http://politik.rmol.co/read/2016/09/19/261236/Jangan-Hujat-Rakyat-Tergusur- 
http://politik.rmol.co/read/2016/09/19/261236/Jangan-Hujat-Rakyat-Tergusur-

 Jangan Hujat Rakyat Tergusur POLITIK  SENIN, 19 SEPTEMBER 2016 , 16:34:00 WIB 
| OLEH: JAYA SUPRANA


 http://rmol.co/images/berita/normal/621901_04441519092016_Penggusuran.jpg 
Ilustrasi/Net

 
 ADA yang keliru dalam penafsiran makna demokrasi di masa kini. Satu di antara 
sekian banyak makna demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan mengungkapkan 
pendapat. Mungkin akibat  terlalu lama di masa Orba tidak memiliki kebebasan 
berpendapat dan mengungkapkan pendapat maka meledaklah euforia di masa 
Reformasi.

 Sayang setriliun sayang, akibat euforia berlebihan tafsir terhadap kebebasan 
berpendapat dan mengungkap pendapat kemudian  kebablasan menjadi keyakinan atas 
kebebasan menghujat. Kebebasan menghujat makin merajalela-ria dengan hadirnya 
teknologi komunikasi melalui medsos apalagi yang bersifat e-kaleng memungkinkan 
penghujat melakukan penghujatan dengan menutupi identitas dirinya. Penghujat 
leluasa mengumbar nafsu keangkaramurkaan dirinya secara pengecut. 

Di sini, jelas bahwa kadar angkara-murka Adolf Hitler masih di bawah para 
penghujat masa kini. Sebab, Hitler mengumbar nafsu angkara-murka dirinya tidak 
secara pengecut menutupi identitas dirinya. Di dunia politik, mashab saling 
menghujat secara kesatria atau pengecut tampaknya sudah mengaprahkan diri. 
Terutama di masa kampanye pemilihan umum maka amukan badai taufan 
hujat-menghujat mewabah akibat lepas kendali etika bahkan moral. 

Meski jelas buruk, namun tradisi saling menghujat antar para politisi dalam 
kemelut perebutan kekuasaan masih bisa meski dengan susah-payah bahkan 
dipaksakan untuk dianggap beradab sebab para politisi terjun ke gelanggang 
hujat-menghujat atas kemauan mereka sendiri. Yang sulit dianggap beradab adalah 
hujatan yang secara sepihak dihujatkan kepada rakyat tergusur atas nama 
pembangunan. Yang digusur sebenarnya bukan manusia namun bangunan. Bangunan 
termasuk gubuk yang digusur tidak memiliki perasaan sementara rakyat yang 
bermukim di gubuk yang digusur jelas memiliki perasaan. 

Rakyat tergusur lazimnya bukan atas kehendak mereka sendiri maka dapat 
dikatakan bahwa rakyat tergusur adalah bukan pihak yang mengorbankan diri namun 
dikorbankan demi pembangunan. Pemaksaan rakyat tergusur pindah ke rusunawa 
secara paksa tanpa pilihan lain tergolong pelanggaran hak asasi manusia atas 
permukiman.  

Rakyat bukan obyek penggusuran namun subyek pembangunan. Sungguh ironis apabila 
subyek pembangunan yang dikorbankan untuk digusur demi pembangunan malah 
dihujat. Jelas lebih adil dan beradab apabila rakyat tergusur bukan dihujat 
namun dihormati. Apabila rakyat tergusur dianggap tidak layak dihormati 
sebaiknya dibiarkan saja digusur tanpa harus dihujat.   

Hujatan digarap secara terstruktur-sistematis-masif demi menjadi jurus politik 
mematahkan sukma perlawanan rakyat tergusur. Hujatan menjadi senjata 
ampuh-mandraguna untuk menaklukkan rakyat. Sungguh kasihan nasib rakyat yang 
sudah terpaksa mengikhlaskan dirinya digusur di luar kehendak mereka malah 
masih wajib mengikhlaskan dirinya untuk dihujat. Di samping menghujat rakyat 
tergusur ternyata ada pula yang gemar menghujat mereka yang berupaya menolong 
rakyat tergusur seperti Sandyawan Sumardi, Wardah Hafids, Sri Palupi, Daeng 
Mansur serta para pendekar kemanusiaan yang tergabung Ciliwung Merdeka, UPC, 
Forum Kampung Kota, Laskar Luar Batang dan lain-lain bahkan Komnas HAM. 

Mereka yang membela rakyat tergusur dihujat dengan berbagai kreasi benar-benar 
kreatif mulai dari pahlawan kesiangan, melestarikan bahkan menjual kemiskinan, 
makelar tanah, pencitraan, cari popularitas, profokator, pemberontak sampai 
komunis bahkan penjahat alias kriminal.

Maka melalui naskah sederhana yang disebar-luaskan atas budi baik RMOL ini, 
saya dengan penuh kerendahan hati memberanikan diri memohon agar rakyat 
tergusur dan para pejuang kemanusiaan yang membela rakyat tergusur jangan 
dihujat. Apabila hasrat menghujat memang terlalu menggebu maka saya memohon 
agar hujatan jangan dilimpahkan ke rakyat tergusur dan para pembela mereka. 
Lebih senonoh apabila hujatan diarahkan ke diri saya yang sarat beban 
kekurangan, keterbatasan , kekeliruan dan dosa ini maka memang lebih layak 
dihujat ketimbang rakyat tergusur yang sudah cukup menderita digusur atas nama 
pembangunan. [***]

Penulis adalah pemerhati nasib rakyat tergusur

 

Kirim email ke