----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: 'Lusi D.' lus...@rantar.de 
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: Harsono Sutedjo 
harsut...@gmail.com [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>Terkirim: Jumat, 4 Mei 
2018 14.41.31 GMT+2Judul: Re: [GELORA45] Obituari - Ir. Djoko Sri Moeljono 
(1938-2018)
     
Bung Har yb.
Tolong sampaikan belasunghkawa kami kepada isteri atau keluarga
terdekat.
Danke.-

Ikut Berdukacita atas Meninggalnya

Bung Ir. Djoko Sri Moeljono

Mengharapkan keluarga yang ditinggalkan tetap tabah
menghadapi peristiwa yang menyedihkan kita bersama.

Lusi sekeluarga.

4 Mei 2018

Am Fri, 4 May 2018 20:12:40 +0800
schrieb "Harsono Sutedjo harsut...@gmail.com [GELORA45]"
<GELORA45@yahoogroups.com>:

> Obituari - Ir. Djoko Sri Moeljono (1938-2018)
> 
> Pada 3 Mei 2018 Ir. Djoko Sri Moeljono (DSM) telah meninggal di
> Jakarta setelah menderita sakit beberapa lama. Ketika masih sehat dia
> aktif menghadiri acara-acara di Kontras, LBH, Komnas HAM, bahkan juga
> ikut acara Kamisan di depan Istana Merdeka. Sebagai tapol dia
> meringkuk di tahanan, kerja rodi dan pembuangan Pulau Buru (Oktober
> 1965-1978).
> Ia termasuk seorang tapol yang mujur dalam arti memiliki kesempatan
> menulis buku harian selama beberapa tahun (1966-1971). Ketika itu ia
> bersama ratusan tapol lain dijadikan romusa modern melakukan kerja
> rodi di daerah Banten dalam proyek Angkatan Darat yang disebut
> ‘Operasi Bhakti Siliwangi’. Kesempatan menulis buku harian merupakan
> barang langka, bahkan suatu kemewahan bagi seorang tapol G30S. Pena,
> kertas, buku, informasi dan perangkat peradaban lain merupakan musuh
> besar bagi rezim penindas Orba jika jatuh di tangan mereka yang
> dianggap lawan politiknya.
> Sebagai tapol ia sadar buku harian yang ditulisnya mengandung risiko
> besar. Dengan demikian ia secara sadar pula menerapkan berbagai kiat
> berkelit. Sebagian catatan itu dibuatnya dalam bahasa Rusia dengan
> huruf Kiril, juga dengan huruf Jawa dalam bahasa Jawa, sesuatu yang
> cukup langka dikuasai orang. Selanjutnya secara berangsur
> dikirimkannya melalui saudara kandung yang menjenguknya untuk disimpan
> bersama buku-buku koleksi miliknya yang sebagian masih dapat
> diselamatkan. Dengan masgul ia mencatat ketika melihat sebuah buku
> tebal kamus teknik miliknya dijadikan ganjal korsi jaksa yang
> memeriksanya, “ia seorang terpelajar bergelar sarjana hukum, tetapi
> belum berbudaya.”
> Ketika menjadi mahasiswa di ITB Bandung, ia memasuki CGMI yang
> digolongkan sebagai mantel PKI dengan pertimbangan sederhana: tidak
> ada perploncoan. Ketika ia memilih studi ke Moskwa dalam jurusan
> metalurgi, hal itu pun dilakukannya dengan pertimbangan lugas, pabrik
> baja pertama Indonesia di Cilegon dengan bantuan dan teknologi Uni
> Soviet. Ia tamat dan pulang ke Indonesia pada 1964, langsung bekerja
> di Pabrik Baja Cilegon. Tidak ada pertimbangan dan semangat politik
> atau ideologi yang menggebu sebagai yang menjadi kecenderungan umum
> masa itu sebagai respons terhadap retorika politik kebangsaan Presiden
> Sukarno. Sekalipun demikian ia tetaplah penuh dengan semangat
> idealisme menimba ilmu yang akan berguna bagi tanahair tercinta.
> Semangat semacam itulah yang terus-menerus dipeliharanya dalam
> bertahan hidup selama 12 tahun sebagai tapol di tahanan, kerja rodi
> dan pembuangan dalam ketenangan dan solidaritas tinggi terhadap sesama
> tapol sebagai yang menjadi bagian watak pribadinya.
> Selepas dari Pulau Buru, di antaranya berdasarkan buku harian dan
> dokumen lain yang masih dimilikinya serta memorinya yang kuat, ia
> menulis buku “Banten Seabad Setelah Multatuli” (Ultimus 2013) dan
> “Pembuangan Pulau Buru” (Ultimus 2017). Tulisan ini sebagian dikutip
> dari Catatan Penyunting (Harsutejo) bertengara 2003. Semoga almarhum
> mendapatkan tempat yang layak. (Harsutejo)


    

Kirim email ke