From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Friday, March 2, 2018 3:04 AM
  



https://news.detik.com/kolom/d-3892727/implikasi-kegagalan-bangunan?

_ga=2.179353124.1813179697.1519930331-1025231915.1519930331


Kamis 01 Maret 2018, 14:30 WIB
Kolom
Implikasi Kegagalan Bangunan
Suhartono - detikNews
Suhartono 

 Tiang girder Tol Becakayu ambruk (Foto: Tsarina Maharani) 
Jakarta - Di saat pemerintah sedang berusaha membangun daya saing nasional 
melalui pembangunan infrastruktur dari Sabang sampai Marauke; di saat kita 
sedang mempersiapkan perhelatan olahraga Asian Games yang sarat dengan 
pembangunan infrastruktur, kita dikejutkan dengan serangkaian liputan 
pemberitaan media massa tentang runtuhnya peralatan pekerjaan konstruksi, 
runtuhnya konstruksi trek kereta ringan, dan runtuhnya konstruksi double double 
track.. Terakhir, runtuhnya dinding penahan tanah di sekitar jalur kereta 
bandara di kompleks Bandara Soekarno-Hatta, dan runtuhnya konstruksi Tol 
Becakayu, serta sejumlah peristiwa lain di pelosok Tanah Air. 

Tentunya, kita semua prihatin karena semua peristiwa tersebut telah menyebabkan 
jatuhnya korban jiwa, luka, dan kerugian material lainnya. Dan, yang menjadi 
perhatian nasional peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di dekat episentrum 
pemerintahan, dan beberapa infrastruktur baru saja diresmikan penggunaannya 
oleh Presiden. Sehingga pasar mulai merespons melalui turunnya harga saham 
sejumlah BUMN konstruksi. 

Kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar, siapa pihak yang bertanggung 
jawab, seberapa besar tanggung jawab tersebut, dan bagaimana mekanisme 
pengawasan, penegakan hukum, serta pencegahannya. Semua pertanyaan tersebut 
sudah diantisipasi oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa 
Konstruksi. Undang-undang tersebut dirumuskan untuk mengatasi adanya kelemahan 
tata kelola dan pengawasan terhadap perkembangan konstruksi nasional yang tidak 
bisa diantisipasi oleh UU Nomor 18 Tahun 1999. 

Lantas, bagaimana seharusnya pemerintah merespons peristiwa tersebut menurut UU 
No.2/2017, dan apakah rangkaian peristiwa yang baru saja terjadi bisa dicegah 
dengan kewenangan, prosedur dan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan 
perundang-undangan yang ada?

Tanggung Jawab Siapa

Baik UU No.18/1999 maupun UU No.2/2017 keduanya mengatur apa yang menjadi 
definisi kegagalan bangunan. Mengapa peristiwa kegagalan bangunan itu penting? 
Karena kegagalan bangunan merupakan peristiwa hukum yang memiliki implikasi 
yang luas, seperti korban jiwa atau kerugian materiil. Bahkan lebih luas lagi 
dapat berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap nilai dan kualitas produk 
jasa konstruksi itu sendiri baik berupa bangunan gedung seperti rumah dan 
perkantoran atau bangunan sipil seperti jalan dan jembatan. 

Oleh karenanya, sejak penyelenggaraan konstruksi diatur pertama kali dalam UU 
No.18/1999, peristiwa tentang kegagalan bangunan menjadi peristiwa hukum yang 
selalu diatur dan didefinisikan kembali mengikuti perkembangan. Dalam hal ini, 
UU No.2/2017 hanya melakukan penyempurnaan agar lebih operasional dengan 
mendefinisikan kembali kegagalan bangunan sebagai suatu keadaan keruntuhan 
dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa 
konstruksi. 

Ada dua subjek hukum yang bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam 
peristiwa kegagalan bangunan. Pertama, penyedia jasa yaitu pemberi layanan jasa 
konstruksi. Pelakunya bisa berbentuk badan maupun perorangan. Mereka yang 
selama ini memberikan layanan konsultasi, melakukan pekerjaan konstruksi atau 
kedua layanan sekaligus. Gambaran umumnya mereka yang sering disebut sebagai 
kontraktor pekerjaan konstruksi. Pihak kedua adalah pengguna jasa, yaitu mereka 
yang menjadi pemilik atau pemberi pekerjaan atau yang menawarkan pekerjaan 
kepada kontraktor tersebut. 

Peristiwa hukum berupa kegagalan bangunan bisa disebabkan oleh kedua subjek 
yang mengikatkan diri satu sama lain sehingga menghasilkan pekerjaan konstruksi 
dan bangunan. Kenapa keduanya atau salah satu di antaranya bisa menjadi pihak 
yang bertanggung jawab? Pertama, UU No.2/2017 menggunakan frasa dan/atau ketika 
menyebut keduanya terkait kegagalan bangunan. Kedua, sering secara awam kita 
akan menunjuk penyedia yang harus bertanggung jawab, namun secara filosofis 
proses penyelenggaraan dan kenyataannya, pengguna bisa juga menjadi penyebab 
atau bertanggung jawab. 

Hal ini bisa terjadi karena pengguna sudah terlibat atau berperan sejak 
menentukan spesifikasi bahan bangunan, kualitas bangunan maupun cara 
mengerjakan dan menggunakan bangunannya. Sedangkan penyedia jelas merupakan 
subjek yang melakukan seluruh proses pekerjaan yang diminta oleh pengguna 
sehingga dimungkinkan hasil pekerjaannya setelah diserahterimakan ke pengguna 
jasa mengalami kegagalan bangunan. 

Kedua pihak pengguna dan penyedia dalam mengikatkan kontrak pekerjaan 
konstruksi harus memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan 
keberlanjutan. Untuk mencegah terjadinya kegagalan bangunan keduanya 
dipersyaratkan harus memenuhi standar bahan, mutu peralatan, keselamatan dan 
kesehatan kerja, prosedur pelaksanaan pekerjaan, standar operasi dan 
pemeliharaan, pengelolaan lingkungan sosial dan hidup. 

Dalam setiap tahapan proses pekerjaan pengguna dan/atau penyedia wajib 
memberikan pengesahan atau persetujuan terkait hasil kajian, perencanaan, 
perancangan, rencana teknis proses, pelaksanaan, penggunaan material dan hasil 
layanan. Sehingga jelas apabila terjadi peristiwa hukum kegagalan bangunan 
dapat dipastikan melibatkan kedua pihak. Azas kesetaraan yang dijadikan 
landasan pembentukan UU No.2/2017 memungkinkan pihak yang bertanggung jawab 
adalah salah satu atau kedua-duanya.

Kedua pihak menurut Pasal 96 UU No.2/2017 dapat dijatuhi sanksi tertulis, 
denda, penghentian kegiatan layanan, dimasukkan ke daftar hitam, pembekuan izin 
dan/atau pencabutan. Persoalannya, peristiwa runtuhnya penahan tanah di 
lingkungan Bandara Soekarno-Hatta melibatkan pengguna dan penyedia jasa dari 
lingkungan Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini Angkasa Pura 2 dan PT KAI 
sebagai pengguna, dan Waskita Karya sebagai penyedia jasa. Hal yang sama juga 
terjadi dalam proses penyelenggaraan konstruksi LRT Rawamangun dan double 
double track Jatinegara, atau Tol Becak Kayu yang melibatkan Waskita Karya.

Artinya, di tengah agenda percepatan pembangunan infrastruktur baik dalam 
kerangka meningkatkan daya saing nasional atau dalam menghadapi peristiwa 
olahraga internasional, persoalan kegagalan bangunan harus dituntaskan terkait 
siapa yang bertanggung jawab. Walaupun dari mulai penyedia dan pengguna 
merupakan badan hukum milik pemerintah, penegakan hukum sesuai dengan aturan 
dalam UU harus ditegakkan. Hal ini menyangkut kepercayaan publik terkait dengan 
keselamatan, keamanan dan kehandalan dari infrastruktur yang sedang dibangun. 

Belum lagi, pelaku jasa konstruksi kecil dan menengah yang cemburu atau 
diperlakukan tidak adil karena tidak dapat dapat berpartisipasi dalam 
pembangunan karena karena kalah dalam proses seleksi dengan BUMN. Penegakan 
yang adil dan transparan juga untuk menunjukkan bahwa tidak ada toleransi atas 
kegagalan atau kecelakaan sekecil apapun terhadap pihak-pihak yang bertanggung 
jawab walaupun dekat berada dalam lingkungan pemerintahan. Sekaligus sebagai 
evaluasi terhadap kualitas proses kerja maupun hasil konstruksi yang terbangun.

Bagaimanapun proses pengikatan kontrak atau pemilihan penyedia jasa yang 
menggunakan APBN menurut Pasal 41 UU No.2/2017 harus dengan tender, pengadaan 
secara elektronik, penunjukan langsung dan pengadaan langsung sesuai kebutuhan. 
Semua mekanisme telah diatur dalam peraturan perundangan, sehingga setiap 
detail bahan dan pekerjaan dapat ditelusuri secara administratif untuk 
membuktikan siapa yang bertanggung jawab. Hal ini memudahkan untuk mengevaluasi 
peristiwa kegagalan bangunan. 

Mekanisme Penegakan 

Walaupun UU No.2/2017 hanya mengatur sanksi non pidana namun, penentuan siapa 
yang bertanggung jawab bisa berlanjut pada pengenaan pasal pidana ketika 
menyebabkan korban jiwa atau perdata ketiga menimbulkan kerugian material. 
Penegakan hukum pidana dan perdata melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan. 
Namun, menurut Pasal 60 UU No.2/2017 secara bersamaan atau sebelum unsur 
kepolisian masuk mengusut peristiwa ini, penting dan perlu dilakukan terlebih 
dahulu penetapan penilai ahli oleh Menteri. 

Penilai ahli bertugas mengusut peristiwa yang terjadi, untuk menetapkan apakah 
masuk kategori kegagalan bangunan atau tidak, dan menetapkan siapa yang 
bertanggung jawab. Penilai ahli yang terlibat harus memiliki sertifikat 
kompetensi dan keahlian, berpengalaman, serta terdaftar sebagai penilai ahli di 
pemerintah. 

Paling lama dalam 30 hari, Menteri sudah menetapkan penilai ahli sejak menerima 
laporan peristiwa kegagalan bangunan. Penilai ahli paling lama dalam 90 hari 
sudah harus melakukan dan melaporkan pekerjaannya. Dalam proses penilaian, 
penilai ahli harus bersikap independen dan objektif dalam menetapkan pihak yang 
bertanggung jawab. Hasil penetapan oleh penilai ahli akan menjadi salah satu 
petunjuk atau barang bukti ketika peristiwa tersebut masuk ke ranah pidana atau 
perdata.

Rangkaian peristiwa kecelakaan kerja dalam penyelenggaraan konstruksi dan 
kegagalan bangunan akhir-akhir ini sudah selayaknya diselidiki tuntas dengan 
mekanisme hukum yang sudah diatur. Hal tersebut untuk membangun kepercayaan 
publik bahwa proses pembangunan infrastruktur yang saat ini berjalan bukan 
hanya memenuhi aspek kecepatan dan ketepatan waktu, namun juga memenuhi aspek 
keselamatan dan keberlanjutan bangunan. 

Kita tidak ingin, sudah ratusan triliun anggaran negara dibelanjakan untuk 
kegiatan pembangunan sektor konstruksi, namun nilai manfaat dan 
keberlanjutannya tidak sebanding ketika prosesnya sering terjadi kecelakaan 
atau kegagalan bangunan. Artinya jangan sampai rangkaian peristiwa akhir-akhir 
ini memberikan kesimpulan atau persepsi bahwa pembangunan dilakukan tidak 
sesuai dengan standar atau prosedur yang sudah diatur. 

Pemberitaan media bisa dijadikan dasar pemerintah untuk segera menetapkan 
penilai ahli tanpa menunggu laporan, agar bisa segera memberikan kepastian 
siapa yang bertanggung jawab dan yang harus menanggung akibat sanksi dari 
tindakannya. Jangan sampai publik menarik kesimpulan, spekulasi, atau semakin 
khawatir karena lambat dan lamanya informasi atau keterangan resmi yang sudah 
didahului dengan proses hasil penyelidikan segera disampaikan oleh pejabat yang 
berwenang. Atau, publik mulai menyangsikan keamanan dan keselamatan dari 
sejumlah pekerjaan konstruksi infrastruktur yang saat ini sedang berjalan. 

Penegakan hukum atas peristiwa kegagalan bangunan akhir-akhir ini dapat menjadi 
pintu masuk mewujudkan tujuan UU No.2/2017 untuk memperbaiki tata kelola 
penyelenggaraan konstruksi infrastruktur yang aman, berkualitas, dan akuntabel. 

Suhartono mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Administrasi UI, peneliti Madya di Badan 
Keahlian DPR, mantan anggota tim ahli DPR dalam perancangan UU 2/2017 

(mmu/mmu)










Kirim email ke