Pada Sabtu, 9 September 2017 12:28, "'Tsasando' tsasa...@gmail.com 
[wahana-news]" <wahana-n...@yahoogroups.com> menulis:
 

     
https://medium.com/ingat-65/menulis-kisah-hidup-kakek-menyingkap-tirai-propaganda-f6564891f88b
    
Dhianita Kusuma Pertiw 
Menulis Kisah Hidup Kakek, Menyingkap Tirai Propaganda
 Tahun ini, tepat sepuluhtahun kematian kakek saya. Ia termasuk 12,000 tahanan 
politik Orde Baru yangdikirim ke Pulau Buru tanpa pengadilan dengan tuduhan 
menjadi bagian dari pahamdan organisasi berbasis komunisme. Seperti beberapa 
tapol yang dibuang ke Pulau Buru, kakeksaya tidak tergabung secara struktural 
di Partai Komunis Indonesia (PKI),Lekra, atau organisasi lain yang dianggap 
berafiliasi dengan PKI. Ia seorangpegawai Kotapraja. Kakek saya tidak pernah 
mendapatkan informasi yang jelas apadakwaan yang diberikan padanya. Berpuluh 
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2000 saatsaya baru masuk sekolah dasar, ia 
mulai bercerita pada saya tentang keadaanbarak, bagaimana ia berkawan dengan 
Pramoedya Ananta Toer, juga pesannya untukterus membaca. Sampai sekarang saya 
selalu teringat kisahnya, yang ia ceritakandengan raut sedih bercampur marah, 
dan sesekali terdengar kebanggaan disuaranya. Sudah saatnya untukberbagi apa 
yang telah terjadi padanya juga keluarga saya pada masyarakat luas,agar tidak 
hanya menjadi cerita sebelum tidur kakek pada cucunya. Saya inginmembagi cerita 
yang tersimpan dalam ingatan kakek dan keluarga saya. Saya juga ingin membuka 
tabir kebohongan yang memberilabel “jahanam” pada PKI, Gerwani, BTI dan 
kelompok lain yangdituduh berkhianat atas negara. Minggu-minggu itu kotaMalang 
sedang panas-panasnya. Pukul sepuluh pagi matahari sudah di atas kepaladan 
sinarnya membakar kulit. Media sosial dipenuhi keluhan, doa, bahkan 
umpatantentang cuaca yang menyelimuti kota. Namun terik matahari kala itu kalah 
dariapi semangat dalam diri saya untuk mencari sumber informasi untuk sebuah 
novel historical fiction tentanghidup kakek saya. Di akhir 2015 yang panas itu, 
saya pergi ke beberapamuseum di kota Malang seperti Museum Brawijaya dan Museum 
Tempo Doeloe untukmengumpulkan bahan karya tulis saya. Sebelum tragedi 
1965keluarga besar saya seperti keluarga besar lainnya. Namun sejak siaran 
radiodipenuhi oleh siaran kabar berita mengenai G30S, keadaan menjadi mencekam. 
Padasuatu siang di 1966, kelompok Banser menyatroni rumah kami, membawa pergi 
kakeksaya tanpa izin, pamit, atau alasan yang jelas. Ia ditahan dari penjara 
satu kepenjara lain, hingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru untuk dididik 
menjadi lebihnasionalis, agamis, dan patriotis. Begitulah propaganda yang 
digadang-gadangkanSoeharto dan antek-anteknya. Padahal, apa bukti kakek saya 
tidak nasionalis? Iaseorang pegawai Kotapraja, melayani masyarakat sebagai 
pegawai negeri. Siapa yang bilang kakek saya tidak beragama? Ia memeluksatu 
agama resmi dan tercantum jelas di kartu identitasnya. Dan apakah mereka bisa 
jelaskan seperti apa tindakanyang tidak patriotis itu? Dia bekerja untuk 
negara. Ia mengagumi sosok peloporMarhaenisme dan menerapkan paham tersebut 
dalam berinteraksi dengan sejawat dankeluarganya yang banyak bekerja sebagai 
petani. Ketika kakek ditahan, nenek saya, ibu dan kedua saudarinyatak ada yang 
tahu sampai kapan mereka harus bertahan menyambung hidup tanpakehadiran kakek. 
Surat yang kakek kirim satu-satunya cara bertukar kabar,itupun setelah isinya 
diperika oleh petugas untuk menghindari adanya usahauntuk kabur atau 
menceritakan kehidupan tapol yang serba berkesusahan di sana.Di balik surat ala 
kadarnya itu tersimpan doa yang tidak pernah putus, walaupara tapol sering 
disiksa oleh cambuk ikan pari oleh petugas. Sementara, pemerintah OrdeBaru 
menjejalkan propaganda anti komunis-sosialis pada masyarakat Indonesiayang tak 
mengetahui dengan jelas siapa yang berperan dalam Gerakan 30 Septemberyang 
menewaskan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965itu. 
Propaganda itu menuduh Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya 
mencobamenumbangkan pemerintahan yang berkuasa dengan membunuh para jenderal. 
PKI dansimpatisannya dicap sebagai sebagai pengkhianat negara dan Pancasila. 
Setelah kira-kira dua belas tahun menjadi tahananpolitik Orde Baru sejak 
pertama ditangkap lalu dijebloskan ke penjara kota dankemudian dibuang ke Pulau 
Buru, kakek saya pulang dengan mulut yang masihdibungkam oleh ancaman. Tidak 
ada kemerdekaan untuknya, bahkan setelahdipulangkan dari tempat pemanfaatan. 
Ada tanda‘ET’, singkatan dari‘Eks-Tapol’ di kartu identitasnya. Ini mencegah 
keluarga saya untukbergerak secara leluasa di negara kami sendiri. Sampai ajal 
menjemput kakek saya, tidak banyak pengalamannyasebagai tapol yang ia bagi 
secara luas dalam bentuk tulisan. Ia hanya berceritasecara lisan ditemani rokok 
tingwe dan kopi hitam. Hampir setiap malam adacerita baru darinya, menguak 
kenyataan yang tersembunyi di balik tabirpropaganda yang juga ditanam ke 
anak-anak bangsa melalui buku pelajaransejarah. Negara yang bermartabattidak 
seharusnya menyiksa, memenjarakan, membuang, menganiaya, bahkanmenghabisi nyawa 
warganya sendiri dengan tuduhan yang tidak pernah dibuktikandi majelis 
peradilan. Negara yang bermartabat tidak pula seharusnya menyebarkankebohongan 
di atas kuburan korban penganiayaan yang mati di tangan saudaranyasendiri. 
Entah berapa ribu masyarakat Indonesia yang menjadialgojo pemerintah Orde Baru. 
Setengah abad sejak pembantaian massal1965–1966, mereka tetap merasa yang 
paling nasionalis. Karena itu saya tidak peduli dengan teriknya mataharikota 
Malang. Saya berjalan mencari informasi dan narasumber untuk melengkapimateri 
novel yang berangkat dari pengalaman kakek dan keluarga saya. Dukungan teman 
terbaik yang setia menumbuhkan harapanyang sering pupus. Ada saatnya saya takut 
berbagi tentang kehidupan keluargasaya yang dicap kiri, bahkan merasa 
sendirian. Di lingkungan terdekat, tidakbanyak yang seumur saya yang mau 
menilik sejarah. Hanya untuk mencari tahu apayang terjadi pada generasi sebelum 
kita saja sudah enggan, apalagi meneruskanperjuangan. Dengan kurangnya 
pemahaman sejarah, banyak yang mudah dipengaruhipropaganda. Keadaan itu di sisi 
lain menjadi penguat semangat sayauntuk segera melahirkan buku yang saya tulis 
sebagai persembahan untuk keluargajuga negara. Pemuda seharusnya jangan mau 
dimanjakan oleh keadaan yang sekarangseakan serba aman. Keluarga saya tidak 
lagi diancam secara langsung daripihak manapun terkait dengan pengalaman kakek 
saya. Namun, tidak berarti sayasebagai keturunan saksi sejarah kejahatan Orde 
Baru bisa diam saja, larut dalamgaya hidup modern yang menjauhkan dari 
pelajaran di masa sebelumnya. Dalam novel saya, saya sengaja tidak menyampaikan 
banyakteori untuk mencari siapa yang salah dan benar. Tujuan penulisan buku 
perdanasaya itu jelas, yakni berbagi tentang apa yang terjadi di balik 
kelambupropaganda pada kakek saya. Melalui tulisan, saya bisa bercerita 
padalingkungan terdekat, yakni rekan-rekan pembaca terutama mahasiswa dan 
pelajaryang sebelumnya hanya memiliki sumber pengetahuan buatan ahli propaganda 
OrdeBaru. Sedikit demi sedikitinformasi tambahan pun saya peroleh, melalui 
kunjungan ke museum-museum,memeriksa benda-benda bersejarah yang dipajang, 
membaca sumber terkait tambahanyakni buku-buku memoar yang ditulis oleh 
eks-tapol, dan mewawancarai beberapaorang yang memiliki pengalaman yang 
berhubungan dengan hal-hal yang terjadipasca tragedi 1965 seperti anggota 
keluarga saya sendiri dan juga beberapaorang yang memiliki pengetahuan tentang 
sejarah di Malang. Walaupun tidak bisa dibilang lengkap dan memuaskan,namun 
informasi yang berhasil saya dapatkan selama minggu-minggu bercuaca panasitu 
seperti oase bagi saya. Kesulitan yang saya hadapi adalah 
kurangnyamemorialisasi penyelewengan kekuasaan rezim Orde baru paska-G30S di 
kotaMalang. Dua museum sejarah yang ada tidak menjadikan tragedi 1965 
paska-G30Ssebagai satu kejadian penting yang perlu dijadikan bahan pameran dan 
diskusipembelajaran tersendiri. Ini menyakitkan, ternyata sampai sekarang 
penderitaankeluarga saya dan keluarga puluhan ribu tapol lainnya yang harus 
berjuangmemikul beban cap keluarga kiri selama bertahun-tahun masih belum 
menjadi suatuhal yang perlu diangkat dan dibahas. Dalam proses mencari 
informasi tambahan dari pelaku atausaksi sejarah yang berkaitan dengan 
propaganda Orde Baru saya mendapati paranarasumber yang saya temui, seperti 
seorang mantan sipir penjara Lowokwaru yangbekerja di masa-masa tersebut, 
kurang terbuka untuk memberikan informasi yangsaya butuhkan. Namun untuk hal 
ini saya bisa memahami, karena tidak semua orangbisa dengan mudah membagi 
pengalaman yang cukup pahit di masa lalu dengan oranglain. Selama tiga bulan 
saya berjalan dari rumah ke rumah,museum satu ke museum lainnya, sampai 
akhirnya saya anggap karya ini selesai.Namun perjalanan saya untuk membagi 
kisah ini pada pembaca di luar sana belumusai karena berhubungan dengan 
kepenerbitan juga bukanlah hal yang mudah.Setelah menemui beberapa tantangan 
untuk menerbitkan buku saya sepertipenolakan dari redaksi penerbit dengan 
alasan isu yang diangkat terlaluberesiko dan juga tidak terlalu menguntungkan 
secara komersial, saya memutuskanuntuk menerbitkan buku ini secara independen. 
Tidak penting bagaimana buku saya terbit, apakah melaluipenerbit independen 
atau yang sudah punya nama, tujuan utama penulisan adalahmenyampaikan rahasia 
kepahitan yang selama ini disembunyikan oleh keluarga sayakarena tertekan oleh 
propaganda pemerintah. Saya ingin kisah keluarga yang sayatuangkan dalam novel 
berjudul BukuHarian Keluarga Kiri tidak hanya menjadi cerita penutup malamatau 
renungan di sudut kamar saya, namun bisa menjadi kekuatan untuk merobektirai 
kebohongan yang masih digantung hingga saat ini.      #yiv4017246859 
#yiv4017246859 -- #yiv4017246859ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-mkp #yiv4017246859hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mkp #yiv4017246859ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mkp .yiv4017246859ad 
{padding:0 0;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mkp .yiv4017246859ad p 
{margin:0;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mkp .yiv4017246859ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-sponsor 
#yiv4017246859ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-sponsor #yiv4017246859ygrp-lc #yiv4017246859hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-sponsor #yiv4017246859ygrp-lc .yiv4017246859ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv4017246859 #yiv4017246859actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv4017246859
 #yiv4017246859activity span {font-weight:700;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv4017246859 #yiv4017246859activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv4017246859 #yiv4017246859activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv4017246859 #yiv4017246859activity span 
.yiv4017246859underline {text-decoration:underline;}#yiv4017246859 
.yiv4017246859attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv4017246859 .yiv4017246859attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv4017246859 .yiv4017246859attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv4017246859 .yiv4017246859attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv4017246859 .yiv4017246859attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv4017246859 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv4017246859 .yiv4017246859bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv4017246859 
.yiv4017246859bold a {text-decoration:none;}#yiv4017246859 dd.yiv4017246859last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv4017246859 dd.yiv4017246859last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv4017246859 
dd.yiv4017246859last p span.yiv4017246859yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv4017246859 div.yiv4017246859attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv4017246859 div.yiv4017246859attach-table 
{width:400px;}#yiv4017246859 div.yiv4017246859file-title a, #yiv4017246859 
div.yiv4017246859file-title a:active, #yiv4017246859 
div.yiv4017246859file-title a:hover, #yiv4017246859 div.yiv4017246859file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv4017246859 div.yiv4017246859photo-title a, 
#yiv4017246859 div.yiv4017246859photo-title a:active, #yiv4017246859 
div.yiv4017246859photo-title a:hover, #yiv4017246859 
div.yiv4017246859photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv4017246859 
div#yiv4017246859ygrp-mlmsg #yiv4017246859ygrp-msg p a 
span.yiv4017246859yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv4017246859 
.yiv4017246859green {color:#628c2a;}#yiv4017246859 .yiv4017246859MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv4017246859 o {font-size:0;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859photos div {float:left;width:72px;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv4017246859
 #yiv4017246859reco-category {font-size:77%;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859reco-desc {font-size:77%;}#yiv4017246859 .yiv4017246859replbq 
{margin:4px;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-mlmsg select, #yiv4017246859 input, #yiv4017246859 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-mlmsg pre, #yiv4017246859 code {font:115% 
monospace;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-mlmsg #yiv4017246859logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-msg 
p#yiv4017246859attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-reco #yiv4017246859reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-sponsor 
#yiv4017246859ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-sponsor #yiv4017246859ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-sponsor #yiv4017246859ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv4017246859 #yiv4017246859ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv4017246859 
#yiv4017246859ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv4017246859 

   

Kirim email ke