Senyum Omnibus Law
Kamis , 22 Oktober 2020 | 07:13
https://www.sinarharapan.co/opinidaneditorial/read/25445/senyum_omnibus_lawsenyum_omnibus_law
Senyum Omnibus Law
Sumber Foto dok/Pikiran Rakyat
Ilustrasi Omnibus Law.
POPULER
Senyum Omnibus Law
<https://www.sinarharapan.co/opinidaneditorial/read/25445/senyum_omnibus_lawsenyum_omnibus_law>
Listen to this
SUDAH puluhan tahun masyarakat, terutama para investor dan pengusaha,
galau bahkan gemas dan jengkel terhadap penyakit kronis berbagai
pungutan, baik resmi maupun liar, yang sangat mengganggu proses
pendirian industri dan operasional produksi. Hal tersebut tentu
berdampak pada waktu, biaya produksi, kualitas dan harga produk, serta
daya saing ekonomi bangsa.
Mengenai daya saing, kini semakin terasa ketertinggalan kualitas anak
negeri dibanding bangsa lain. Dalam kompetisi bisnis global, banyak
produk kita tersisihkan oleh saingan dari Vietnam, yang di antaranya
terkalahkan oleh faktor produktivitas tenaga kerja. Padahal Vietnam
masih tidak setinggi produktivitas bangsa Korea dan Jepang.
Mengingat kondisi budaya dan sosial anak bangsa yang beraneka ragam,
mudah difahami bila tingkat produktivitas masyarakat dari kawasan yang
berlainan juga berbeda. Sebagai misal, pernah terjadi menjelang
kegiatan internasional di suatu tempat, penyelenggara galau karena
perbaikan prasarana jalan tak kunjung selesai. Akhirnya didatangkan
ratusan tenaga kerja dari pulau lain sebagai solusi.
Fakta lain, dalam beberapa industri ada yang memilih pekerja dari
kawasan tertentu, dan sebaliknya, ada yang menolak kelompok masyarakat
tertentu. Hal-hal semacam ini tentu harus diupayakan solusinya, baik
secara mikro dengan peningkatan kompetensi, maupun secara makro dan
strategis melakukan perombakan sistem.
Mungkin terdorong oleh permasalahan tersebut di atas ditambah guna
meningkatkan ekonomi dan daya saing bangsa, Pemerintah menginisiasi
Undang-undang yang dikenal sebagai Omnibus Law kepada DPR pada 17
Desember 2019. Setelah pembahasan awal Rencana Undang-undang Cipta Kerja
ini dilakukan pada 2 April 2020 DPR menugaskan Badan Legislatif untuk
mengolahnya. Dalam persidangan lebih dari 60 kali, dilakukan pembahasan
yang akhirnya ditetapkan pada Rapat Pleno tanggal 3 Oktober 2020.
Kalau melihat latar belakang penyusunan RUU Ciptaker, tampaknya memiliki
tujuan strategis untuk kemajuan bangsa, baik sosial, budaya, maupun
ekonomi. Dilakukan pemangkasan berbagai peraturan yang tumpang tindih,
penyederhanaan prosedur atau aturan pendirian dan perizinan berusaha,
sehingga membuat efisien, efektif, memangkas berbagai pungutan dan
sumber korupsi lainnya. Melalui reformasi legalitas dan birokrasi
ekonomi ini, diharapkan ekonomi dan daya saing bangsa akan meningkat.
Apabila negara menjadi maju, industri dan ekonomi berkembang pesat, maka
meningkat pula penyerapan tenaga kerja yang kompeten, dan rakyatpun
menjadi sejahtera.
*Aspek Komunikasi*
Namun kita juga memaklumi, bahwa sesuatu yang baik dan mulia, tidak
jarang memiliki beberapa aspek yang negatif bagi yang lain. Restorasi
Meiji di Jepang, ataupun Revolusi Industri di Eropa, terdapat
pihak-pihak yang merasa dirugikan. Di negeri kita, pada masa lalu
reformasi atau demokratisasi politik dan ekonomi, juga ada golongan yang
merasa terugikan. Ekses ini bisa merupakan realitas obyektif, ataupun
dapat juga lantaran kesalahfahaman. Solusi terhadap hal ini adalah
dilakukan komunikasi yang baik antara pihak-pihak yang terkait.
RUU Ciptaker dimaksudkan secara strategis sangat positif bagi investor,
pengusaha, pekerja, bahkan untuk bangsa dan negara. Namun secara mikro
bisa saja ada pasal yang dianggap merugikan pengusaha tertentu atau para
pekerja. Di sinilah diperlukan komunikasi yang intensif dan efektif.
Dalam suasana pandemi yang komunikasi tidak bisa berjalan normal,
kiranya rawan untuk terjadi miskomunikasi. Bisa dipahami bila Pemerintah
dan DPR kurang bisa maksimal untuk menjelaskan substansi RUU Ciptaker
ini kepada publik.
Hingga kini masih hangat gugatan atau perlawanan terhdap RUU Ciptaker,
meliputi materi perubahan Jaminan Sosial, proses PHK, ancaman Tenaga
Kerja Asing, dan Libur Hari Raya. Era viral dan hoax di media sosial,
memperpanas suasana batin masyarakat. Pemerintah sudah memberikan
penjelasan, ada beberapa hal yang disangka negatif atau dihilangkan
lantaran tidak dimuat dalam RUU Ciptaker, sebetulnya substansinya masih
berlaku, tapi di perundang-undangan lain misalnya pada Undang Undang
Nomor 13 Tahun 2003.
Hal lain, Upah Minimum Regional tidak dihapus, hak upah selama cuti
masih berlaku, ketentuan pekerja tetap, dan tenaga kontrak masih ada.
Proses PHK apabila mendesak tidak terhindarkan, masih mungkin dilakukan
bipartite, kalau tidak ditemukan kesepakatan, bisa melalui forum
Penyelesaian Hubungan Industrial. Perusahaan yang akan menggunakan
Tenaga Kerja Asing masih harus mengajukan ijin kepada Pemerintah,
dibatasi pada bidang tertentu dan waktu yang terbatas. Libur Hari Raya
dan kesediaan waktu untuk sholat Jumát masih ada, diatur dalam
perundang-undangan lain.
Permasalahan ini harus dicari solusinya, tanpa emosi ataupun saling
apriori, melakukan komunikasi yang positif, sambil “tersenyum”.
Pemerintah dan DPR, sebaiknya duduk bersama dengan pihak yang menggugat,
meluruskan hal-hal yang disalahpahami. Bisa saja terdapat substansi yang
dimaksud Pemerintah dan DPR guna kebaikan negeri ini secara makro, atau
strategis bagi masa yang akan datang namun membawa efek yang negatif
bagi pihak lain, misalnya para pekerja, tentu dapat dilakukan perubahan
pasal dan ayat. Apabila seandainya tidak tercapai titik temu, diharapkan
Mahkamah Konstitusi menetapkan jalan keluar. Bisa jadi kenyataannya
tidak sedemikian sederhana, karena motif penggugat beraneka ragam, belum
tentu semuanya murni substansial.
*Aspirasi atau Konspirasi? *
Setelah beberapa hari demonstrasi berjalan, tidak sedikit pelakunya
ternyata anak-anak atau para remaja pelajar yang ikut-ikutan, tidak
beraspirasi. Mereka terpengaruh teman atau komunitasnya, yang mungkin
saja sambil tertarik oleh imbalan uang transport ataupun uang konsumsi.
Mereka tidak faham tentang isi dari RUU Ciptaker yang diteriakkannya.
Kita patut prihatin dan menyayangkan hal ini terjadi, merugikan mereka
yang awam dan orangtuanya.
Ada pula kelompok remaja atau pemuda yang memiliki aliran demokrasi atau
liberalisasi “sesat”. Dengan alasan hak individunya tidak boleh diganggu
pihak lain, termasuk oleh negara, mereka melakukan berbagai sikap dan
perilaku yang merugikann masyarakat, dan merepotkan aparat. Kalau
menggunakan teori psikologi Maslow Hierarchy, mereka
memiliki/self-actualization/atau/self-esteem/yang keliru. Mereka
beranggapan bahwa bila melakukan demo dengan “berani” melanggar hukum,
malakukan perusakan, melawan petugas, dan sebagainya, menganggap dirinya
hebat dan luar biasa,/extra ordinary people/- melebihi masyarakat
“biasa”. Terhadap pendemo atau perusuh yang demikian, harus dilakukan
tindakan tegas, sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga tidak menjadi
preseden, mengganggu masyarakat lain, dan merepotkan aparat.
Yang ketiga adalah dari golongan politik yang mengambil moment guna
memperoleh nilai positif bagi golongannya, atau menambah nilai negatif
bagi lawan politiknya. Dalam ilmu politik disebut sebagai/Zero Sum
Game/, hal yang negatif bagi lawan, mengandung nilai positif bagi
dirinya, dan sebaliknya. Kelompok ini sebetulnya salah perhitungan. Pada
akhirnya,/silent majority/masyarakat memahami bahwa ada juga motif
politik negatif di tengah demo yang dicemari kerusuhan, perusakan.
Mereka akhirnya dianggap golongan yang tidak peduli keprihatinan
masyarakat, bangsa dan negara, yang sedang repot menangani pandemi,
beserta dampak ekonomi dan sosialnya. Kesadaran masyarakat ini
memberikan bobot nilai yang sangat rendah terhadap unsur politisi demikian.
Yang terakhir, adalah kelompok yang memang merasa atau menyadari
terugikan oleh adanya RUU Ciptaker. Opini mereka bisa karena murni untuk
kebaikan nasib kelompoknya, namun berbeda pendapat dengan Pemerintah dan
DPR, ataupun lantaran kesalahpahamankan. Kelompok yang memiliki motif
mulia ini perlu didukung, disambut baik untuk diberi penjelasan, atau
dicari solusi yang tepat dan bijak. Kedua pihak yang berbeda pendapat
ini sebaiknya duduk bersama, berembug bareng sambil tersenyum, sehingga
bagi masa depan bangsa dan negara memberikan manfaat positif; adapun
bagi para pekerja yang kini sedang prihatin juga tidak merepotkan.
Semoga saja di tengah keprihatinan dan perjuangan bersama untuk
kesehatan masyarakat melawan pandemi ini tidak ditambah beban kondisi
politik yang seharusnya bisa dicarikan solusinya. Segenap pihak
hendaknya tersenyum dan berinspirasi untuk mencari solusi, bukan
berkonspirasi untuk kepentingan kelompoknya sendiri./Smiling diplomacy
is the art of letting someone else get your way. Nobody raises his own
reputation by lowering others. The future is purchased by the
present/.(*Dr Soen’an Hadi Poernomo*)
/Penulis adalah Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP),
Jakarta.
/