----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: marthaja...@yahoo.com [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: "GELORA45@yahoogroups.com" 
<GELORA45@yahoogroups.com>Terkirim: Selasa, 6 Februari 2018 15.57.37 
GMT+1Judul: [GELORA45] Aliansi Jurnalis Independen Kecam "Pengusiran" Jurnalis 
BBC dari Papua
     

untung ada yang waras. Kalo semua ikutan menjilat malu2in saja.mjAliansi 
Jurnalis Independen Kecam "Pengusiran" Jurnalis BBC dari Papua
ROBERTUS BELARMINUS
Kompas.com - 06/02/2018, 20:53 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) mengecam kasus 
pengusiran tiga kontributor dan jurnalis BBCIndonesia, Dwiki, Affan dan 
Rebecca, yang meliput kasus campak dan gizi buruk di Papua. 
Pengusiran tiga jurnalis tersebut dinilai bentuk ketakutan pemerintah terhadap 
media asing yang meliput soal kondisi Papua.

"Kami mengecam pengusiran jurnalis BBC ini. Peristiwa ini juga mengesankan ada 
ketakutan pemerintah terhadap peliputan media asing soal kondisi Papua," kata 
Ketua Umum AJI Abdul Manan, lewat keterangan tertulis, Selasa (6/2/2018).

Menurut informasi yang dihimpun Bidang Advokasi AJI Indonesia, lanjut Abdul, 
awalnya tiga jurnalis BBC yang sedang liputan di Asmat itu diperiksa polisi di 
Agats.

Dari pemeriksaan terhadap ketiganya diketahui bahwa mereka diperiksa karena 
salah satunya membuat cuitan di akun Twitternya, dalam teks dan foto, soal 
bantuan untuk anak yang mengalami gizi buruk di Asmat berupa mie instan, 
minuman ringan dan biskuit.

Abdul mengatakan, informasi resmi dari Kodam Cenderawasih dan Imigrasi 
menyatakan, cuitan itulah yang menjadi alasan polisi dan imigrasi memeriksa 
jurnalis BBC itu.

(Baca juga: Penjelasan Imigrasi Soal Jurnalis BBC yang Dilarang Meliput di 
Papua)

 

Usai diperiksa polisi, Jumat (2/2/2018), Dwiki terbang ke Jakarta dari Agats. 
Sedangkan Affan dan Rebecca diperiksa di Imigrasi Mimika, hingga Sabtu 
(3/2/2018).

Usai pemeriksaan itu Rebecca dan Affan tak bisa melanjutkan liputannya. 
Keduanya disebut mendapat pengawalan aparat keamanan menuju Bandara Timika, 
untuk penerbangannya ke Jakarta, Sabtu pagi.

Berdasarkan informasi yang didapat AJI, tak ada bukti adanya pelanggaran 
administratif yang dilakukan oleh tiga jurnalis BBC ini.

Ia menyesalkan tindakan aparat yang  menjadikan cuitan Twitter Rebecca sebagai 
dasar untuk menghalangi aktivitas peliputan mereka di Papua. 

 

 

Visa jurnalis

Meskipun tidak ditemukan ada pelanggaran administratif yang dilakukan, mereka 
tak bisa melanjutkan liputannya karena aparat keamanan mengawalnya menuju 
bandara untuk naik pesawat ke Jakarta.

Pelarangan peliputan terhadap jurnalis asing yang sebelumnya terjadi sering 
kali menggunakan alasan administratif, yaitu tidak memiliki visa jurnalistik.

"Sementara Rebecca adalah pemegang visa jurnalis, mempunyai kartu izin 
peliputan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri dan memiliki izin tinggal 
sementara (Kitas) di Indonesia," ujar Abdul.

Kasus terbaru ini, menurut Manan, tidak sejalan dengan janji Presiden Joko 
Widodo tiga tahun lalu.

(Baca juga: Imigrasi Tahan Paspor Jurnalis Asing karena Tweet Negatif soal 
Bencana Asmat)

 

Saat menghadiri Panen Raya di Kampung Wameko, Hurik, Merauke, 2015, sebut 
Manan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan bahwa Papua terbuka bagi 
jurnalis asing untuk melakukan peliputan.

Penegasan soal tidak adanya pelarangan bagi jurnalis asing meliput juga 
disampaikan pemerintah saat Indonesia menjadi tuan rumah peringatan World Press 
Fredom Day, 3 Mei 2017.

"Kasus terbaru di Papua ini merupakan salah satu indikasi bahwa pemerintah tak 
serius dengan janjinya untuk lebih membuka akses jurnalis ke Papua," ujar Manan.

Data AJI Indonesia menunjukkan sepanjang 2017 setidaknya ada delapan jurnalis 
asing yang dideportasi ketika melakukan peliputan di Papua.

Alasan yang dipakai sebagai dasar pengusiran adalah masalah pelanggaran 
administrasi, yaitu tak memiliki visa jurnalistik saat melakukan liputan di 
provinsi di ujung timur Indonesia ini.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Hesthi Murthi menambahkan, kasus ini juga 
menunjukkan bahwa aparat negara tidak memahami fungsi pers sebagai alat kontrol 
sosial seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Kritik yang disampaikan media berdasarkan fakta di lapangan, seharusnya 
disikapi dengan bijak sebagai masukan untuk memperbaiki penanganan campak dan 
busung lapar di Asmat dan Papua, bukan malah dijadikan dalih untuk membatasi 
akses jurnalis," ujar Hesthi.

 

Send


    

Kirim email ke