REFLEKSI. : Kalau itu yang terkadi (baca : postingan dibawah), maka bisa timbul dugaan atau kecurigaan bahwa orang-orang yang sudah mati, yang disebut-sebut dalam konteks korupsi E-KPT itu, sebenarna mati secara normal atau sengaja di matikan (pembunuhan super konspiratif) untuk menghilangkan jejak para koruptor kakap. Kalau ini yang terjadi, berarti dalam kasus korupsi E-KTP itu mengandung rekayasa pembunuhan kejam yang direncanakan, untuk menghilangkan jejak si pelaku korupsi demi keselamatan dirinya dan para koruptor kakap yang lainnya atas keterlinatannya dalam kasus mega kopusi E-KTP.
Roeslan. Von: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Gesendet: Dienstag, 17. April 2018 15:23 An: Gelora45 Betreff: [GELORA45] Re: #sastra-pembebasan# Setnov Klaim Saweran Duit e-KTP Diatur Burhanuddin Napitupulu Yang disalahkan orang yang sudah mati, karena yang suadah mati tidak bisa menyangkal, jadi omongan SETNOV tidak bisa dibuktikan kebohongannya. Yang lain2 juga pasti setuju dan mengyakan omgongan SETNOV untuk mengorbankan yang sudah mati.... Orang mati supaya tolong kawan2nya yang masih hidup..... 2018-04-13 15:07 GMT+02:00 Marco 45665 <comoprim...@gmail.com>: Menyalahkan segala sesuatunya kepada Orang yang sudah Mati Itu cara yang paling Mudah untuk memperkecil Dosa dan Tanggung jawabnya sendiri .... dan cenderung terasa sebagai ALIBISME SEMATA > ( Wah Pak....Makanan itu kan sudah saya Bayar kok ...... jika bapak tak > percaya ...coba saja periksa semua sisa2 Makanan yang sudah saya makan dalam > Usus Perut saya ..... Pasti Bapak akan bisa tahu dan percaya Apa yang ada > didalam Perut saya.....) > Advokat S,Novanto Urakan - Frederich Yuandi pernah menyatakan dimuka Media > tentang Kodidsi Klientnya ( Tedakwa : S.Novanto ) , bahwa menurut Dokter > ,Klientnya S.Novanto tidak sanggup berkomunikasi .Ia sedang terbaring tanpa > sadar dan seluruh malam menderita tak bisa tidur...Tidak bisa bicara, Panas > badanynya tinggi , semalam suntuk perutnya terasa muak, sering harus ke WC > karena murus, ...dll ...agar terasa lebih dramatis lagi ...sang Pengacara > Urakan Frederich Yunadi sengaja menyiapkan Scenario yang Dramatis bagaikan > Film Horor ..... bhw Kepala S,Novanto Dibalut (Bagaikan MUMMY... atau > Frankenstein.....😁😁😇 ....) *** Lalu apakah ada BUKTI2 dan atau Apakah S.Novanto sanggup memberikan Bukti2 kongkret yang bisa dijadikan sebagai Bukti Hukum bahwa DUIT E - KTP tsb DIATUR TIDAK PERNAH DIATUR OLEH DIRINYA (S.Novant )..... melainkan oleh > Burhanuddin Natipulu- Mantan Ketua Komisi II DPR (almarhum) bersama dengan IRMAN - Mantan Direktur Jendarl KEPENDUDUKAN dan PENCACATAN SIPIL KEMENTRIAN DALAM NEGERI..... KONKLUSI : > PERCAYA SIH BOLEH SAJA..... tetapi KEBENARANNYA DAN FAKTA tentang APA YANG > KITA PERCAYAI HARUS TETAP DI CHECK UP apakah benar2 DEMIKIAN FAKTA dan KEBENARANNYA....... 2018-04-13 8:26 GMT+02:00 'Chan CT' sa...@netvigator.com [sastra-pembebasan] <sastra-pembeba...@yahoogroups.com>: Setnov Klaim Saweran Duit e-KTP Diatur Burhanuddin Napitupulu , CTR, CNN Indonesia | Jumat, 13/04/2018 11:45 WIB Setnov Klaim Saweran Duit e-KTP Diatur Burhanuddin NapitupuluSetya Novanto mengklaim tidak tahu pembahasan pemberian fee proyek e-KTP. Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa <https://www.cnnindonesia.com/tag/korupsi-e_ktp> kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) <https://www.cnnindonesia.com/tag/setya-novanto> Setya Novanto mengklaim tidak pernah mengatur penetapan anggaran proyek itu saat menjadi Ketua Fraksi Golkar pada 2009 silam. Menurut dia, kesepakatan soal itu sudah dibuat oleh mantan Ketua Komisi II DPR, (Alm.) Burhanudin Napitupulu dengan eks Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman. Dalam pleidoi dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (13/4), Setya mengklaim kronologi disampaikan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bisa memperlihatkan kalau dia turut campur dalam upaya penentuan anggaran proyek. Sebab menurut dia Komisi II DPR hanya menyetujui anggaran berasal dari APBN yang sudah ditetapkan pemerintah. Pada awal Februari 2010, Setya mengaku Irman, Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan (Alm.) Burhanudin Napitupulu membuat kesepakatan lebih dulu soal pembagian fee kepada anggota DPR buat memperlancar proyek penerapan KTP berbasis NIK. Andi Agustinus lantas ditunjuk buat mengatur pembagian jatah itu. Fehler! Es wurde kein Dateiname angegeben. Lihat juga: <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180413101343-12-290505/pleidoi-e-ktp-setnov-kenang-masa-susah-dan-motivasi-jfk/> Pleidoi e-KTP, Setnov Kenang Masa Susah dan Motivasi JFK "Kesepakatan Andi Agustinus dengan Burhanudin Napitupulu adalah di luar tanggung jawab saya. Kesepakatan itu dilakukan sebelum Agustinus memperkenalkan saya dengan Irman di Hotel Gran Melia, Kuningan," ujar Setya. Dengan demikian Setya berdalih kalau dia sama sekali tidak pernah diajak membahas soal pembagian komisi proyek e-KTP. Lihat juga: <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180412144003-12-290339/sebelum-kecelakaan-setnov-disebut-dikawal-politikus-golkar/> Sebelum Kecelakaan, Setnov Disebut Dikawal Politikus Golkar "Kesepakatan antara Irman, Andi Agustinus dan (Alm.) Burhanudin Napitupulu, menurut saya fakta ini tak pernah terungkap di persidangan," ujar Setya. Burhanudin meninggal 21 Maret 2010. Burhanudin meninggal akibat serangan jantung saat bermain golf di Senayan, Jakarta. Meski sudah meninggal, nama Burhanuddin muncul dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Dalam dakwaan disebutkan bahwa pada awal bulan Februari 2010 setelah mengikuti rapat pembahasan anggaran Kementerian Dalam Negeri, terdakwa I (Irman) dimintai sejumlah uang oleh Burhanuddin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR RI, agar usulan Kementerian Dalam Negeri tentang anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK (KTP elektronik) dapat segera disetujui oleh Komisi II DPR RI. Atas permintaan tersebut, Irman menyatakan tidak dapat menyanggupi permintaan Burhanuddin. Oleh karena itu, Burhanuddin dan Irman sepakat untuk melakukan pertemuan kembali guna membahas pemberian sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR RI. (ayp)