modus
materi? Tidak. Sebab penyiaran agama juga sudah diatur oleh SKB Dua Menteri
Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama.

Kelima, apakah salah jika umat Islam mengusulkan Perda Syariah? Tentu tidak
salah juga. Sebab hal itu sesuai konstitusi yang mengakomodir aturan
berdasarkan hukum agama. Jangankan Perda, sejumlah Undang-Undang pada level
nasional juga banyak yang bernafaskan Islam.

Intinya, menyematkan kata “intoleran” pada umat Islam dan menjadikan hal
itu sebagai musuh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu sama sekali tak
berdasar. Seharusnya, musuh tauhid adalah anti-tauhid. Mereka yang tidak
bertuhan, mereka yang melawan aturan agama dan hendak memisahkan agama dari
negara itulah musuh sejati sila Ketuhanan.

Janganlah Pancasila dijadikan sebagai alat untuk menindas hak
konstitusional umat Islam.

Pak Natsir, pada 1 Maret 1985 melalui tulisannya “Tempatkan Kembali
Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional”, sudah menyindir dengan
sindiran yang faktual hingga kini.

Kata Pak Natsir, umat Islam diserukan dengan seruan “Demi Persatuan dan
Kesatuan”, namun yang dialami umat Islam justru gejala-gejala Islamofobia
yang terus meningkat dari hari ke hari dalam bermacam bentuk dan bidangnya,
yang mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain
pihak. *Wallahu
a’lam. *[MSR]

Kirim email ke