*http://www.panjimas.com/remaja/2018/04/25/feminisme-salah-tempat/
<http://www.panjimas.com/remaja/2018/04/25/feminisme-salah-tempat/>*


*Feminisme Salah Tempat
<http://www.panjimas.com/remaja/2018/04/25/feminisme-salah-tempat/> *

25 Apr 2018

<http://www.panjimas.com/remaja/2018/04/25/feminisme-salah-tempat/>
<http://www.panjimas.com/remaja/2018/04/25/feminisme-salah-tempat/>



*(Panjimas.com)* – Tiap April kita disuguhi barisan cewek dandan. Dari anak
TK sampai nenek-nenek dandan menor pakai kebaya tampil di muka umum. Tiap
April selalu hangat diobrolin sosok R.A. Kartini. Makin ke sini kayaknya
makin besar kritisisme masyarakat. Apa Kartini emang sosok yang paling
tepat sebagai ikon wanita Indonesia, atau sebenarnya ada yang lebih layak
darinya?

Pengungkapan sosok Kartini selalu dikaitkan dengan opini kalo perempuan
Indonesia zaman dulu diposisikan rendah. Bukti sejarah yang ditampilkan
adalah surat-surat Kartini kepada dua perempuan Belanda yang jadi teman
curhatnya. Surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang, dan jadi terkenal banget.

Remaja Muslim nggak selayaknya menelan mentah-mentah opini itu. Di sini
kita bakal mencoba menguak sejarah Muslimah Indonesia zaman dulu.

Kebudayaan adalah hasil kreasi manusia yang dipengaruhi oleh ideologi dan
agama. Hasil penelusuran sejarah menunjukkan kalo kebudayaan di Indonesia
sejak masuknya Islam sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Islam jelas
banget nggak menganggap wanita sebagai makhluk yang hina. Menurut Islam,
laki-laki dan perempuan itu setara. Yang membedakan kemuliaan manusia
bukanlah jenis kelamin, melainkan ketaqwaannya.

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antaramu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Mahateliti.” (al-Hujuraat: 13).

Terhadap laki-laki dan perempuan, Islam cuma membedakan secara proporsional
sesuai fitrahnya. Ngasih hak dan kewajiban  seadil-adilnya.

So, kalo Islam mengajarkan demikian, budaya bangsa Indonesia tentu juga
sejalan. Keliru kalo ada anggapan, pada zaman dulu wanita Indonesia
direndahkan.

Sejarah membuktikan, di zaman Kartini hidup, di Sumatra ada sosok wanita
pejuang pendidikan bernama Rohana Kudus. Muslimah ini mulanya gencar
melawan penjajahan lewat surat kabar yang dipimpinnya. Karena perlawanan
itu, surat kabarnya dibreidel sama Belanda. Tapi ia nggak menyerah, ia
melanjutkan perjuangan dengan mendirikan sekolah. Sekolahnya lebih besar
daripada milik Kartini yang didengung-dengungkan.

Jauh sebelum itu, pada abad ke-16, istri Sultan Iskandar Muda II diangkat
jadi ratu. Kisahnya, waktu itu Sultan wafat, sementara ia nggak punya anak.
Musyawarah menyimpulkan kalo nggak ada sosok lain yang lebih mumpuni untuk
menggantikan Sultan selain sang istri. So, diangkatlah Shafiyatuddin,
istrinya. Pengangkatan wanita jadi kepala pemerintahan saat itu udah
melalui ijtihad ulama. Ulama besar waktu itu adalah ar-Raniri.

Saat memerintah, Shafiyatuddin punya angkatan bersenjata wanita yang
beranggotakan para janda. Panglima besarnya juga wanita, Panglima
Malahayati.

Sementara, pada abad yang sama, perempuan Eropa berada dalam posisi
terhina. Gaji jauh lebih rendah daripada laki-laki, dan mereka nggak boleh
pegang jabatan publik. Kenapa begitu? Sekali lagi, kebudayaan suatu bangsa
dipengaruhi ideologi dan agama. Masyarakat Kristen Eropa percaya kalo Adam
berbuat dosa karena ulah Hawa. So, mereka menganggap perempuan sebagai
makhluk yang merugikan. Bahkan sekte yang ekstrim berpendapat kalo
perempuan adalah makhluk setengah setan, dan akan jadi setan seutuhnya
waktu datang bulan.

Di Eropa, pendidikan buat kaum perempuan baru dimulai pada abad ke-20.
Sebelum itu, perempuan Eropa dipaksakan jadi orang bodoh. Padahal, pada
abad ke-7, di dunia Islam udah lahir sosok-sosok wanita cendikia. Ada
Khadijah radhiyallahu ‘anha yang jadi saudagar besar, ada Aisyah
radhiyallahu ‘anha yang banyak meriwayatkan hadits dalam usianya yang belia.

Jelaslah, penokohan Kartini dengan emansipasinya sarat kepantingan politik.
Ini dijadikan pintu masuk gerakan feminisme di Indonesia. Gerakan yang
mengada-ada. Kalo feminisme di Eropa itu wajar, tapi kalo di Indonesia ya
salah tempat.

So, udah, deh, nggak usah ikut Kartinian lagi!

Wallahu a’lam. [IB]

Kirim email ke