----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: kh djie dji...@gmail.com [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: Gelora45 <GELORA45@yahoogroups.com>Terkirim: 
Minggu, 18 Februari 2018 15.09.49 GMT+1Judul: Re: [GELORA45] Fw: *Sukarno & 
Para Pekerja Seks di Masa Pergerakan Indonesia*
     

Bung Chan,Dulu di Solo, ada Ong Siang Tjoen, yang kumpuli uang dari orang2 kaya 
di Solo.Buat sewa rumah dan bayar beberapa pelacur yang tinggal di rumah 
itu.Dia pergi ke kepala kempetai dengan bawa 2 krat whisky, lalu beritahu 
kepala kempetai kalau serdadu Jepang boleh gratis ke rumah pelacuran itu, dan 
supayadiatur oleh kempetai secara bergilir. Dia minta pada kepala kempetai 
jaminankalau wanita biasa di Solo tidak diganggu. Kepala Kempetainya setuju, 
karenaKempetai sudah terlalu direpotkan tangkapi tentara jepang yang mengganggu 
penduduk.Kepala kempetainya tahu bahayanya, kalau rakyat sampai benci 
jepang.Cara ini kemudian ditiru oleh Drs. yap Tjwan Bing di Bandung. Oom Tjwan 
bing, sepertijuga Oei Tjoe Tat adalah orang Solo. Oom Tjwan Bing saya kenal. 
Adiknya menikah dengan tante saya.Di Jawa Barat banyak anak2 perempuan jadi 
korban. Jepang minta pada lurah kirim anak2 perempuan untuk masak dan cuci 
pakaian. Tidak tahunya dimasukkan ke dalamrumah, dipaksa disuruh jadi wanita 
penghibur, melayani kebutuhan sex serdadu jepang. Lama sekali, baru terungkap 
oleh wanita penginterview orang 
Belanda:https://www.youtube.com/watch?v=Hx4vRRH7rhc
Salam,KH
2018-02-18 13:38 GMT+01:00 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com>:

     

 *Admin: Berita lama, menarik utk dibaca...* *Sukarno & Para Pekerja Seks di 
Masa Pergerakan Indonesia*https://tirto..id/sukarno-amp- 
para-pekerja-seks-di-masa- pergerakan-indonesia-csQ7? gclid= 
EAIaIQobChMIzq2o19Gu2QIVlBu8Ch 29zgtNEAEYASAAEgJ_Z_D_BwEReporter: Petrik 
Matanasi18 Juli 2017  Pelacur tidaklah buruk di mata Sukarno. Mereka justru 
punya potensi besar sebagai pendukung pergerakan nasional juga.  tirto.id - Tak 
ada tempat aman bagi kaum pergerakan nasional. Polisi rahasia bernama Politieke 
Inlichtingen Dienst (PID) ada di mana-mana. Menurut Takashi Shiraishi dalam 
Hantu Digoel(2001), kantor lembaga intel itu sudah ada di Betawi, Surabaya, dan 
Semarang. Agen-agen PID pun sudah tersebar di seluruh Hindia Belanda.  
”Agen-agen yang tersebar tersebut biasanya dikonsentrasikan pada 
wilayah-wilayah yang memiliki kegiatan politik radikal, seperti di Jawa dan 
Sumatera,” tulis Allan Akbar dalam skripsinya yang dibukukan, Memata-matai Kaum 
Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 (2013). Hampir 
semua tokoh pergerakan menjadi intaian PID. Termasuk Sukarno ketika dia tinggal 
di kota Bandung.  “Aku menjadi sasaran utama bagi (mata-mata PID) Belanda. 
Mereka mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap 
gerak-gerikku. Sangat tipis harapanku agar bisa luput dari intipan ini. Kalau 
para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mencari tempat rahasia untuk 
berbicara,” aku Sukarno dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung 
Karno Penyambung Lidah Rakyat (1965).  Sukarno mengaku dia sering berbicara di 
belakang sebuah mobil sambil menundukkan kepalanya. Itu bahkan bukan 
satu-satunya cara. “Aku memikirkan siasat gila-gilaan untuk membikin bingung 
polisi,” kata Sukarno. “Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan ialah 
rumah pelacuran. Aduh, ini luar-biasa bagusnya.”  Rapat di rumah pelacuran 
biasa dilakukan sekitar pukul 08.00 atau pukul 09.00 malam. Sukarno dan 
kawan-kawan tidak masuk berombongan sekaligus, sebab itu akan mencurigakan. 
Mereka masuk satu per satu. Jika pun dengan yang lain, hanya dalam rombongan 
kecil. “Setelah memperoleh kebulatan kata kami bubar; seorang melalui pintu 
depan, dua orang lagi melalui pintu samping, aku mengambil jalan belakang dan 
seterusnya.”  Hari-hari setelah pergi ke rumah pelacuran, ada panggilan dari 
Komisaris Besar Polisi, Albrechts. Dia menanyai Sukarno sebagai orang paling 
tahu karena mendapat info dari mata-matanya. “Sekarang dengarlah, tuan Sukarno, 
kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada disebuah rumah pelatjuran semalam. 
Apakah tuan mengingkarinya?”  “Tidak, tuan” jawab Sukarno kepada Komisaris. 
“Saya tidak dapat berdusta kepada tuan. Tuan mengetahui saya, saya kira."  
Perwira polisi itu bertanya lagi lebih dalam dengan galak: “Untuk apa? Kenapa 
tuan pergi kesana?"  “Apa maksud tuan? Bukankah saya seorang lelaki? Bukankah 
umur saya lebih dari 16 tahun?” Sukarno bertanya balik, tapi si perwira terus 
ngotot mendesak ingin tahun. Sukarno pun berusaha pasang wajah mesum agar 
teryakinkan dia adalah hidung belang yang datang bercinta dan bukan rapat. 
“Yaaahhh, dugaan tuan untuk apa saya ke sana? Untuk bercintaan dengan seorang 
perempuan, itulah alasannya," kata Sukarno.  Dalam autobiografinya, Sukarno 
mengakui bahwa "pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia.” Setidaknya 
mereka menurutnya lebih hebat dibanding intel melayu yang suka bawa handy talky 
dan berjaket hitam. Kepada kolega-koleganya di Partai Nasional Indonesia (PNI), 
Sukarno pernah mengajarkan, “Kalau menghendaki mata-mata yang jempolan, berilah 
aku seorang pelacur yang baik.” Daya tarik seks pelacur menjadi alat penting 
dalam dunia intelijen.  Hasilnya, mengagumkan menurut Sukarno, juga koleganya. 
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan para pelacur itu untuk membantu kaum 
pergerakan nasional. Paling tidak, “aku dapat menyuruh mereka menggoda polisi 
Belanda. Jalan apa lagi yang lebih baik supaya melalaikan orang dari 
kewajibannya selain mengadakan percintaan yang bernafsu dengan dia” Selain 
mengelabui polisi, para pelacur itu bisa juga mengorek keterangan dari polisi 
itu dengan daya goda birahi yang menggetarkan polisi-polisi kolonial. “Dan 
betul-betul ia memperolehnya. Polisi-polisi yang tolol ini tidak pernah 
mengetahui, dari mana datangnya keterangan yang kami peroleh.”  Hal macam ini 
sulit diperoleh dari kader partainya. Selain mengelabui dan mengorek informasi 
dari aparat kolonial, mereka juga menyumbang harta. Karena mereka selalu 
didatangi laki-laki hidung belang yang mencicipi tubuh mereka dengan imbalan 
uang, mereka lebih sering punya uang dibanding anggota partai yang dipimpin 
Sukarno.  “Mereka menjadi penyumbang yang baik apabila memang diperlukan.” 
Sejarah mencatat mata-mata perempuan terbilang efektif dalam mengumpulkan data 
intelijen. Salah satu yang terkenal adalah Mata Hari.  Berhubung kaum moralis 
sudah banyak di zaman itu, maka Sukarno juga sering mendapat kecaman. Ali 
Sastroamidjojo mengeluh dengan sopan ke Sukarno, “Sangat memalukan. Kita 
merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal.” Bagi Ali 
juga “ini melanggar susila.” Suatu kali, Ali juga pernah bertanya alasan 
mengapa Sukarno mengumpulkan 670 orang pelacur. “Sebabnya ialah karena saya 
menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya 
memerlukan tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya persoalannya 
bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya 
jang kuperlukan," kata Sukarno. “Mereka memiliki daya-penarik seperti besi 
berani. Setiap hari Rabu cabang partai mengadakan kursus politik dan 
anggota-anggota dari kaum bapak akan datang berduyun-duyun apabila dapat 
melepaskan pandang pada tentaraku yang cantik-cantik itu.” Bagi Sukarno, bukan 
masalah asusila atau tidaknya pekerjaan seseorang, tapi seberapa bisa menjaga 
rahasia partai. Adalah tanggung jawab besar “untuk membasmi anasir-anasir dalam 
partai—baik laki-laki maupun perempuan—yang tidak bisa menyimpan rahasia.”  
Pelacur di masa pergerakan nasional, bagi Sukarno, bukan musuh pergerakan. 
“Kamipun harus membasmi cecunguk-cecunguk—yaitu orang yang dibayar untuk 
memata-matai partainya sendiri.”  Ketika pelacur-pelacur itu kena razia dan 
dikenakan penjara 7 hari atau bayar denda lima rupiah, Sukarno menyarankan 
mereka memilih penjara ketimbang membayar denda. Para pelacur itu menuruti 
Sukarno. Di dalam penjara, mereka akan berguna bagi Sukarno, “karena penjara 
adalah sumber keterangan yang baik.”  Setelah bebas, seorang kepala penjara pun 
bisa jadi korban keisengan para pelacur itu. Satu dari pelacur itu akan 
mengganggu kepala penjara dan istrinya yang sedang jalan-jalan di malam hari. 
Di hadapan istrinya, si pelacur akan menggoda si kepala penjara. Bagi Sukarno, 
ini adalah perang urat saraf juga: merusak rumah tangga aparat kolonial.  Di 
masa pendudukan Jepang, para pelacur "menolong" Sukarno lagi. Nafsu seks 
serdadu-serdadu Jepang sulit dibendung. Gadis-gadis sipil jelata Indonesia 
banyak yang terancam. Dalam kasus yang ditemui Sukarno, banyak gadis 
Minangkabau terancam dicabuli Jepang. Sukarno pun melirik lagi barisan pelacur. 
Jika dulu di Bandung, kali ini di ranah Minang.  “Semata-mata sebagai tindakan 
darurat, demi nama baik anak-anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, 
saya bermaksud hendak menggunakan layanan (jasa) dari para pelacur di daerah 
ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak 
akan menoleh untuk merusak anak gadis kita,” kata Sukarno.  Tentu saja cara 
Sukarno berkolaborasi dengan para pelacur itu tak bisa diterima sebagian 
kalangan. Serdadu-serdadu terkenal ganas untuk urusan selangkangan. Mengarahkan 
mereka ke pelacuran, dalam pikiran Sukarno, akan menjauhkan mereka dari 
tindakan mengganggu dan memperkosa anak-anak gadis.  Tentu saja tak semua 
perempuan Indonesia terselamatkan dari gerayangan tangan dan nafsu birahi 
serdadu-serdadu Jepang. Banyak perempuan dijadikan pemuas nafsu serdadu-serdadu 
Jepang—yang dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu. Tak semua tokoh masyarakat 
berpikir seperti Sukarno. Jasa para pelacur zaman itu bagi Indonesia seharusnya 
dihargai. Belakangan, ketika potret Sukarno menghias rumah pelacuran, Sukarno 
tidak marah.  "Biarkanlah aku di sana,” katanya.  (tirto.id - pet/msh)

   

    

Kirim email ke