Singgung Rachmawati, Perludem: Putusan MK Mestinya Diakomodir di UU Pemilu
- detikNews
Senin, 13 Jul 2020 05:30 WIB
6 komentar
<https://news.detik.com/berita/d-5090773/singgung-rachmawati-perludem-putusan-mk-mestinya-diakomodir-di-uu-pemilu?tag_from=wp_nhl_8#comm1>
SHAREURL telah disalin
<https://news.detik.com/berita/d-5090773/singgung-rachmawati-perludem-putusan-mk-mestinya-diakomodir-di-uu-pemilu?tag_from=wp_nhl_8>
Titi AnggrainiTiti Anggraini (Foto: Ari Saputra)
*Jakarta*-
KPU <https://www.detik.com/tag/kpu>mengusulkan agar putusanMahkamah
Konstitusi <https://www.detik.com/tag/mahkamah-konstitusi>(MK) yang
bersifat final dan mengikat ditulis diUU Pemilu
<https://www.detik.com/tag/uu-pemilu>. Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem) menilai seharusnya semua substansi putusan MK soal
kepemiluan diakomodir di UU yang revisinya tengah dibahas DPR tersebut.
"Sudah semestinya semua substansi putusan Mahkamah Konstitusi yang
merupakan hasil uji materi berkaitan dengan pengaturan kepemiluan
diakomodir dalam UU Pemilu yang dibuat DPR dan pemerintah. Bukan hanya
karena pertimbangan sifat putusan MK yang final dan mengikat, hal itu
juga diperlukan untuk memastikan konstitusionalitas UU Pemilu yang
ditetapkan pembuat undang-undang," ujar Direktur Eksekutif Perludem,
Titi Anggaraini, saat dihubungi, Minggu (12/7/2020).
*Baca juga:*KPU Usul Ketentuan 'Putusan MK Bersifat Final' Ditulis di UU
Pemilu
<https://news.detik.com/berita/d-5090249/kpu-usul-ketentuan-putusan-mk-bersifat-final-ditulis-di-uu-pemilu>
Titi mengatakan putusan MK itu juga perlu dibunyikan agar tidak ada
kontroversi hukum. Titi mencontohkan seperti kemenanganRachmawati
Soekarnoputri <https://www.detik.com/tag/rachmawati-soekarnoputri>di
Mahkamah Agung soal gugatan Peraturan KPU terkait ketentuan sebaran
perolehan suara pada Pilpres yang diikuti oleh dua pasangan calon.
"Selain itu juga untuk menghindari spekulasi dan kontroversi hukum
akibat pembuat UU yang luput mengakomodir substansi yang ada di dalam
putusan MK, seperti halnya pada ketentuan tidak berlakunya syarat
sebaran perolehan suara di Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan
calon baru-baru ini," kata Titi.
"Bisa dikatakan, kegaduhan politik yang terjadi saat MA mengeluarkan
Putusan Uji Materi yang dimohonkan Rachmawati Soekarnoputri dan
kawan-kawan, tidak dikontribusikan oleh kealpaan pembuat UU No. 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum dalam mengakomodir substansi Putusan MK No.
50/PUU-XII/2014, yang notabene sudah sangat terang benderang menyebutkan
bahwa syarat sebaran suara Pilpres tidak berlaku bila hanya ada dua
pasangan calon yang ikut pemilu," imbuhnya.
*Baca juga:*KPU soal Laporan Dana Kampanye Parpol-Caleg: Tak Signifikan,
Hanya Formalitas
<https://news.detik.com/berita/d-5090286/kpu-soal-laporan-dana-kampanye-parpol-caleg-tak-signifikan-hanya-formalitas>
Titi menyebut saat ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan usulan
terkait aturan Pemilu karena DPR sedang membahas revisi UU Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu. Menurutnya, perlu ada upaya yang cermat agar
putusan MK bisa diakomodir di UU Pemilu.
"Maka, mumpung DPR saat ini sedang menggodok RUU Pemilu, maka perlu
upaya cermat dan serius menginventarisir berbagai putusan MK yang
terkait pengaturan kepemiluan untuk selanjutnya diformulasi dalam UU
Pemilu yang akan mereka buat. Ini juga untuk mencegah banyaknya gugatan
atas UU Pemilu akibat pengaturan yang dianggap inkonstitusional karena
bertentangan dengan putusan MK yang merupakan tafsir konstitusionalitas
norma undang-undang," kata dia.
Lebih lanjut, Titi berharap DPR tidak mengabaikan putusan MK terkait UU
Pemilu. Sehingga tidak terjadi gugatan hukum yang berpotensi menimbulkan
kegaduhan.
"Pembuat UU juga diharap tidak menegasikan apalagi mencoba mengabaikan
berbagai Putusan MK terkait UU Pemilu. Sebab hal itu selain akan membawa
ekses timbulnya gugatan hukum di kemudian hari, juga bisa menimbulkan
kegaduhan publik. Hal itu tentu kontraproduktif bagi stabilitas politik
jelang Pemilu 2024," ujar Titi.
*Baca juga:*Dorong Kuota 30% di Parlemen, KPPI Usul Caleg Perempuan Isi
Nomor Urut 1
<https://news.detik.com/berita/d-5069884/dorong-kuota-30-di-parlemen-kppi-usul-caleg-perempuan-isi-nomor-urut-1>
Titi mengatakan UU Pemilu adalah salah satu UU yang sering digugat ke
MK, sehingga menurutnya penting agar tiap norma dalam UU pemilu
dirumuskan secara mendalam. Jika perlu, Titi juga mengusulkan agar DPR
meminta masukan kepada MK.
"Apalagi UU Pemilu adalah undang-undang nomor tiga yang paling banyak
diuji ke MK setelah KUHAP dan UU Pemerintahan Daerah. Maka, jadi sangat
penting agar suatu norma yang dirumuskan dalam UU Pemilu dipastikan
betul aspek konstitusionalitasnya," sebut Titi.
"Banyak putusan yang perlu betul diperhatikan DPR, meski mungkin DPR
kurang sreg. Contoh Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 terkait
konstitusionalitas desain pemilu serentak. Lalu putusan soal pencalonan
anggota DPD yang tidak boleh berasal dari pengurus parpol. Termasuk pula
pencalonan mantan narapidana di pemilu," imbuhnya.
*Baca juga:*Catatan Pemilu 2019: DPT Bermasalah hingga Efek Ekor Jas Tak
Dirasakan Parpol
<https://news.detik.com/berita/d-5090244/catatan-pemilu-2019-dpt-bermasalah-hingga-efek-ekor-jas-tak-dirasakan-parpol>
Untuk diketahui, Komisioner KPU Ilham Saputra mengusulkan agar putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat ditulis di
Undang-Undang tentang Pemilu. Ilham menilai aturan itu penting ditulis
agar tidak ada pihak yang bisa mengganggu putusan MK terkait Pemilu.
"Kemudian juga sidang sengketa, atau nanti bisa dituliskan secara
tertulis dalam UU bahwa keputusan MK itu final dan mengikat, dan tidak
ada lagi menjadi pembanding, atau data pembanding hasil Pemilu, karena
hasil dari Mahkamah Konstitusi itu adalah final dan binding (mengikat)."
ujar Ilham di peluncuran buku Wasekjen PPP Achmad Baidowi (Awiek) yang
berjudul 'Pemilu Serentak 2019: Catatan Pengalaman Indonesia' yang
disiarkan secara online, Minggu (12/7).
Anggota DPR: Perpres Kartu Prakerja baru masih sama dengan sebelumnya
Minggu, 12 Juli 2020 23:20 WIB
Anggota DPR: Perpres Kartu Prakerja baru masih sama dengan sebelumnya
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta. (Dokumentasi Humas Fraksi PKS)
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai Peraturan
Presiden (Perpres) untuk mengatur pelaksanaan Kartu Prakerja terbaru
Nomor 76 Tahun 2020 yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 7 Juli
2020 masih sama dengan Perpres Kartu Prakerja sebelumnya Nomor 36 Ttahun
2020.
"Saya melihat tidak banyak perubahan dalam Perpres (baru) ini,
semangatnya masih sama seperti yang lama," kata Wakil Ketua Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu dalam pernyataan tertulis yang
diterima di Jakarta, Minggu malam.
Menurut Sukamta, memang terdapat penambahan yang disebutkan pada pasal 5
mengenai konten pelatihan kewirausahaan, disebutkan juga pada pasal 6
ayat 2 tentang pelatihan dengan mempertimbangkan standar kompetensi kerja.
*Baca juga:Presiden Jokowi terbitkan perpres Kartu Prakerja baru
<https://www.antaranews.com/berita/1602774/presiden-jokowi-terbitkan-perpres-kartu-prakerja-baru>*
"Ini kan seperti tambahan pemanis kata saja," kata Sukamta.
Menurut anggota Badan Anggaran DPR RI itu, jika pemerintah peka terhadap
berbagai kritik dan masukan, semestinya pelatihan daring ditiadakan
karena banyak mendapat kritikan.
Masyarakat, menurut Sukamta, ingin skema kartu prakerja yang murni dalam
bentuk bantuan untuk para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja
(PHK).
Ia menilai skema yang murni dalam bentuk bantuan untuk para pekerja yang
terkena PHK itu akan lebih efisien dalam menghemat pengeluaran anggaran
negara.
"Mestinya dengan kondisi krisis ekonomi yang mulai terasa saat ini,
semangatnya efisiensi anggaran hanya untuk hal-hal yang mendesak. Jika
pelatihan secara daring ditiadakan, setidaknya negara bisa hemat Rp5,6
triliun. Anggaran ini bisa dialihkan untuk penanganan COVID-19 atau
untuk pemulihan usaha mikro dan kecil," kata Sukamta.
*Baca juga:KPK nilai Perpres Kartu Prakerja sudah muat rekomendasinya
<https://www.antaranews.com/berita/1605806/kpk-nilai-perpres-kartu-prakerja-sudah-muat-rekomendasinya>*
Ia pun meminta pemerintah membujuk perusahaan platform digital untuk
memberikan pelatihan secara gratis kepada masyarakat, khususnya kalangan
pencari kerja dari keluarga tidak mampu.
"Saya yakin perusahaan platform digital, yang saat ini sedang mereguk
untung besar, mau untuk buat skema pelatihan gratis," kata Sukamta.
Anggota DPR RI asal Yogyakarta itu juga mengingatkan pemerintah untuk
berhati-hati dalam membuat aturan yang dapat dapat mengarah kepada
penyimpangan moral (moral hazard) di masa pandemi COVID-19.
Seperti dalam pasal 31 A peraturan presiden terbaru menyebutkan bahwa
pemilihan platform digital dan lembaga pelatihan tidak termasuk lingkup
pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah namun tetap memperhatikan
tujuan, prinsip, dan etika pengadaan barang dan jasa pemerintah.
"Ini kan jelas bisa membuka peluang korupsi, karena diberi diskresi
sebagai proses yang tidak masuk pengadaan barang dan jasa," kata Sukamta.
*Baca juga:Digitalisasi program kartu prakerja dapat minimalkan praktik
korupsi
<https://www.antaranews.com/berita/1605138/digitalisasi-program-kartu-prakerja-dapat-minimalkan-praktik-korupsi>*
Kemudian, pada pasal 31B, peraturan presiden menyebutkan bahwa kebijakan
yang telah ditetapkan oleh Komite Cipta Kerja dan tindakan yang
dilakukan dalam pelaksanaan Program Kartu Prakerja oleh Manajemen
Pelaksana, sebelum Peraturan Presiden ini mulai berlaku, dinyatakan sah
sepanjang didasarkan pada iktikad baik.
"Ukuran iktikad baik kan sangat subjektif, revisi Perpres (Kartu
Prakerja) ini terlalu berlebihan. Akan lebih baik program ini dihentikan
saja dan diganti dengan skema bantuan untuk korban PHK akibat pandemi,"
kata Sukamta.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Bambang Sutopo Hadi