Jenderal yang Jadi "Dukun" Kepercayaan Soeharto

Reporter: Petrik Matanasi
11 Maret, 2018a.. Di militer, Soedjono banyak mengurusi bagian administrasi..
Soedjono Hoemardani dikenal sebagai jenderal eksentrik. Ia dan Soeharto 
sama-sama menggemari hal klenik.tirto.id - Tak ada jenderal yang punya potongan 
rambut seunik dan sekeren Soedjono Hoemardani. Jauh dari kesan klimis. 
Potongannya mirip Michael Jackson sebelum melakukan operasi plastik. Dengan 
gayanya itu, Soedjono lebih mirip seorang seniman ketimbang jenderal. Meski 
begitu, ia adalah jenderal kepercayaan  Soeharto. Ketika meninggal dunia 12 
Maret 1986, berita kematiannya ditayangkan di TVRI. Di berita itu, terlihat 
bagaimana jenazahnya diiringi pasukan ketika diterbangkan ke Solo dari landasan 
udara. Soeharto dan istri juga ada di sana.

Sedari muda, Soedjono alias Djonit tak jauh dari dunia ekonomi. Setelah lulus 
dari HIS Surakarta, dia sekolah di Gemeentelijke Handels School, sebuah sekolah 
dagang di Semarang. Ayahnya, Raden Hoemardani adalah pedagang di Carikan, barat 
Pasar Klewer, yang memasok berbagai jenis bahan makanan dan pakaian pamong 
serta abdi keraton. Setelah lulus, sekitar tahun 1937, Djonit pulang ke Solo 
untuk mengelola usaha ayahnya, sekaligus jadi anggota merangkap bendahara 
organisasi pergerakan bernama Indonesia Muda. Di zaman Jepang, awal usia 20an, 
dia menjadi fukudanco (wakil komandan) dari keibodan (pembantu polisi).

“Sejak awal karier militernya pada masa revolusi, Soedjono Hoemardani 
ditugaskan mengelola bidang ekonomi dan keuangan. Sebagai anggota Badan 
Keamanan Rakyat (BKR), suatu organisasi keamanan yang kelak berubah menjadi 
Tentara Nasional Indonsia dan berhubungan dengan Badan Penolong Keluarga Korban 
Perang (BPKKP), dia ditunjuk sebagai ketua bagian keuangan BPKKP di sekitar 
Solo,” tulis Michael Sean Malley dalam "Soedjono Hoemardani dan Orde Baru" 
dalam Prisma edisi khusus 20 tahun Prisma Di Atas Panggung Sejarah Dari Sultan 
ke Ali Moertopo (1991:105). 

Di militer dia berkarier sampai jadi jenderal. Namun, dia memulainya dari 
pangkat Letnan Dua, karena ia terhitung orang terpelajar di tahun 1945—saat itu 
hanya sepersepuluh orang Indonesia yang bisa membaca.

Harry Tjan Silalahi dalam buku Soedjono Hoemardani 1918-1986 (1987:16) menyebut 
Soedjono menjadi bendahara di Resimen 27 Divisi IV dengan pangkat Letnan Dua 
dalam kurun 1945-1947. Setelahnya dia naik pangkat jadi Letnan Satu dengan 
jabatan perwira bagian keuangan Divisi tersebut hingga 1949. Tahun 1950, 
pangkatnya naik jadi Kapten. Tahun berikutnya dia dipindahkan ke Semarang. 

Tahun 1957 pangkatnya jadi Mayor dengan jabatan Direktorat Administrasi 
Angkatan Darat (DAMAD) di Bandung. Meski sudah di Bandung, Djonit tetap 
berhubungan dengan orang-orang Diponegoro. Tahun 1961, pangkatnya naik lagi 
jadi Letnan Kolonel dengan jabatan Wakil Deputi III/KSAD.

“Sekalipun dia memantapkan diri di lingkungan militer tetap jiwa 
kewiraswastaannya tidak dengan sendirinya hilang, tapi malah memperluas sudut 
pandang profesinya,” tulis Harry. 

Djonit tak dikenal sebagai perwira tempur, meski dia ikut revolusi kemerdekaan. 
Ia melanggengkan pendapat bahwa tentara tak hanya mengurus pertempuran, 
melainkan juga logistik, administrasi, dan urusan di atas kertas lain.

Sebelum ditarik ke Jakarta sewaktu Soeharto jadi Panglima di Kostrad, Djonit 
adalah perwira administrasi di KODAM Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1957,menurut 
Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:69) 
Djonit pernah ikut berbisnis bersama perwira-perwira lain waktu Soeharto jadi 
orang penting di kalangan tentara Jawa Tengah. Bisnis itu mencakup industri, 
pemasaran, dan transportasi. Bersama Bob Hasan, Soedjono ikut mendirikan 
Pangeran Lines, perusahaan yang bergerak di bidang pengapalan.


Baca juga: Kostrad: Saksi Kecemerlangan Soeharto dan Redupnya Prabowo


Berbisnis waktu jadi tentara tidak sulit bagi Soedjono karena dia pernah 
berbisnis sebelum balatentara Jepang mendarat. Di bidang keuangan, selain 
pernah pernah dikirim belajar ke Fort Benjamin Harisson, Amerika Serikat, 
Soedjono terasah kemampuannya dengan menjadi wakil Alamsjah Prawiranegara di 
Finansial Ekonomi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) antara 1963 hingga 1965.

“Tahun 1966, dengan pangkat Kolonel Soedjono Hoemardani menjadi Pembantu Khusus 
Ekubang/ Waperdam Sospol,” tulis Harry. 

Ketika Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera, dia diangkat menjadi 
anggota Staf Pribadi Urusan Ekonomi Keuangan Presidium Kabinet Ampera merangkap 
anggota DPR-GR dan MPRS. Pangkat Djonit naik jadi Brigadir Jenderal di tahun 
1969 dengan jabatan Asisten Pribadi Presiden Urusan Ekonomi dan Perdagangan. 
Meski terlihat tidak sementereng menteri, Soedjono punya peran penting di dunia 
bisnis Indonesia. Pengusaha-pengusaha Indonesia yang hendak berbisnis dengan 
Jepang harus melewati dirinya. 

“Untuk mendapatkan lisensi dari perusahaan Jepang, selain rekomendasi dari 
Menteri Perekonomian, rekomendasi dari Soedjono Hoemardani sangat penting. 
Sebab, pada tahap seleksi awal, Jepang lebih percaya kepada Soedjono yang 
dianggap sebagai utusan langsung Presiden,” tulis Teguh Pambudi dalam Man of 
Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012:537).


Baca juga: Astra, dari Perusahaan Mati Suri Jadi Raksasa Otomotif

 share infografik

Soedjono Hoemardani, bersama Suryohadiputro dan Alamsyah Ratuprawiranegara 
termasuk jenderal-jenderal yang sering didatangi pengusaha. Mereka, menurut 
Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:66), 
digolongkan sebagai Jenderal Finansial. 

“Di antara mereka yang punya jalur khusus dengan Soeharto adalah Sudjono […] 
konon kata seorang ajudan dialah satu-satunya yang selain ibu Tien boleh masuk 
kamar tidur,” tulis Borsuk dan Chng.

Soedjono sering disebut-sebut sebagai penasehat spiritual Presiden Soeharto.. 
Maklum, ia sering dianggap dekat dengan hal-hal gaib dan klenik. Laki-laki 
dengan pembawaan tenang ini memang dikenal eksentrik. Ada yang menyebut dia 
sering menerima tamu dengan telanjang kaki. Hubungannya dengan Soeharto, konon 
terkait dengan Soediyat Prawirokoesoemo alias Romo Diyat, seorang guru 
spiritual yang pernah bilang pada Soedjono agar menjaga Soeharto karena 
dipercaya akan menjadi orang besar. Baik Soeharto dan Soedjono, mereka berdua 
sering pergi ke tempat-tempat keramat.

Meski banyak yang berpikiran Soeharto berguru pada Soedjono, dalam 
autobigrafinya Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989:441-442) yang disusun 
Ramadhan KH, Soeharto mengaku: “Sangkaan begitu tidak benar. Mengenai ilmu 
kebatinan, Soedjono lebih banyak bertanya ke saya daripada sebaliknya.” 
Soeharto sendiri bilang jika Soedjono pernah bilang: “Saya berguru kepada Pak 
Harto.”

Selain Jenderal Finansial yang suka klenik seperti Soeharto, Soedjono terkait 
dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Bekas Panglima 
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro, pernah bilang 
dalam Soemitro, Mantan Pangkopkamtip: Dari Pangdam Mulawarman Sampai 
Pangkopkamtib (1994:253): Ramadhan KH, Jenderal Ali Murtopo, dan Jenderal 
Sudjono Humardani adalah yang mencari dana untuk menghidupkan CSIS.” 


Baca juga: Antara Jilbab, NKK/BKK, dan Daoed Joesoef

Melihat kedekatannya dengan Soeharto, tak heran jika Soeharto merasa kehilangan 
ketika Soedjono meninggal dunia pada 12 Maret 1986 di Tokyo. Menurut buku Apa & 
Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984:287), pria yang merupakan mertua 
mantan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo ini, ternyata punya saudara-saudara yang 
jadi tokoh. Ada Sardjono Hoemardani, bekas tokoh Partai Murba Jawa Tengah - 
yang tidak pernah terbetik lagi aktivitas politiknya. Juga Sedijono Hoemardani 
dengan titel doktorandus, seorang tokoh tari Jawa di Solo. 

Baca juga artikel terkait SEJARAH TNI atau tulisan menarik lainnya Petrik 
Matanasi 

(tirto.id - pet/nrn)

Kirim email ke