http://indoprogress.com/2016/04/sosialisme-untuk-pembebasan-papua/

Sosialisme Untuk Pembebasan Papua?
15 April 2016 
Julian Howay


Harian Indoprogress 

 
Print PDF
SITUASI kontemporer menunjukkan bahwa perjuangan menuju cita-cita Pembebasan 
Nasional Papua Barat masih berada di simpang jalan. Sampai saat ini, 
kolonialisme dan imperialisme Indonesia yang disokong gurita-gurita kapitalis 
internasional dan nasional, makin kuat menancapkan tentakel-tentakel penghisap 
tanah air Papua Barat yang kaya sumber daya alam (SDA).

Keberlangsungan kolonisasi dan imperialisasi tersebut dikontrol para elit 
oligarki politik nasional dan elit tentara (termasuk polisi) dalam rangka 
memperebutkan, menguasai dan mengelola sumber daya ekonomi-politik yang 
tersedia. Semua itu dilakukan atas nama NKRI yang tak terpisah dari Papua. 
Dalam skema itu, aparatus birokrasi sipil di Papua, politisi, kaum pemodal 
(kapitalis) dan borjuasi-feodalis lokal berperan sebagai instrumen pendukung. 
Sementara segala perangkat pemerintahan, hukum, pendidikan, kebudayaan, 
ekonomi, media, hingga institusi bersenjata (TNI/Polri) merupakan instrumen 
penyokong ideologi dan nasionalisme Indonesia dalam menjaga ‘status quo’ 
penindasan dan eksploitasi atas tanah Papua. Kombinasi kekuatan-kekuatan inilah 
yang telah menjadi mesin penjajah bangsa Papua selama hampir enam dekade 
(2016). Terhitung sejak invasi militer Indonesia melalui operasi Tri Komando 
Rakyat (Trikora) pada 1961 silam.

Tak dapat dipungkiri, kolonisasi Indonesia telah membawa dampak negatif yang 
luar biasa bagi tanah air dan rakyat Papua Barat. Dimulai dari pengurasan 
sumber daya alam (SDA) Papua oleh jejaring korporasi global dan nasional yang 
direstui negara. Tanah dan kawasan potensial milik masyarakat adat Papua 
diambil alih atas nama pembangunan dan investasi di sektor pertambangan, 
kehutanan, pertanian hingga perkebunan sawit skala raksasa berbasis pemukiman 
kaum pendatang, semisal transmigrasi.

Hadirnya negara Indonesia di tanah Papua, juga menciptakan kebijakan politik 
pembangunan yang bias kaum pendatang (migrant biased policy). Hasilnya memicu 
migranisasi spontan yang tak terkendali di Tanah Papua. Akibatnya terjadi 
dominasi kaum migran atas fasilitas dan layanan publik, serta dominasi 
sumber-sumber penghidupan ekonomi lokal. Geliat ekonomi pasar (kapitalisme) di 
Tanah Papua dan berkembangnya kawasan pusat pembangunan baru pun dengan cepat 
menggusur pribumi Papua dari atas tanahnya hingga mereka kehilangan eksistensi 
diri.

Akibatnya masyarakat adat (pribumi) Papua, sebagai bagian dari masyarakat adat 
internasional yang perlu dilindungi dan diberdayakan hak-haknya atas budaya dan 
sumber daya alamnya, kini terseok-seok menghadapi kekuatan negara dan modal 
yang menindas secara sistematis. Kondisi ini terjadi ketika ruang dimana mereka 
hidup dan sumber daya alamnya (SDA) telah dirampok demi pembangunan dalam 
konteks ke-Indonesiaan. Ribuan hektar hutan Papua telah ditebas, perut bumi dan 
lautnya terus dijarah untuk diambil isinya.

Otonomi Khusus Papua memang telah hadir sejak 2001 melalui Undang-Undang No. 21 
Tahun 2001. Namun tidak membawa aroma afirmasi, proteksi, pemberdayaan dan 
kesejahteraan bagi rakyat Papua. Yang diperoleh justru malapetaka baru: 
pemiskinan sistematis, pembodohan hingga peminggiran (marginalisasi) orang asli 
Papua di tanah sendiri. Kemalangan tersebut kemudian diplintir sebagai 
kesalahan dan kebodohan orang Papua sendiri karena salah mengurus diri.

Otsus Papua yang secara historis lahir sebagai alternatif solusi bagi tuntutan 
kemerdekaan, dalam imlementasinya justru menciptakan kaum elit borjuasi baru 
Papua yang oportunis. Mereka inilah yang menjadi kelompok pencari untung, 
perampok sumber daya ekonomi-politik yang tersedia dan menjadi aktor-aktor 
penindas yang dominan dalam struktur sosial masyarakat Papua. Kelompok inilah 
yang paling mendapat untung karena menjadi penghubung dan pengelola sumber daya 
ekonomi-politik negara Indonesia bagi rakyat Papua.

Dalam dinamika politik lokal yang terkait dengan perebutan kekuasaan, kelompok 
borjuasi Papua yang sudah mapan seringkali memanfaatkan basis komunitas 
tradisionalnya sebagai keledai tumpangan untuk meraih kekuasaan. Rakyat yang 
sudah terkuasai lalu digerakkan untuk saling melukai dan membunuh lantaran 
pertarungan para elit borjuasi lokal. Namun ketika sudah berkuasa, mereka 
dilupakan.

Ironisnya, situasi penindasan yang sistemik itu justru membuat orang Papua 
terlena, masa bodoh (apatis) dan mengalami disorientasi akan masa depan yang 
lebih baik. Pada titik klimaks tertentu, situasi tersebut menciptakan 
hilangnnya harapan dan rasa putus asa untuk dapat memperjuangkan cita-cita 
pembebasan nasional yang diimpikan. Namun pembebasan nasional yang seperti apa?

Pembebasan nasional yang dimaksud bukan semata dalam hal memperoleh kemerdekaan 
politik dan kedaulatan atas tanah air Papua Barat dari cengkeraman kolonialisme 
dan imperialisme Indonesia. Namun pembebasan nasional yang dimaksud mencakup 
ketiadaan penindasan terstruktur secara politik, ekonomi, budaya dan sebagainya 
dari kekuatan-kekuatan asing maupun kaum penindas sesama orang Papua sendiri.



Realitas Perjuangan Papua 

Di tengah situasi penindasan, perjuangan pembebasan nasional Papua belum juga 
menuai kemajuan yang signifikan. Terutama bila dilihat dari 5 (lima) hal utama 
pendukung gerakan pembebasan nasional: kekuatan ideologi (ideology power), 
kekuatan masyakat sipil (civil society power), kekuatan logistik-ekonomi 
(logistic and economy power), kekuatan sayap militer (military power) dan 
kekuatan sayap diplomasi (diplomacy power).

Bila ditelusuri, persoalan yang menghambat proses perjuangan menuju cita-cita 
pembebasan nasional Papua Barat dipengaruhi oleh 4 (empat) hal pokok. Pertama: 
Adanya sikap-sikap primordialisme kesukuan yang kental di antara orang Papua 
sendiri dan munculnya nasionalisme ganda: antara Nasionalisme Papua dan 
Indonesia. Hal ini seperti diuraikan dosen sejarah Universitas Cenderawasih 
(Uncen), Bernarda Meteray dalam bukunya ‘Nasionalisme Ganda Orang Papua’.

Sikap primordialisme kesukuan yang kental itu pada satu sisi merupakan sumber 
utama terjadinya perpecahan yang sulit diantisipasi sehingga melemahkan 
persatuan nasional bangsa Papua. Pada sisi lain, fenomena Nasionalisme Ganda 
yang dilatari persemaian dua nasionalisme: Nasionalisme Papua-Indonesia 
(PapIndo) di kalangan orang Papua, menghasilkan ‘Nasionalisme Hiprokrit’ atau 
nasionalisme pura-pura, munafik, palsu dan samar-samar (pseudo nasionalism).

Nasionalisme ganda yang ambigu tersebut biasanya terjadi pada rakyat dan bangsa 
yang sedang terjajah. Kondisi demikian lantas menyuburkan sikap-sikap 
penghianatan orang Papua sendiri (terutama kaum borjuasinya) dengan berusaha 
mencari zona kehidupan nyaman atau mencari keuntungan sendiri (opportunism). 
Tak heran jika idealisme dan cita-cita perjuangan Papua Merdeka (Pembebasa 
Nasional) sering tergadai (ternoda) untuk kepentingan meraih materi, jabatan, 
kekuasaan dan hal-hal lain yang dianggap bisa memuaskan kehidupan 
material-spiritual.

Kedua: Banyaknya faksi/organisasi perjuangan politik dengan idealisme 
(ideologi), platform, kerangka, gaya dan strategi taktik (stratak) perjuangan 
yang berbeda-beda, sehingga sering berbenturan satu sama lain. Siklus hidup 
sebagian besar organisasi perjuangan pembebasan Papua Barat sejak awal bisa 
dianalogikan seperti tanaman berjangka pendek. Berkecambah, bertumbuh dan 
selanjutnya menunggu waktu untuk kering (mati).

Hal itu, selain disebabkan oleh kelemahan-kelemahan organisasi secara internal 
dan juga karena pengaruh kekuatan eksternal, terutama kekuatan penjajah yang 
dominan dan menghegemoni. Persoalan internal, misalnya, menyangkut gaya 
kepemimpinan dan gerak organisasi perjuangan yang belum menerapkan prinsip 
militansi, progresif, demokratis, dan setia pada garis massa, hingga masih bias 
gender atau cenderung patriarkhi karena tidak melibatkan perempuan Papua pada 
posisi strategis dalam organisasi perjuangan.

Ritme organisasi perjuangan Papua Barat secara struktural juga masih mengidap 
penyakit Elitisme-Feodal dan Patronase. Ini terlihat dari kecenderungan 
dominasi figur yang berasal dari tipe kepemimpinan tradisional lama: kepala 
suku, ondoafi dan raja. Hubungan Patronase ini tampak dari pengkultuskan 
pimpinan dan senioritas. Pemimpin tertinggi dianggap penggerak utama 
organisasi. Keputusan pimpinan dan aktor senior adalah perintah yang harus 
diikuti, meskipun tidak melalui mekanisme pembuatan keputusan secara 
‘kolektif-kolegial’ dan demokratis.

Secara eksternal, terdapat ego faksional dan elitis yang kuat antara pimpinan 
faksi/organisasi perjuangan. Kondisi multi faksi di tubuh organisasi perjuangan 
serta perbedaan-perbedaan yang ada telah menyebabkan sulit terbentuknya front 
persatuan bersama yang dapat bekerja secara kontinyu dan progresif. Hal ini 
lantas berdampak pada program-program perjuangan bersama yang telah dirumuskan 
untuk dikerjakan terhenti di tengah jalan (mandek). Front bersama pun mati suri 
atau perlahan bubar karena satu dan lain hal.

Dari aspek ideologis sebagai filosofi penggerak perjuangan, sejumlah 
organisasi/faksi perjuangan masih terjerumus ke dalam praktik-praktik 
perjuangan Magis, Mistifikasi dan Utopia. Ini bisa dicermati dari bentuk-bentuk 
perjuangan politik bermotif gerakan ‘Cargoism-Mesianism’ lama yang 
bermetamorfosis ke bentuk baru sebagai hasil percampuran (sinkretisasi) 
agama-agama suku dan kebudayaan orang Papua dengan ajaran-ajaran (ritus) 
teologi keselamatan, pembebasan dan kebahagiaan yang diperoleh dari luar.

Gerakan tersebut bersifat utopia karena merindukan datangnya sang Mesiah, Nabi, 
Imam Mahdi dan Ratu Adil yang membawa visi pembebasan. Perkembangan gerakan 
ini, dalam kaitan dengan gerakan politik Papua Merdeka (Pembebasan Nasional), 
cukup mengalami kemajuan dalam bentuk baru dari yang lama berbasis budaya dan 
agama suku. Karena berkolaborasi dengan ajaran-ajaran teologi Kristen-Barat 
yang mengajarkan tentang datangnya zaman baru pembebasan dan zaman bahagia yang 
seolah-olah disamakan dengan sejarah teologi pembebasan bangsa Yahudi-Israel.

Dari aspek karakter kepemimpinan, gerakan ini bersifat ‘Patronisme’. Sebab 
mengandalkan visi pewahyuan yang bersifat abstrak dan transendental dari 
pemimpinnya yang berlatar belakang seorang teolog atau dianggap memiliki 
karakter kharismatis. Di sini visi pewahyuan dalam bentuk mimpi atau pengalaman 
emosional-spiritual dari sang pemimpin yang terkait dengan perjuangan politik 
Papua, biasanya dijadikan pegangan dan petunjuk menuju pembebasan. Meski tidak 
memiliki visi-misi perjuangan yang kongkrit.

Pasang surut perjuangan pembebasan nasional Papua juga diwarnai pertarungan 
antara kelompok gerakan Papua yang di dalamnya terdapat aktor-aktor yang 
memiliki visi ideologi yang berbeda. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam 
faksi-faksi pergerakan Papua, terdapat kaum penganut ideologi Nasionalis 
Pragmatis, Liberal Kapitalisme, Teologis Konservatif, Nasionalis Kulturalisme, 
Demokratik-Kerayaktan, Sosialisme-Komunis, hingga mereka yang menganut ideologi 
ganda (dualisme ideologi) atau lebih.

Perbedaan visi ideologis semacam itu, baik dalam organisasi/faksi perjuangan 
maupun aktor-aktornya, telah menyebabkan kebingungan untuk meletakkan landasan 
filosofis perjuangan dan ideologi Negara Papua Barat yang ideal atau sejalan, 
berakar kuat dan menjiwai cita-cita pembebasan nasional. Perbedaan visi 
ideologis inilah yang diyakini menjadi salah satu faktor penelikungan dan 
penghambat perjuangan menuju cita-cita pembebasan nasional.

Ketiga: Ketiadaan sosok pemimpin nasional Papua Barat sebagai figur pemersatu. 
Sosok pemimpin nasional yang kharismatis sebagai pemersatu rakyat Papua maupun 
segala komponen perjuangan memang sangat dibutuhkan ketika situasi perjuangan 
pembebasan hari ini mengalami krisis kepemimpinan. Sebab belum mampu 
mempersatukan 314 suku bangsa Papua yang bernaung di bawah beragam 
organisasi/faksi perjuangan yang masih berwatak primordialisme-kesukuan.

Ketokohan seorang pemimpin pemersatu, memang sangat dibutuhkan sebagai 
penanggung jawab aktivitas politik nasional, terutama yang bersifat progresif 
revolusioner. Namun ketokohan sebagai figur pemersatu bukan lahir begitu saja. 
Atau diturunkan Tuhan dari langit sebagai seorang Mesias/Imam Mahdi/Nabi/Ratu 
Adil yang akan membebaskan rakyatnya yang tertindas. Figur semacam itu lahir 
dari proses perjuangan yang rumit hingga terbentuk karakter yang ideal dan bisa 
diterima oleh seluruh komponen rakyat. Figur kharismatis pemersatu bukanlah 
manusia yang sempurna. Ia juga manusia biasa yang punya kekurangan dan 
keterbatasan sehingga butuh dukungan orang lain.

Dalam sejarah perjuangan pembebasan nasional bangsa-bangsa di dunia, keberadaan 
figur kharismatis pemersatu memang sangat diperlukan. Namun ia semata-mata 
tidak menjadi penentu perjuangan pembebasan nasional. Karena perjuangan 
pembebasan nasional sesungguhnya harus bertumpu pada kekuatan rakyat tertindas 
(garis massa) yang militan dan sadar pada ideologi maupun cita-cita perjuangan 
serta terorganisir dalam organisasi perjuangan yang revolusioner.

Keempat: Tidak adanya kesadaran kolektif untuk terus belajar mengevaluasi diri 
di tengah situasi pasang surut perjuangan pembebasan nasional bangsa Papua. 
Kelemahan organisasi perjuangan secara internal dan eksternal seperti telah 
dijelaskan, mestinya menjadi bahan evaluasi demi gerak maju perjuangan yang 
lebih baik ke depan.

Berbagai referensi perjuangan kemerdekaan dari negara-negara lain di dunia 
mestinya menjadi tolak ukur dan pembelajaran bagi gerakan perjuangan pembebasan 
nasional Papua Barat hari ini. Referensi-referensi tertulis yang bersifat 
ilmiah-praksis maupun teori-teori (filsafat) kritis, juga dapat menjadi bahan 
pembelajaran lain untuk lebih meningkatkan kualitas perjuangan pembebasan 
nasional Papua.

Hingga kini, masih banyak aktor pergerakan Papua yang menunjukkan sikap-sikap 
anti teori dan lebih mengedepankan perjuangan praksis atau sebaliknya. Tidak 
mau atau sering malas membaca, apalagi mau menulis refleksi pengalaman 
dialektika perjuangan praksis melalui ruang-ruang media yang tersedia. Karakter 
ini pun secara langsung ikut melemahkan kualitas perjuangan dari sisi 
intelektualitas aktornya maupun perjuangan intelektualitasnya dalam gerakan 
pembebasan nasional Papua.



Sosialisme, Filsafat Perjuangan Kaum Tertindas 

Sejarah penindasan, penghisapan dan penjajahan di dunia oleh kaum penindas atas 
kaum tertindas berbasis pada filsafat yang berwatak (mendukung) kelas penindas. 
Dalam kondisi seperti itu, kaum penindas (disebut juga penjajah) secara 
sistematis melembagakan dan melegalkan pemikiran (filosofi) dan sistem sosial 
kemasyarakatan yang ada guna mendukung eksistensi dan dominasi mereka secara 
terus menerus atas kaum yang dikuasai.

Di sini telah terjadi kontradiksi antar kelas, dimana kelas yang berkuasa 
melawan kelas yang dikuasai. Sebab kaum yang menguasai (kelas penguasa) 
menciptakan posisi derajatnya yang lebih tinggi (superior) terhadap kaum yang 
dikuasai (inferior). Dengan demikian kaum yang dikuasai menjadi manusia yang 
lemah, tak berdaya dan tidak mampu bertindak seturut kebebasan hakikinya 
sebagai manusia yang sesungguhnya sejak dilahirkan merdeka.

Pada sistem penindasan terdapat hubungan yang timpang. Sebab telah terjadi 
hubungan ‘Simbiosis Parasitisme’, dimana kelas yang berkuasa telah menjajah, 
menghisap, mengeksploitasi, menjarah, menguras dan merampok kaum yang dikuasai 
beserta sumber daya yang dimiliki. Kaum yang menindas adalah pihak yang sangat 
diuntungkan secara ekonomi maupun politik, sementara kaum yang ditindas dan 
dikuasai adalah pihak yang sangat menderita. Faktor ekonomi-politik inilah yang 
memengaruhi tatanan sistem sosial masyarakat (terutama dalam masyarakat 
kapitalis).

Dalam sistem ekonomi-politik yang timpang, kelas penguasa, karena motif ingin 
mengakumulasi modal, juga menguasai alat-alat produksi sebagai bagian dari 
sistem produksi untuk menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan hidup. Posisi 
sentral sebagai kelas sosial yang mengendalikan sistem produksi menjadikan 
mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi sebagai basis produksi kekayaan 
materi harus mengabdikan diri dengan tunduk di bawah aturan, upah, hegemoni dan 
keinginan kaum pemilik alat-alat produksi.

Akibat dari situasi penindasan dan eksploitasi yang sistematis oleh kelas 
penguasa dan berlangsung dalam waktu yang lama, membuat mereka yang dikuasai 
menjadi terbiasa dan tidak memahami kondisi ketertindasan/penjajahan yang 
sedang dialami. Karena itu untuk memahami seluk-beluk penindasan dan 
menghancurkannya, kaum tertindas membutuhkan sistem berpikir (filosofi) yang 
ilmiah, kontekstual, progresif dan revolusioner untuk bisa melawan dan 
meremukkan sistem penindasan yang diciptakan.

Sistem berpikir tersebut menjadi antitesis (lawan) dan senjata pemusnah 
ketimpangan sosial dan eksploitasi yang terjadi akibat adanya kontradiksi kelas 
sosial dalam suatu masyarakat bangsa. Adalah dua filsuf Yahudi-Jerman: Karl 
Heinrich Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895) sangat berjasa 
karena telah menghasilkan seperangkat metode analisis ilmiah yang mutakhir pada 
abad 19 untuk memahami seluk-beluk penindasan manusia atas manusia lainnya. 
Alat analisis itu disebut Sosialisme Ilmiah, yakni teori sosial yang didasari 
oleh hukum-hukum ilmiah mengenai sejarah perkembangan masyarakat. Teori itu 
juga mencakup filsafat Materialisme yang menegaskan bahwa hukum dialektika 
sebagai perkembangan yang berlangsung terus menerus terjadi pada dunia abstrak 
dan materi. Perangkat pemikiran itu kemudian disebut filsafat Materialisme 
Dialektika Historis (MDH), yang menjadi senjata berpikir bagi kaum tertindas 
yang disebut juga proletar seperti; tani, nelayan, buruh dan kaum miskin 
lainnya dalam perjuangan melawan kaum penindas (perjuangan kelas).

Filsafat proletar, mencerminkan hukum umum mengenai perkembangan alam, 
masyarakat dan pikiran manusia. Hukum berlaku bagi masa lampau, masa kini dan 
masa depan (berdialektika). Dalam mengungkapkan kenyataan dalam masyarakat 
kapitalis, MDH menyimpulkan bahwa di dalam masyarakat kapitalis ada dua kelas 
pokok yang berlawanan kepentinganya sehingga menentukan arah perkembangan 
masyarakat, yaitu borjuasi dan proletariat.

Kaum Borjuasi-Kapitalis merupakan kelas penghisap, yang menurut Marx, akan 
mengalami keruntuhannya akibat dari kontradiksi yang diciptakannya sendiri. 
Sedangkan proletariat adalah masyarakat yang akan memikul tanggung jawab 
membangun suatu masyarakat baru, yakni masyarakat tanpa kelas dimana tidak ada 
penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya. MDH karena objektif, 
mau tidak mau harus berpihak kepada proletariat dan mengandung pandangan 
proletariat terhadap segala sesuatu.

Watak khas lainnya yang menonjol dari MDH ialah segi praktiknya yang mengandung 
metode untuk mengubah segala sesuatu. MDH adalah suatu senjata teori bagi 
proletariat untuk mengubah sistem masyarakat lama, menghapuskan penghisapan 
manusia oleh manusia dan menciptakan dunia baru, yaitu masyarakat tanpa kelas 
(masyarakat egalitarian, masyarakat sosialis-komunis).

Tegasnya, MDH dan proletariat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam 
mewujudkan masyarakat tanpa kelas itu. Seperti yang ditegaskan oleh Marx bahwa 
proletariat mendapatkan senjata teoritiknya pada MDH, sedangkan MDH mendapatkan 
senjata materiilnya pada proletariat.

Filsafat MDH bukanlah idealisme, visi dan ideologi angan-angan yang naïf 
(utopia). Filsafat itu harus hidup, nyata (kontekstual), membumi dan menyatu 
atau menjadi bagian yang tak terpisahkan dari realities objektif rakyat 
tertindas (kaum proletariat) yang hendak membebaskan diri dari kondisi 
penindasan.



Mencari Bentuk Sosialisme Papua Yang Kontekstual.     

Mencari bentuk Sosialisme Papua yang kontekstual tentu tidak terlepas dari 
upaya memahami sejarah perkembangan masyarakat Papua itu sendiri. Sejarah 
perkembangan masyarakat ini, termasuk bagaimana memahami perkembangan 
corak/mode produksinya dari waktu ke waktu yang mencerminkan kondisi sistem 
ekonomi-politik maupun hubungannya dengan sistem sosial kemasyarakatan pada 
masyarakat Papua.

Karenanya jika ingin memahami sejarah perkembangan masyarakat suatu bangsa, 
maka yang pertama perlu mengidentifikasi corak produksinya. Hal itu terkait 
dengan upaya-upaya suatu masyarakat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya 
dan hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan yang terjadi di dalamnya. Apakah 
hubungan itu bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) atau 
sebaliknya terjadi hubungan penghisapan (simbisosis parasitisme).

Dalam rangka mencari dan menemukan formasi serta perjuangan ideologi Sosialisme 
Papua yang kontekstual, ilmiah, progresif dan revolusioner, saya mengusulkan 
poin-poin berikut ini untuk didiskusikan lebih lanjut:

  1.. Bagaimana model sistem Ekonomi Politik (Ekopol) dan Corak Produksi 
Manusia Papua berdasarkan sejarah perkembangannya hingga saat ini? Jika komunal 
tradisional (sosialisme tradisonal Papua), maka harus dijelaskan dan bila 
kapitalisme, harus dijelaskan juga secara ilmiah? 
  2.. Bagaimana sejarah penindasan dengan munculnya klas-klas sosial 
tradisional yang menyebabkan terjadinya perbudakan, penghisapan dan penindasan? 
  3.. Bagaimana sejarah proses kemunculan dan perkembangan janin borjuasi 
Papua, termasuk bagaimana pengaruh liberalisasi-kapitalisme Indonesia dan 
internasional terhadap perkembangan borjuasi Papua saat ini? 
  4.. Bagaimana munculnya klas-klas yang merupakan warisan corak produksi lama, 
dan bagaimana pula calon proletar Papua (kaum miskin tertindas) muncul? 
  5.. Bagaimana pertentangan antara klas-klas tertindas dengan borjuasi lokal? 
  6.. Bagaimana hubungan (berlawanan dan menguntungkan) antara borjuasi lokal, 
nasional dan Internasional? 
  7.. Bagaimana model perjuangan Sosialisme orang Papua jika dibandingkan 
dengan model negara-negara Pasifik Selatan pada umumnya, terutama New Caledonia 
Kanaky, Bougenvile, atau Timor Leste? 
  8.. Apakah Sosialisme Papua itu berbasis budaya atau agama? Sebab ada 
Sosialisme berbasis ajaran Teologi Kristen yang disebut Sosialisme Kristen 
(yakni cara hidup para murid Yesus Kristus dan pengikut/jemaat mula-mula ), 
Sosialisme Islam, Sosialisme Hindu/Budha Sosialisme Fabian (Fabian society), 
dan lain-lain. 
  9.. Dapatkah sistem kepemimpinan tradisional Papua, seperti kepala suku (big 
man), ondoafi dan raja dipertahankan dalam masyarakat Sosialis-Komunal-Kolektif 
Papua yang anti penindasan terstruktur karena adanya klas-klas sosial 
tradisional? 
  10.. Bagaimana bentuk-bentuk sosialisme yang bersifat ke-Papuan dan 
pelaksanaanya dalam realitas kehidupan sehari-hari? 
  11.. Bagaimana format perjuangan politik bersama atau strategi taktik 
(stratak) perjuangan politik bersama dalam ranah perjuangan sosialisme Papua 
untuk Pembebasan Nasional? 
  12.. Dapatkah sosialisme yang ke-Papuan menjadi ideologi pemersatu bangsa 
Papua dengan menjauhkan perpecahan yang berakar pada primodialisme kesukuan 
yang kental, agama, sekte, faksi, dan denominasi lainnya, hingga dapat menjadi 
falsafah hidup/ideologi negara Papua Barat ke depan? Mari berdiskusi lebih 
lanjut.***


Penulis adalah wartawan dan anggota KPP Gerakan Rakyat Demokratik Papua 
(GARDA-P) pada departemen pendidikan dan kajian

Kirim email ke