-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5201607/uu-cipta-kerja-dan-erosi-politik-perwakilan?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

UU Cipta Kerja dan Erosi Politik Perwakilan

Aminuddin - detikNews

Selasa, 06 Okt 2020 12:00 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Sejumlah buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), 
Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). Pada aksinya itu 
mereka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan melakukan mogok 
kerja pada 6-8 Oktober 2020. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/pras.
Aksi buruh Cikarang tolak pengesahan RUU Cipta Kerja (Foto: Fakhri 
Hermansyah/Antara)
Jakarta -

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang seyogianya disahkan pada 8 
Oktober 2020 mendadak ngebut. RUU tersebut telah disahkan menjadi UU pada Senin 
(5/10). Dengan koalisi yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo, pengesahan UU 
tersebut memang tinggal menunggu waktu yang tepat. Bahkan, Partai Demokrat dan 
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mampu menghalangi RUU tersebut menjadi UU.

Partai Demokrat memilih walkout dari sidang. Dengan hanya PKS, pemerintah mudah 
mengesahkan UU. Kerja-kerja politik itulah yang membuat erosi politik 
perwakilan semakin terasa. Bagaimana pun, UU yang dikemas dengan mekanisme 
Omnibus Law tersebut memperoleh tantangan dari banyak kalangan, termasuk dari 
serikat buruh.

UU Cita Kerja bukan melulu soal ketenagakerjaan. Ada sejumlah persoalan yang 
disorot publik seperti produk halal, tenaga nuklir, hak paten, imigrasi, tata 
ruang, hak adat, dan sejumlah persoalan lain. Namun apa dikata, RUU tersebut 
telah menjadi UU. Rakyat tinggal menunggu realisasi UU tersebut dan dampaknya 
terhadap ketenagakerjaan.

Selain persoalan omnibus di atas, kerja-kerja politik minus perwakilan memang 
sangat jelas ke permukaan di era pemerintah Jokowi. Tercatat ada beberapa UU 
yang sangat kontroversi dan mendapat penolakan masyarakat sipil. Di antaranya 
adalah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi UU Pertambangan, 
Mineral, dan Batubara (Minerba), Revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang 
memperpanjang masa jabatan menjadi 15 tahun, dan yang paling kontroversi adalah 
hajatan pemilihan kepala daerah yang tetap dilangsungkan pada 9 Desember di 
tengah badai Covid-19.

Kesuksesan pemerintah dan DPR mengesahkan sejumlah undang-undang yang sarat 
kontroversi tentu saja bukan aji mumpung, atau bahkan kebutuhan publik. 
Melainkan kekuasaan elite yang semakin harus semakin menghilangkan nilai-nilai 
aspiratif. Jika pemerintah mengedepankan aspirasi publik, tentu saja 
partisipasi publik diwadahi terlebih dahulu, kemudian dijadikan bahan renungan. 
Namun kali ini, demokrasi yang sejatinya mendengar suara rakyat semakin 
terkikis.

Kekuasaan Absolut

Pemerintah terutama wakil rakyat memang memiliki rentang waktu kekuasaan yang 
tidak terbatas. Dalam artian, sebagai wakil rakyat, mereka tidak memiliki 
batasan periodik. Mereka bisa mencalonkan kembali menjadi wakil rakyat selagi 
mereka mau. Ini artinya, tidak ada batasan yang mengharuskan wakil rakyat 
meninggalkan jabatan DPR jika sudah pernah menjadi dalam beberapa periode 
seperti kepala daerah.

Hal inilah yang bisa menjadi dalih bahwa kepentingan anggota dewan harus 
dilindungi oleh berbagai undang-undang, termasuk mengesahkan undang-undang 
sarat kontroversial. Bagi wakil rakyat, gejolak di masyarakat tidak perlu 
digubris. Lambat laun mereka akan hilang dengan sendirinya.

Mungkin wakil rakyat bisa berdalih apabila ada gugatan dari publik terkait 
keterwakilannya, mereka memiliki agenda lain yang tidak semuanya diketahui 
publik. Namun apabila kita berkaca pada pencapaian target undang-undang atau 
kekisruhan yang terjadi dalam satu tahun ini, sebenarnya wakil rakyat tidak 
bisa mengelak karena mereka memang bertugas untuk membuat undang-undang. 
Terkait dengan politik perwakilan, ada beberapa hal yang penting untuk 
dicermati.

Pertama, seperti dibahas di atas, ketiadaan batas maksimal masa jabatan anggota 
dewan bisa menjadi pemicunya. Tiadanya jabatan ini menelurkan beragam problem 
dalam tatanan politik kita. Salah satunya adalah hasrat untuk menjadi anggota 
dewan seumur hidup. Tentunya, jika memiliki niat untuk menjadi legislator 
seumur hidup, mereka berusaha membangun dinasti kepentingan di parlemen. 
Artinya, dinasti tersebut dibangun bukan dalam kerangka sanak keluarga. Namun 
membangun dinasti dalam masalah kebijakan. Seluruh kebijakan bisa jadi didesain 
untuk kepentingan jangka panjang agar terus menopang karir politiknya.

Ini berbeda dengan jabatan presiden, gubernur, bupati, atau kepala daerah 
lainnya yang hanya dua periode. Mau tidak mau, ketika sudah dua periode tidak 
boleh mencalonkan lagi menjadi presiden atau kepala daerah. Sedangkan dalam 
kekuasaan di parlemen, melanggengkan kekuasaan dapat dilakukan. Ketika hal ini 
sudah diniatkan sejak menjadi anggota parlemen, kepentingan politik didesain 
sedemikian rupa dan jangka panjang agar tetap eksis menjadi anggota legislatif.

Inilah yang kemudian muncul calon-calon lawas setiap pemilihan legislatif. 
Minimnya wajah baru dalam setiap pemilihan legislatif terjadi karena tidak ada 
undang-undang untuk membatasi jabatan legislator. Ironisnya lagi, legislatif 
yang sudah memiliki catatan hitam belum kapok untuk menjadi anggota dewan. 
Inilah yang kemudian menjadi sumber buruk terhadap citra legislator.

Kedua, masih belum putusnya tali penyambung kekuasaan di era Orde Baru yang 
disebut oligarki dan era Reformasi. Secara empiris, kekuasaan itu memang sudah 
tumbang pasca-rezim Soeharto turun. Dalam pandangan Richard Robison dan Vedi R 
Hadiz (2004), oligarki di Indonesia tidak tumbang kendati Soeharto telah jatuh. 
Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan 
menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema 
neoliberalisme, misalnya demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Bahkan, 
tokoh-tokoh Orde Baru yang tidak memiliki kekuasaan secara langsung masih bisa 
mempengaruhi kekuasaan.

Inilah yang membuat keterwakilan terhadap publik tidak pernah terjadi. 
Sementara keterwakilan terhadap elite masih mengemuka. Olah karenanya, 
kontroversi pengesahan UU Cipta Kerja menjadi cerminan bagaimana erosi politik 
perwakilan menjadi sumbing. Politik perwakilan yang seyogianya mengedepankan 
aspirasi publik kemudian tidak bertaji di atas kepentingan elite. Untuk itulah, 
harus ada kerangka yang jelas untuk memutus segala kepentingan politik elitis.

Politik keterwakilan publik hanya menjadi utopia belaka apabila kedua problem 
di atas tidak diberantas secara berkala. Terlebih lagi, anak politik Orde Baru 
masih duduk di singgasana kekuasaan. Otomatis, keterwakilan politik hanya akan 
menjadi milik elite. Sebaliknya, keterwakilan terhadap pubik tidak pernah 
terealisasi.

Aminuddin pemerhati politik dan demokrasi, alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(mmu/mmu)
uu cipta kerja
omnibus law
omnibus law cipta kerja








Kirim email ke