Para monyet kapitalis ---

Ketika monyet mengajarkan konsep uang kepada manusia


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
Ketika monyet mengajarkan konsep uang kepada manusia

Dalam rangkaian eksperimen, monyet-monyet membuat keputusan ‘finansial’ yang 
luar biasa mirip dengan keputusan m...
 |

 |

 |



   
   - 13 April 2018
   
   - Kirim
Hak atas fotoGETTY IMAGES
Dalam rangkaian eksperimen, monyet-monyet membuat keputusan 'finansial' yang 
luar biasa mirip dengan keputusan manusia.

Di sebuah pulau, di lepas pantai Puerto Rico, sebuah eksperimen yang melibatkan 
bangsa kera tengah berlangsung. Hasilnya bisa memberikan kita, manusia, 
pemahaman lebih dalam mengenai ekonomi perilaku, psikologi risiko, dan boleh 
jadi menjelaskan mengapa ekonomi kita mengalami krisis keuangan secara berkala.

Eksperimen ini menjadikan enam monyet Capuchin sebagai responden. Mereka 
masing-masing diberi nama sesuai karakter-karakter dalam film James Bond.
   
   - Fotografer menangkan sengketa foto selfie monyet di hutan Indonesia
   - Pulau ganjil di Indonesia, tempat pertemuan monyet dan hewan berkantung
   - Selama 16 tahun terakhir, setidaknya 100.000 orangutan terbunuh di 
Kalimantan

Sebelum eksperimen berlangsung, keenam monyet tersebut dilatih menukar koin 
logam kecil untuk makanan.

Selanjutnya, mereka ditempatkan di dalam sebuah pasar miniatur. Adapun para 
peneliti bertindak sebagai penjual makanan yang menukar makanan dengan jumlah 
koin yang berbeda.

Salah seorang peneliti adalah Laurie Santos, seorang profesor di bidang sains 
kognitif dan psikologi di Universitas Yale.

"Kami bisa memanfaatkan lokasi itu untuk benar-benar menanyakan, apakah 
monyet-monyet menaruh perhatian terhadap harga? Apakah mereka mencoba untuk 
memaksimalkan koin milik mereka?" jelas Santos.

"Yang kami temukan mengejutkan. Dengan sedikit pelatihan, monyet-monyet 
berbelanja dengan peneliti yang menjual makanan lebih murah. Jadi jika 
monyet-monyet mendapat dua kali lipat makanan dengan satu koin, mereka akan 
berbelanja ke peneliti itu lebih sering," paparnya.

Para monyet juga menunjukkan perilaku mirip manusia, seperti oportunistis. 
Mereka mencoba mengambil koin yang tergeletak begitu saja tanpa diperhatikan 
peneliti.

Ini menunjukkan para monyet menganggap koin sebagai barang berharga.
Image captionPara monyet menunjukkan perilaku mirip manusia, seperti 
oportunistis. Mereka mencoba mengambil koin yang tergeletak begitu saja tanpa 
diperhatikan peneliti.
Bagaimanapun, sikap monyet untuk mengambil risiko yang mungkin memberikan 
pelajaran paling menarik bagi manusia.

Para peneliti mengenalkan elemen pilihan ke dalam eksperimen sehingga 
monyet-monyet bisa bertransaksi dengan satu atau dua manusia.

Seorang peneliti akan memberikan mereka dua bongkah makanan (dalam hal ini 
anggur) setiap seekor monyet menukar koinnya. Pilihan ini tanpa risiko, opsi 
yang aman.

Sedangkan peneliti lainnya memberikan satu anggur atau tiga anggur setiap 
seekor monyet menukar koinnya. Transaksi ini lebih berisiko karena peluangnya 
50-50, bisa saja yang diberikan satu anggur tapi bisa juga tiga anggur.

Dari sudut pandang manusia, contohnya begini. Anda punya pilihan, dijamin bisa 
mendapat US$2.000 atau punya peluang 50% mendapatkan US$1.000 dan 50% 
mendapatkan US$3.000

Berjudi atau tidak berjudi. Opsi mana yang Anda pilih?

Kebanyakan orang memilih opsi paling aman, mengambil US$2.000. Dan itulah yang 
dilakukan monyet-monyet tersebut.

Sejauh ini penjelasannya bisa diterima. Lagipula, monyet dan kera punya 
pertalian yang kuat dengan manusia. Keduanya punya sejarah evolusi yang sama.

Akan tetapi, begitu eksperimennya dimodifikasi sehingga monyet-monyet memiliki 
opsi yang sama namun dengan modal awal yang berbeda, sesuatu yang menarik 
terjadi.

"Ketika monyet masuk, tampaknya dua peneliti memegang tiga (anggur) sehingga 
otak monyet mungkin berpikir 'oh ada kesempatan memperoleh tiga'.

"Peneliti pertama adalah opsi yang aman, dia melakukan hal sama setiap 
saat…monyet bertransaksi dengan manusia ini (dan) dia memegang tiga anggur. 
Namun sebenarnya dia mengambil satu anggur dan memberi monyet dua anggur. Rugi 
dalam jumlah kecil, tapi pasti," papar Santos.

"Peneliti kedua berisiko. Kadang kala dia memberikan tiga anggur kepada 
monyet-monyet, tapi dia juga kadang mengambil dua anggur dan hanya memberikan 
satu anggur."
Image captionKebanyakan orang akan berjudi dan menempuh pilihan yang lebih 
berisiko. Mengejutkannya, monyet-monyet begitu pula.
Mari kembali lihat dengan sudut pandang manusia. Anda punya modal awal 
US$3..000 dan kini Anda punya pilihan. Apakah Anda akan mengambil kerugian 
pasti sebesar US$1.000 sehingga hanya tersisa US$2.000 atau apakah Anda ingin 
berjudi?

Jika Anda berjudi, Anda bisa kehilangan US$2.000 dan hanya tersisa US$1.000.. 
Namun, Anda juga punya peluang tidak kehilangan apapun saat berjudi. Apa yang 
Anda lakukan?

Kebanyakan orang akan berjudi dan menempuh pilihan yang lebih berisiko. 
Mengejutkannya, monyet-monyet begitu pula. Bayangan menderita kerugian begitu 
menakutkan sehingga mereka akan mengambil risiko mengalami kerugian lebih besar 
untuk mendapat peluang tidak kehilangan apapun.

Tatkala saham dan bursa terpuruk atau harga properti ambruk, Anda mungkin 
berpikir khalayak menjadi lebih waspada. Kenyataannya, mereka justru mengambil 
risiko lebih besar. Orang-orang akan tetap memegang saham yang harganya turun, 
dengan berspekulasi bahwa harganya akan meningkat lagi.

Itu karena kita, manusia, takut harta kekayaan kita berkurang. Ini disebut 
membenci kehilangan.

Jika membenci kehilangan tertanam pada diri kita, apa yang bisa kita lakukan?

Profesor Santos berkata bahwa kadang kala masuk akal menemukan cara-cara cerdik 
untuk mendesak orang bersikap berlawanan dengan insting menghancurkan yang 
dimiliki manusia.

Salah satu contohnya, menabung.

"Banyak orang ingin menabung, tapi mengambil uang dari gaji dan menaruhnya di 
rekening tabungan bisa terasa seperti kehilangan," ujarnya.
Image caption"Banyak orang ingin menabung, tapi mengambil uang dari gaji dan 
menaruhnya di rekening tabungan bisa terasa seperti kehilangan."
Untuk mengatasinya, tim peneliti menyusun skema yang membuat uang karyawan 
mengalir secara otomatis ke rekening tabungan setiap ada kenaikan gaji. 
Tabungan ini dapat diakses karyawan pada masa pensiun sehingga karyawan 
tersebut tidak merasa kehilangan.

Ekonom Richard Thaler dan Shlomo Benartzi mencetuskan skema Save More Tomorrow 
(SMarT). Cara ini sederhana tapi cerdas dalam mendesak karyawan menabung untuk 
masa pensiun.

Ada empat langkah dalam skema ini.

Pertama, karyawan didesak bergabung dengan program tersebut jauh sebelum 
program itu dimulai—sehingga tidak ada konsekuensi finansial. Selanjutnya, uang 
baru mengalir ke tabungan pensiun begitu sang karyawan mendapat kenaikan gaji 
sehingga karyawan itu tidak merasa kehilangan gaji yang mereka peroleh saat ini.

Kontribusi ke tabungan meningkat secara berkala, setiap ada kenaikan gaji. Hal 
ini terus berlangsung sampai mencapai batas maksimum yang sebelumnya sudah 
ditentukan. Terakhir karyawan bisa memilih keluar dari skema itu kapan saja.

Langkah terakhir itu dibuat berdasarkan tendensi manusia terhadap bias status 
quo. Dengan kata lain, tidak melakukan apa-apa lebih mudah daripada melakukan 
sesuatu.

Keputusan yang dibuat manusia mengenai uang acap kali terlihat irasional dan 
bisa berujung pada gelembung harga dan kehancuran pasar. Kadang kala kita 
membuat keputusan buruk yang tidak masuk akal sama sekali.

Berkaca pada kondisi itu, mungkin yang digarisbawahi Profesor Santos dan 
'monkeynomics'-nya adalah mungkin ada keanehan pada evolusi alam yang sampai 
sekarang sulit dihilangkan.

Artikel ini dapat Anda baca dalam versi bahasa Inggris berjudul What monkeys 
can teach us about money pada laman BBC Capital

Kirim email ke