Dicekal Masuk Indonesia Karena Cornell Paper



 Reporter: Petrik Matanasi
23 Februari, 2018
https://tirto.id/dicekal-masuk-indonesia-karena-cornell-paper-cE6Aa.. 
Orang-orang Soeharto memburu para peneliti Cornell ke AS, minta mereka mengubah 
kesimpulan "Cornell Paper"

Analisis awal soal G30S bikin militer Indonesia murka: peristiwa penculikan 
jenderal lebih menyiratkan konflik internal tentara, bukan oleh PKI.tirto.id - 
George McTurnan Kahin, ahli Indonesia penulis buku legendaris Nationalism and 
Revolution in Indonesia (1952), punya murid-murid bandel di Universitas 
Cornell, yang dianggap kurang ajar oleh Orde Baru.

Mereka adalah Ruth McVey, Ben Anderson, dan Fred Bunnell. Yang paling senior 
adalah McVey, sementara dua nama berikutnya masih berstatus mahasiswa 
pascasarjana. 

Ketiganya sibuk mengerjakan sebuah naskah soal peristiwa G30S berjudul “A 
Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia”. Naskah ini 
rampung pada minggu pertama 1966, atau tiga bulan setelah peristiwa yang 
dijadikan dalih militer bahwa pelakunya adalah Partai Komunis Indonesia.

“Analisis kami untuk sementara berpendapat bahwa penyebab percobaan kudeta bisa 
dilacak balik ke konflik internal dalam tubuh militer Indonesia—bukan PKI 
sebagaimana yang ingin ditegaskan Soeharto dan pengikutnya,” tulis Ben Anderson 
dalam memoarnya Hidup di Luar Tempurung (2016: 86-87). 


Baca juga: Cerita Seputar Para Penculik G30S

Sejak awal McVey, Anderson, dan Bunnell sadar bahwa yang mereka tulis adalah 
analisis awal (sementara) saja. Mereka tak berniat menulis buku laris. Awalnya 
mereka malah berniat merahasiakan naskah itu. Hanya peneliti ahli yang mereka 
percaya saja yang boleh membacanya. 

Ben, yang kelayapan dalam rangka kerja lapangan sebagai peneliti di Indonesia 
antara 1962-1964, punya banyak kawan di Indonesia. Ia khawatir naskah beredar 
luas. 

Dalam Hidup di Luar Tempurung (2016: 87), ia menulis ia “takut orang-orang 
Indonesia lulusan Cornell atau yang dikenal berkawan dengan kami ditangkap, 
disiksa bahkan dibunuh, padahal tak satu pun dari mereka tahu apa yang kami 
lakukan.”

Sialnya, dua bulan setelah rampung, naskah yang kelak dikenal Cornell Paper itu 
akhirnya bocor. 

“Naik pitamlah orang-orang Soeharto dan Departemen Luar Negeri Amerika 
Serikat,” ujar Ben.   

“Ali Moertopo dan Benny Moerdani sempat datang ke Cornell untuk meminta Kahin 
mengubah kesimpulan tersebut,” tulis Tempo (21/11/2011). 

Kahin emoh menuruti keinginan orang-orang Soeharto. Ia memilih menghormati 
pendirian murid-muridnya. Naskah yang terlanjur tersebar itu pun akhirnya 
terbit secara resmi pada awal dekade 1970-an.

Namun, tak ada yang gratis di Indonesia. Kahin terpaksa membayar harga mahal 
demi menghargai kerja keras para murinya. Hingga 1991, Kahin dilarang masuk ke 
Indonesia.

Di Amerika sendiri, Kahin dicap simpatisan komunis oleh senator anti-komunis 
Joseph McCarthy, yang memburu orang-orang yang diduga komunis di AS selama 
1950-an. Selama lima tahun paspor Kahin dicabut. Tentu saja Ben dan McVey juga 
menanggung apes. 

“Mafia Cornell,” demikian Ben menyebut koleganya dari Universitas Cornell, 
akhirnya dilarang masuk ke Indonesia. 

Kahin mendarat di Indonesia pada era revolusi. Semula ia datang untuk 
penelitian, tetapi akhirnya menjadi pembela Indonesia. Dalam Nationalism and 
Revolution in Indonesia, Kahin mengangkat derajat orang Indonesia sebagai aktor 
sejarah. Selain itu Kahin menjadi saksi yang memberatkan kejahatan Belanda 
terhadap bangsa Indonesia. 


Baca juga: Orang Asing di Pihak yang Benar

Dalam Far Eastern Survey yang terbit pada November 1948, Kahin marah soal 
kelangkaan obat-obatan untuk penyakit tropis dan sulitnya kampanye 
pemberantasan buta huruf yang dilakukan Republik Indonesia karena kekurangan 
buku. Ia menuduh Belanda sebagai biang kerok yang melakukan blokade ekonomi 
atas Republik Indonesia sehingga menyulitkan kehidupan rakyat sipil. 

Perlahan, tulisan-tulisan Kahin ikut menentukan perubahan sikap Amerika Serikat 
terhadap konstelasi politik yang terjadi antara Indonesia, yang sedang 
mempertahankan kemerdekaan, dan Belanda yang ingin kembali berkuasa di tanah 
bekas jajahannya.

Kendati sempat dicekal masuk Indonesia, pada 1991 Kahin menerima penghargaan 
Bintang Jasa Pratama dari Menlu Ali Alatas untuk karyanya yang dipandang telah 
"merintis kajian Indonesia di Amerika Serikat." 

 share infografik

Nasib Ben Anderson
Ben tak seberuntung Kahin. "Cornell Paper" membawa kemalangan buat Ben pada 
1972.

Setelah meyakini Kedutaan Besar Indonesia di Washington tak akan sudi 
memberinya visa ke Indonesia, Ben menyambangi Kedubes Indonesia di London. Ia 
menemui Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang saat itu menjabat Duta Besar 
Indonesia untuk Inggris. 

“Sesudah ngobrol ngalor-ngidul tentang peran dia dalam revolusi, dengan sopan 
ia menawarkan diri akan membantu. Saat saya menyebut visa, ia langsung 
mengurusnya,” tulis Ben dalam memoarnya.

Setelah mendarat di Indonesia, ia menemukan salinan koran Badan Intelijen yang 
berisi kecaman atas “empat musuh negara”. Tiga di antaranya harian Wall Street 
Journal (yang membongkar korupsi kakap militer Indonesia), kantor berita TASS 
di Uni Soviet, dan harian Reimin Ribao di Republik Rakyat Tiongkok. Yang 
membuat Ben takjub, Cornell masuk dalam daftar itu.

Seingat Ben, aparat Indonesia butuh waktu dua minggu sebelum mampu mengendus 
keberadaannya di Jakarta. Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta saat itu 
menyarankan Ben untuk tidak berlama-lama di Indonesia. Menurut Wahyu Yudistira 
alias Yudi, salah seorang anak angkat Ben, sisa waktu itu dihabiskan Ben untuk 
jalan-jalan ke Jawa naik Vespa bersama Djuanda, ayah kandung Yudi. 


Baca juga: Karena Vespa Belum Ada Duanya

Setelah dilarang masuk ke Indonesia, Ben sempat berpikir untuk meneliti Sri 
Lanka. Namun, berita kejatuhan diktator militer Sarit Thanom Praphat (yang 
berkuasa sejak 1958), mengalihkan perhatiannya ke Siam alias Thailand. 

Selain Thailand, Filipina juga jadi kajian Ben pada dekade 1970-an dan 1980-an. 
Tak hanya belajar sejarahnya, Ben selalu mempelajari bahasa setempat. 

Meski hanya bisa meneliti di negeri-negeri jiran, Ben tetap menjaga hubungan 
dengan Indonesia. Beruntunglah ia menemukan Ben yang lain, yakni Ben Abel dari 
Ngaju, Kalimantan Tengah—yang terdampar Amerika. Ia juga bertemu kakak beradik 
Benny-Yudi dari Cirebon—yang jadi anak angkat Ben; Pipit Rochijat Kartawidjaja; 
I Gusti Nyoman Aryana alias Komang—yang disebut Ben sebagai "dua mahasiwa 
abadi" di Berlin.

Lewat orang-orang inilah Ben terus merawat hubungannya dengan Indonesia. Lima 
orang itu dianggap Ben mengajarinya banyak hal. 

Bagi Ben, “tak ada yang lebih baik bagi seorang peneliti ketimbang diberkati 
dengan keakraban-keakraban mendalam dan awet … yang kerap jauh lebih berharga 
ketimbang riset sepi di perpustakaan.”

Ben baru bisa kembali ke Indonesia setelah 27 tahun dicekal. Lengsernya 
Soeharto adalah “durian runtuh” bagi laki-laki Irlandia yang doyan buah durian 
ini. Pintu surga bernama Indonesia terbuka lebar bagi Ben. 

Berkali-kali ia mendapatkan kabar bahwa ia tak lagi masuk daftar cekal. Tapi ia 
tetap ragu. Tak ada berita yang mengatakan ia sudah bebas dari daftar cekal. Ia 
ingat pengalaman dipaksa masuk pesawat dan dilarang menginjak Indonesia.


Baca juga: Ben Anderson dan Seekor Katak Terbang

Satu hari murid Ben bernama Burhan Magenda mengonfirmasi kabar baik itu. 
Namanya benar-benar dikeluarkan dari daftar cekal pada 1999. 

“Dia tahu dari Burhan,” kenang Edu Manik, sahabat Ben di Indonesia, yang pernah 
tinggal di rumah Ben di Ithaca. 

Pada Juni 1999, Ben terbang ke Indonesia bersama Yudi, yang sedang libur 
sekolah dan harus mudik ke rumah orangtuanya di Cirebon. Yudi ingat betapa 
keraguan mendekap Ben menjelang pendaratan pesawat di Bandara Soekarno-Hatta.

Sebelum mendarat, Yudi dan Ben mengatur strategi: Yudi akan mengantre di 
belakang Ben. Maksudnya, jika Ben ditolak lagi, Yudi bisa melapor ke ayahnya 
yang menunggu di luar. Yudi sadar orangtuanya tak punya kuasa apa-apa.

Ternyata tak ada pertanyaan macam-macam untuk Ben. Paspornya lekas dicap dari 
petugas. Artinya Ben diterima dan boleh masuk. Ben sumringah.

Apes kecil justru melanda Yudi. Ia sempat ditolak masuk karena mengisi formulir 
dengan pulpen merah, yang dipinjam dari Ben. Padahal Ben juga memakai pulpen 
yang sama. Setelah mengisi ulang formulirnya, akhirnya Yudi bebas dari “jerat 
imigrasi” dan menyusul Ben. 

“Di lorong kami pelukan,” ujar Yudi.

Setelah bertemu Djuanda, sahabat Ben dan ayah Yudi, Ben minta buru-buru keluar 
dari Jakarta sebelum para wartawan mengetahui keberadaannya. Mereka pun kembali 
napak tilas keliling Jawa.

Ben melanjutkan kelayapan-nya di Indonesia yang terputus selama 27 tahun itu.


Baca juga: Mayor Jenderal Magenda dan Penculik Para Jenderal

Setelahnya, dengan leluasa, ia mencari tahu dan berhasil menyimpulkan jika 
Tjamboek Berdoeri—salah satu penulis Indonesia dalem Api dan Bara (edisi 
perdana 1947, terbit ulang pada 2004), yang membuatnya penasaran itu—adalah 
nama pena tokoh pers peranakan bernama Kwee Thiam Tjing. Dengan bantuan 
sahabatnya, Arief Djati, Ben menyunting dan membukukan tulisan-tulisan Kwee 
yang kemudian terbit dengan judul Menjadi Tjamboek Berdoeri (2010).

Bersama Arief pula Ben mewawancarai eks Sersan Mayor Bungkus, salah seorang 
penculik dalam peristiwa G30S. Hasil wawancara itu dimuat dalam jurnal 
Indonesia No. 78 (Oktober 2004). Judulnya: “The World of Sergeant-Major 
Bungkus.” 

Setelah 1999, nyaris tiap akhir tahun, Ben kelayapan di Indonesia. Ia 
menghindari Natal di AS yang sumpek dengan nafsu belanja. Biasanya Ben menyewa 
mobil plus supirnya untuk jalan-jalan. 

Tampaknya juga Ben merasa beruntung: nafas terakhirnya diembuskan di Malang 
pada 13 Desember 2015. 

Baca juga artikel terkait PENELITI ASING atau tulisan menarik lainnya Petrik 
Matanasi 

(tirto.id - pet/win)

Laporan 1: Paranoia di Balik Pembatasan Akses WNA ke Museum TNI 
Laporan 2: Dicekal Masuk Indonesia karena Cornell Paper
Laporan 3: Peneliti Asing dan CIA di Indonesia dalam Pusaran Perang Dingin 
Laporan 4: "Tentara Kerap Menunjukkan Sikap Anti-Intelektual" 
Laporan 5: Indonesia Tak Lagi Seksi buat Peneliti Asing 
Laporan 6: Akses ke Museum dan Arsip TNI adalah Hak Publik 

Kirim email ke