RELEKSI : Nampaknya kemenagnan kelompok Islam Radikal tidak dapat dielakkan 
lagi. Pendapat seperti itu tidak beanar!!!

Fenomena keberhasilan sekelompok organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam 
menggagalkan Beribadah kerohanian kristen di Stadion Kridosono, hanya 
dimungkinkan oleh kareana adanya intervensi negara,begitu juga pembantaian 
massal diera kekuasaan rezim Orde baru setengah abad yang telah lalu

Roeslan.

 

 

Von: nasional-l...@yahoogroups.com [mailto:nasional-l...@yahoogroups.com] 
Gesendet: Sonntag, 22. Oktober 2017 10:37
An: GELORA_In
Betreff: [nasional-list] Fw: [GELORA45] Kehadiran Negara Melindungi Kebebasan 
Beribadah Dipertanyakan

 

  

 

 

From: jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 

Sent: Sunday, October 22, 2017 3:21 PM

 

  

 

 
<http://id.beritasatu.com/home/kehadiran-negara-melindungi-kebebasan-beribadah-dipertanyakan/166881>
 Kehadiran Negara Melindungi Kebebasan Beribadah Dipertanyakan

 

Minggu, 22 Oktober 2017 | 8:13

 Pemerhati Bidang Sosial Masyarakat dari Wiratama Institute, Thessa Samosir 
memberikan analisanya dalam diskusi "Evaluasi 3 Tahun Kinerja Pemerintahan 
Jokowi-JK tentang Kebebasan Menjalankan Ibadah bagi masyarakat Indonesia, di 
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (21/10/2017). 
<http://id.beritasatu.com/media/images/original/20171022080501382.jpg> 
Pemerhati Bidang Sosial Masyarakat dari Wiratama Institute, Thessa Samosir 
memberikan analisanya dalam diskusi "Evaluasi 3 Tahun Kinerja Pemerintahan 
Jokowi-JK tentang Kebebasan Menjalankan Ibadah bagi masyarakat Indonesia, di 
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (21/10/2017).

 

YOGYAKARTA  – Sikap sekelompok organisasi kemasyarakatan (ormas) yang akhirnya 
membatalkan kegiatan kerohanian kristen di Stadion Kridosono Yogyakarta, 
dinilai sebagai bentuk arogansi pihak tertentu terhadap kebebasan menjalankan 
ibadah bagi pihak yang dianggap minoritas. 

Hal itu disampaikan oleh Pemerhati Bidang Sosial Masyarakat dari Wiratama 
Institute, Thessa Samosir pada acara diskusi Evaluasi 3 Tahun Kinerja 
Pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang Kebebasan 
Menjalankan Ibadah bagi masyarakat Indonesia, di Kampus Universitas Gadjah Mada 
(UGM), Sabtu (21/10/2017).

"Sikap arogansi ormas yang meminta aparat kepolisian untuk tidak mengizinkan 
kegiatan kerohanian kristen di Stadion Kridosono, menjadi bukti bahwa negara 
belum seutuhnya hadir bagi kepentingan masyarakatnya," ujar dia.

Thesa dalam keterangannya menuturkan, manusia itu sesungguhnya ciptaan Tuhan 
yang sangat beruntung, diberi anugerah berupa fisik yang sempurna serta akal 
dan pikiran. Namun, masih ada saja manusia yang tidak menggunakan secara baik 
dan benar akalnya untuk berpikir, berpendapat, dan bertindak. 

Akibatnya, upaya menjaga demokrasi dan multikulturalisme yang selama ini dijaga 
baik oleh setiap lapisan masyarakat bersama dengan pemerintah, tercoreng dengan 
ulah segelintir ormas. Apalagi alasan yang disampaikan sebagai dasar penolakan 
kegiatan kerohanian tersebut, sangat tidak beralasan.

“Seharusnya kita menelusuri terlebih dahulu seperti apa fakta sebuah peristiwa, 
kemudian kita berfikir, berikan pendapat, dan jika perlu bertindak ya 
bertindaklah dengan bijak. Sebagai salah satu contoh akibat dari kegegabahan 
berpikir dan bertindak adalah batalnya Kebaktian Nasional Reformasi 500 tahun 
oleh Pdt. Dr. Stephen Tong yang seharusnya diadakan di Kridosono pada tanggal 
20 Oktober 2017 kemarin,” imbuhnya.

Argumentasi Irasional

Menurut Thessa, alasan penolakan kegiatan tersebut lebih merupakan alasan 
irasional yang dicari-cari dan tanpa dasar. Yaitu soal demi keamanan dan 
ketertiban kota, karena diadakan di tempat terbuka. Berikutnya adalah kegiatan 
tersebut dianggap dapat menyebabkan terjadinya pemurtadan massal. 

“Kebaktian Nasional yang sedianya diadakan Pdt. Dr. Stephen Tong ini sama 
sekali tidak bertujuan memurtadkan masyarakat Yogyakarta. Kebaktian ini murni 
memperingati 500 tahun reformasi gereja, mengenang sejarah dan perkembangannya 
di dunia, termasuk di Indonesia. Jadi alasan yang disampaikan merupakan alasan 
irasional," terang Thessa lagi.

Nihilitas Negara

Berdasarkan fakta di atas, dia mempertanyakan kehadiran negara. Apalagi, surat 
ormas tersebut ditujukan kepada kepolisian daerah (Polda) Daerah Istimewa 
Yogyakarta yang meminta agar tidak diberikan izin pelaksanaan kegiatan ibadah 
tersebut.

"Polri merupakan cermin kehadiran negara dalam memberikan keamanan dan 
kenyamanan bagi masyarakat Indonesia, kini justru jadi alat ormas untuk membuat 
kegaduhan. Jadi kami nilai negara belum hadir bagi setiap masyarakatnya, 
terutama dalam menjalankan kegiatan ibadah masing-masing. Jangan sampai terjadi 
nihilitas negara dalam hal senada di kemudian hari," tandas Thessa.

Pembelajaran Bersama

Secara terpisah, Pengamat Kebijakan Publik bidang Sosial Masyarakat dari 
Universitas Indonesia, Sri Handiman Supyansuri mengatakan, tindakan ormas 
tersebut merupakan bentuk perilaku premanisme yang terjadi di era keterbukaan 
informasi saat ini. Artinya, banyak orang memahami dengan jelas apa sebenarnya 
yang terjadi dalam proses perijinan hingga menjelang pelaksanaan ibadah 
tersebut. 

"Bahkan, jikalau mau ditelisik lebih dalam lagi, aparat keamanan pun paham 
betul apa kepentingan dan siapa dalang di balik penolakan ormas itu. 
Pertanyaannya, siapa yang lebih mendominasi untuk didukung," papar dia.

Meski demikian, Radja juga mengingatkan agar panitia pelaksana khususnya 
panitia lokal dapat belajar dari kejadian tersebut. Sehingga kedepannya, 
peristiwa serupa tidak lagi terjadi.

"Panitia harus belajar humble dari kondisi ini. Meski semua proses perijinan 
telah dijalankan, namun realitanya tetap terjadi penolakan. Itu artinya, teori 
tidak selalu sama dengan praktik di lapangan. Jadi perlu banyak belajar untuk 
mendengar dan bertenggang rasa dengan masyarakat sekitarnya," ungkap dia.

Terkait kehadiran negara, ia mengatakan saat ini negara sudah berupaya hadir 
secara optimal di tengah masyarakat. Namun, upaya menjaga keamanan dan 
kenyamanan terutama di sekitar tempat beribadah, menjadi tanggungjawab 
masing-masing gereja dan umatnya. 

"Realita di lapangan mencatat bahwa banyak gereja sebenarnya sedang membangun 
menara gadingnya sendiri. Akibatnya mereka sulit memahami kondisi riil yang 
terjadi di masyarakat sekitarnya. Jadi peristiwa ini sebaiknya menjadi 
pembelajaran bagi semua pihak," tambah dia. (gor)

 



Kirim email ke