Memanen padi tanpa asap di gambut Lamandau
 Minggu, 15 April 2018 12:16 WIB
 
Dokumentasi - Bibit padi di lahan gambut (ANTARA News / Virna Puspa S)

Sudah dua tahun lahan gambut di Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan, 
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng), dan desa-desa lain 
di sekitarnya terbengkalai.

Hal ini terjadi setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang 
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut untuk mencegah kebakaran hutan 
dan lahan dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Petani tidak ada lagi yang berani menanam padi atau berladang karena tidak tahu 
cara bertani selain dengan membakar. Tidak heran produksi beras di desa-desa 
Kotawaringin Barat, bahkan Kalimantan Tengah menurun drastis.

Penyuluh pertanian Dinas Pertanian Kotawaringin Barat di Desa Tanjung Putri 
Purwadi menceritakan bahwa sejak 2010 dirinya bertugas disana produksi beras 
terus meningkat, bahkan selalu surplus. Terutama setelah campur tangan Dinas 
Pertanian Kotawaringin Barat di 2012 yang membantu optimasi lahan rawa dengan 
cetak sawah.

"Bahkan Pak Ruslan (Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Tanjung Putri, 
Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Ruslan Surbakti) bisa beli rumah 
dari hasil jual gabah," kata Purwadi sambil melihat ke arah pria di dekatnya 
yang baru disebutkan namanya.

Kebijakan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) juga berdampak pada anggota 
Kelompok Tani Sejati Muhammad Thamrin (63) dari Desa Terantang, Kelurahan 
Mendawai. Dirinya terpaksa beralih menjadi nelayan tangkap pascakebijakan 
tersebut berjalan.

Pendapatannya pun sangat minim, terkadang hanya kisaran Rp20.000 per hari atau 
bahkan tidak ada sama sekali saat musim menangkap ikan sedang tidak bersahabat. 
Thamrin mengatakan tentu saja pendapatan itu tidak bisa memenuhi kebutuhan 
hidupnya sehari-hari, sementara pendapatan dari bertani benar-benar terhenti.

Sudah pasti bukan hanya Thamrin yang mengalami nasib seperti ini, karena banyak 
pentani lain yang berada di lahan gambut di Kalteng, Kalimantan Barat (Kalbar), 
Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi hingga Riau menghadapi situasi sama.

Kondisi ini yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk bisa menyelesaikan 
persoalan lingkungan berupa bencana kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan 
(karhutla) yang sudah puluhan tahun terjadi, sehingga Indonesia bisa terlepas 
dari status sebagai salah satu negara penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) 
terbesar di dunia.

Namun dalam waktu bersamaan perlu pula dicari cara bagaimana peluang penciptaan 
sumber ekonomi baru untuk memastikan dapur-dapur tetap mengebul di rumah-rumah 
panggung atau apung dari mereka yang hidup di lahan gambut terbuka lebar.

PLTB dengan mikroba
Jumat (6/4), Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Tanjung Putri, Kecamatan 
Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Ruslan Surbakti (36) menunjukkan petak sawah 
dari sekian ha lahan yang dikelolanya.

Tampak lahan gambut berkedalaman sekitar satu meter dengan luasan tidak lebih 
dari 15x15 meter yang siap untuk ditanami.

Namun, menurut pria kelahiran 1982 ini, lahan belum siap ditanami mengingat 
baru 15 hari disemprot dengan dekomposer dari isolat 13 mikroba bernama BeKa. 
Setidaknya butuh lima atau enam hari lagi lahan gambut tersebut siap ditanami 
padi.

Butuh waktu lebih lama, 20 sampai dengan 21 hari untuk menyiapkan lahan dengan 
menggunakan dekomposer mikroba di lahan gambut. Namun, ia mengatakan jika 
dengan cara membakar biasanya masa hanya tanam satu kali tapi dengan 
menggunakan dekomposer mikroba masa tanam bisa dua kali dalam setahun.

Pada panen perdana, Ruslan mengatakan hasilnya mencapai tiga ton gabah kering 
per ha, atau menghasilkan sekitar 1,2 ton beras per ha. Sebenarnya, jumlah 
tersebut juga sama ketika dirinya masih menggunakan teknik membakar untuk 
menyiapkan lahan.

"Cara ini memang lebih lama dan lebih mahal, tapi kita tidak perlu sesak napas. 
Udara sekarang segar, tidak ada asap lagi," ujar Ruslan.

Saat ditanya berapa dana yang dikeluarkan untuk bisa menanam padi dengan cara 
tidak membakar ini, Ruslan menyebut angka Rp7,5 juta per ha. Namun angka 
tersebut untuk penyiapan lahan gambut pertama kali, karena setelah panen tidak 
ada simpukan yang terlalu besar atau tebal yang perlu diurai dengan dekomposer 
BeKa, sehingga dana bisa ditekan hingga Rp3,5 juta per ha.

Menurut Ruslan, biaya tersebut sudah tidak bisa dikurangi lagi, alias harga 
paling murah untuk menanam padi di lahan gambut dengan cara PLTB dengan 
dekomposer dari mikroba.

Sejauh ini, ia mengatakan tidak ada kendala besar dalam menjalankan praktik 
PLTB ini, hanya butuh pengaturan air yang lebih baik pada saluran cacing kanal 
sekunder mengingat lahan yang digunakan adalah lahan gambut pasang surut yang 
jika musim kemarau intrusi air laut semakin kuat dan bisa memicu munculnya hama.

Saat berada di lokasi, Ruslan menunjukkan saluran cacing yang menghubungkan 
petak sawahnya dengan saluran tersier milik Dinas Pekerjaan Umum. Tidak 
terlihat intervensi berarti di sana, hanya beberapa kayu dan bambu yang 
dipasang berjajar seperti sekat.

Sebelumnya penyuluh pertanian Desa Tanjung Putri Purwadi memang mengatakan 
pembukaan lahan untuk pertama kali di area gambut memang lebih sulit dan 
membutuhkan lebih banyak tenaga, waktu dan biaya. Setidaknya setelah tutupan di 
atas lahan yang akan ditanami ditebas butuh disemprot dengan herbisida lebih 
banyak, bisa sampai 15 liter per ha, baru disemprot dengan BeKa dengan 
perbandingan 10 cc dekomposer per satu liter air.

Namun ia mengatakan perbandingan ini sangat dipengaruhi dengan banyaknya 
simpukan -bekas tebasan yang terkumpul untuk dikeringkan, yang perlu diurai 
oleh mikroba. Tebalnya simpukan memakan waktu dan tenaga untuk diurai, terutama 
jika hasil tebasan berupa kayu atau ranting berukuran besar.

Percepat replikasi PLTB
Solusi untuk larangan membakar saat bertani atau berladang sebenarnya sudah 
muncul secara sporadis di beberapa daerah. Karena penggunaan dekomposer BeKa 
ini sebenarnya juga sudah digunakan di Desa Pantik dan Desa Sebangau Jaya, 
Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.

Panen gabah di dua desa yang juga berada di lahan gambut dengan kedalaman 
kategori budidaya tersebut bisa mencapai tiga hingga 4,5 ton per ha.

Namun sejauh ini memang masih lebih banyak hanya sebatas proyek percontohan 
atau pilot project dengan skala luasan kecil. Belum pernah terdengar program 
nasional baik dari Kementerian Pertanian maupun Dinas Pertanian setempat di 
Indonesia yang secara bersama-sama memasyarakatkan pelaksanaan PLTB, padahal 
kebijakan larangan bertani atau berkebun dengan cara membakar lahan sudah ada 
sejak 2016.

Padahal, menurut Direktur Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) Eddy Santoso, 
yang melakukan bimbingan pelaksanaan program Konservasi Ekosistem Nipah dan 
Hutan Penyangga Bagian Timur Suaka Margasatwa Sungai Lamandau sebagai Kawasan 
Pencadangan Hutan Kemasyarakatan yang salah satunya berupa pelaksanaan PLTB di 
Desa Tanjung Putri, sejumlah petani di desa tersebut mencoba menggunakan BeKa 
justru atas petunjuk dari Dinas Pertanian setempat.

Asisten Bidang Perekomian dan Pembangunan Kabupaten Kotawaringin Barat Encep 
Hidayat mengatakan program konservasi yang dilakukan Yayorin dan didanai 
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) tersebut sudah berjalan dua tahun 
di Desa Tanjung Putri dan Desa Tanjung Terantang.

Menurut dia, persoalan yang dihadapi para petani di Kotawaringin Barat memang 
bagaimana menjalankan PLTB dan menghasilkan, mengingat banyak petani di sana 
yang sudah kehilangan mata pencarian setelah larangan membakar di lahan-lahan 
di seluruh Indonesia paskakebakaran besar hutan dan lahan 2015. Karena itu, 
pihaknya akan ikut mengkaji keberhasilan pelaksanaan program yang dijalankan 
Yayorin tersebut.

Ia memang tidak berani mengatakan bahwa replikasi PLTB di Desa Tanjung Putri 
akan segera dilakukan di desa-desa lain di kabupaten tersebut. Namun dirinya 
mencoba menyakinkan wartawan bahwa jika benar hasilnya baikmaka Bupati 
Kotawaringin Barat juga pasti akan mendukung teknik PLTB tersebut berjalan di 
sana.

Bukan tidak ada alasan ICCTF mendanai program mitigasi berbasis lahan dengan 
Konservasi Ekosistem Nipah dan Hutan Penyangga Bagian Timur Suaka Margasatwa 
Sungai Lamandau sebagai Kawasan Pencadangan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten 
Kotawaringin Barat, yang salah satunya juga menyangkut soal replikasi PLTB.

Urusan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditargetkan secara sukarela 
26 persen di 2020, dan 29 persen dan atau 41 persen dengan bantuan pihak lain 
di 2030 sesuatu Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tidak hanya sebatas domain 
sektor lingkungan hidup, kehutanan atau energi. Tapi sektor pertanian juga 
perlu dipikirkan, terlebih penyumbang emisi terbesar di Indonesia sejauh ini 
bersumber dari kebakaran hutan dan lahan.

Jika memang cerita-cerita sukses PLTB sudah bermunculan, lantas kapan replikasi 
besar-besaran akan dilakukan untuk "menghidupkan" ratusan ribu atau bahkan 
jutaan ha lahan yang terbengkalai pascakeluarnya kebijakan larangan membakar di 
area gambut?
  
Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Aditia Maruli Radja

Kirim email ke