Nara Masista Rakhmatia dan Pembohongan Publik Atas Nama Kedaulatan Negara | 
Suara Papua 
http://suarapapua.com/2016/10/07/nara-masista-rakhmatia-dan-pembohongan-publik-nama-kedaulatan-negara/

 
 
 
http://suarapapua.com/2016/10/07/nara-masista-rakhmatia-dan-pembohongan-publik-nama-kedaulatan-negara/
 
 
 Nara Masista Rakhmatia dan Pembohongan Publik Atas... 
http://suarapapua.com/2016/10/07/nara-masista-rakhmatia-dan-pembohongan-publik-nama-kedaulatan-negara/
 Oleh: Naftali Edoway Pembohongan publik (weapon of mass deception) tak kalah 
dahsyatnya dengan senjata pemusnah massal (weapon of mass de...
 
 
 
 View on suarapapua.com 
http://suarapapua.com/2016/10/07/nara-masista-rakhmatia-dan-pembohongan-publik-nama-kedaulatan-negara/
 
 Preview by Yahoo 
 
 
  
 Nara Masista Rakhmatia dan Pembohongan Publik Atas Nama Kedaulatan Negara 
Penulis
 Suara Papua http://suarapapua.com/author/admin/  -

 Oktober 7, 2016 1 
http://suarapapua.com/2016/10/07/nara-masista-rakhmatia-dan-pembohongan-publik-nama-kedaulatan-negara/#comments
 101


 

 
 
http://suarapapua.com/wp-content/uploads/2016/10/24nara-rakhmatia-diplomat-muda.jpg
 Nara Masista Rakhmatia (IST)

 Oleh: Naftali Edoway
 Pembohongan publik (weapon of mass deception) tak kalah dahsyatnya dengan 
senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction). Pembohongan publik itu 
bisa dilakukan oleh siapa saja terutama oleh orang-orang pengaruh atau pun 
pejabat negara melalui pidato, pernyataan, buku dan melalui ketetapan negara 
yang dikeluarkan oleh penguasa. Kebohongan-kebohongan itu dilakukan hanya untuk 
mempertahankan kedudukan, menutupi kebohongan sebelumnya dan menutupi fakta 
yang sesungguhnya.
 ***
 Bulan September tahun 2016 ini menjadi bulan yang mengusik negara Indonesia 
lantaran isu Papua yang semakin memanas di luar negeri, khususnya serangan 
dalam sidang PBB. Dua Presiden dan empat Perdana Menteri dari wilayah Pasifik 
menyoroti pelanggaran HAM di Tanah Papua dan mendukung Papua Barat menentukan 
nasibnya sendiri dalam forum itu.
 Menanggapi itu, Indonesia, melalui diplomatnya, Nara Masista Rakhmatia, 
menjawab semua pernyataan itu. Saya mencatat beberapa poin dari jawaban 
diplomat itu, yakni: 1)  Sorotan para pemimpin negara-negara Pasifik itu 
hanyalah sindiran dan manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris. 2) 
Pernyataan ke enam pimpinan negara Pasifik itu bernuansa politik dalam 
mendukung kelompok separatis yang melakukan serangan teroris bersenjata 
terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan. 3)  Pernyataan para pemimpin 
negara Pasifik itu melanggar Tujuan Piagam HAM PBB dan Prinsip Hukum 
Internasional soal persahabatan antarnegara dan kedaulatan suatu negara. 4) 
Informasi yang diterima oleh negara-negara Pasifik (soal HAM) adalah salah dan 
mengada-ada. 5) Indonesia sudah menjadi Anggota Dewan HAM PBB, telah ikut 
menggagas Komisi HAM antarpemerintah ASEAN dan komisi independen permanen OIC, 
lalu telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM. 6) Indonesia 
adalah negara demokrasi yang berkomitmen tinggi terhadap promosi dan 
perlindungan HAM di semua level. 7) Ada mekanisme domestik di Indonesia dalam 
menyelesaikan persoalan dan pembangunan akan terus dilakukan di Papua dan Papua 
Barat untuk kepentingan terbaik semua.
 Hak jawab dari perwakilan Indonesia itu kemudian mendapat dukungan dari 
berbagai kalangan di dalam negeri. Dukungan itu bermunculan karena anggapan 
bahwa Indonesia telah berhasil menyerang para pemimpin negara Pasifik. Tetapi 
ada juga warga negara Indonesia yang justru mengkritik apa yang disampaikan 
diplomat cantik Indonesia itu.
 Terlepas dari itu, saya sebagai korban (orang Papua) ingin menjawab poin-poin 
pernyataan yang disampaikan perwakilan Indonesia di forum PBB itu.
 Pertama, bahwa apa yang disampaikan oleh para pemimpin Pasifik adalah realitas 
bukan retorika, bukan mengada-ada, dan bukan sindiran belaka. Faktanya, telah 
banyak kasus pelanggaran HAM, misalnya Wamena berdarah, Abepura berdarah, Biak 
berdarah, Paniai berdarah, dan lain sebagainya.
 Kedua, bahwa tidak ada teroris bersenjata di Papua. Yang ada adalah gerakan 
perlawanan rakyat sipil melawan kekerasan negara. Sehingga diharapkan gerakan 
rakyat seperti itu tidak dikriminalisasi.
 Ketiga, isu HAM adalah isu universal yang tak dapat dibatasi oleh kedaulatan 
suatu negara, yang kemudian bisa saja mengesampingkan persahabatan demi 
kemanusiaan.
 Keempat, walaupun Indonesia sudah meratifikasi instrumen HAM internasional, 
pada prakteknya masih saja terlihat praktek pelanggaran HAM dalam semua level 
di Papua. Jadi, meratifikasi instrumen HAM bukan berarti tidak akan mendapat 
kritikan soal HAM.
 Kelima, Jakarta tidak pernah punya niat yang baik untuk menyelesaikan masalah 
Papua. Orang Papua sudah menawarkan dialog, tetapi Jakarta tidak pernah 
menanggapinya. Mekanisme domestik yang digunakan Jakarta dalam menyelesaikan 
masalah justru menambah pasukan organik dan non organik di Papua. Jakarta malah 
melancarkan pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan kemauan dan 
keinginannya yang dikerjakan oleh TNI/Polri. Bahkan, belakangan membentuk tim 
ad hoc yang tidak independen untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM 
di Papua.
 Pembohongan Publik
 Pernyataan Nara Masista adalah pembohongan publik. Pembohongan seperti itu 
pernah juga dilakukan oleh para pemimpin dunia. Bush berbohong kepada rakyat 
Amerika melalui pidatonya, state of the Union, pada Januari 2003. Colin Powell 
berbohong di depan Dewan Keamanan PBB, dan lain-lain.
 Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh diplomat Indonesia dalam sidang 
PBB itu mengulangi beberapa pernyataan yang pernah disampaikan oleh para 
petinggi negara kepada publik melalui media. Pertama, pernyataan disampaikan 
oleh Wakil Presiden Indonesia, Yusuf Kalla, menjawab pernyataan dari pemerintah 
Australia yang menyebutkan Indonesia telah banyak melakukan pelanggaran HAM di 
Papua. Wakil Presiden saat itu meminta negara tetangga itu untuk membuktikan 
sebutan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada Indonesia, karena baginya 
tudingan itu tak berdasar .
 Berikutnya, wakil menteri luar negeri Indonesia, A.M. Fachir, ketika 
menanggapi hasil komunike soal Papua dalam KTT Pacific Islands Forum (PIF) yang 
berlangsung 7-11 September 2015 di Port Moresby, Papua New Guinea,  
menyampaikan beberapa hal: (1) Berbagai tuduhan pelanggaran HAM di Papua sangat 
tidak berdasar. Hal itu merefleksikan pemahaman yang salah terhadap fakta yang 
sesungguhnya. (2) Sebagai negara demokratis, Indonesia sangat menjunjung tinggi 
supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM. Indonesia memiliki mekanisme HAM 
nasional yang berfungsi dengan baik yang belum tentu dimiliki oleh sebagian 
negara PIF. (3) Pembangunan selama ini di Papua berlangsung sangat baik. 
Bahkan, jauh lebih maju dari sebagian negara kepulauan di Pasifik .
 Kebohongan yang lainnya disampaikan oleh Bambang Darmono, dalam sidang Komite 
Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) PBB di Jenewa tanggal 30 April-1 Mei 2014. 
Ketika Bambang yang menjabat sebagai kepala UP4B saat itu ditanya soal 
kemiskinan yang tinggi di Papua, ia menjelaskan bahwa penambahan jumlah 
kabupaten telah mengurangi jumlah kemiskinan. Namun ia tidak menjelaskan jumlah 
masuknya migran ke Papua yang membuat orang Papua terus  berada di tingkat 
kemiskinan yang tinggi dan minim akses pendidikan dan kesehatan .
 Realitas HAM di Papua
 Bagi kami para korban kekerasan negara (Orang Asli Papua), semua pernyataan 
yang dikeluarkan pejabat negara atas nama negara adalah pembohongan publik. 
Barangkali apa yang disampaikan Jennie S. Bev, dalam artikelnya, “Indonesia: 
The land of liars, criminals and frauds?” benar. Mengapa kami katakan Indonesia 
sedang berbohong?
 Pertama, kasus kekerasan negara masih terus terjadi hingga dewasa ini. 
Misalnya, tanggal 8 Desember 2014, anggota TNI menembak mati 4 orang pelajar di 
Paniai, penembakan dan pembunuhan terhadap aktivis di Yahukimo (20/3/2015), 
penembakan terhadap Yoseni Agapa di Ugapuga Dogiyai (26/6/2015),  kasus 
Tolikara yang menewaskan Endi Wanimbo (15) dan melukai 11 orang (17/7/2015), 
penembakan oleh anggota TNI di Timika yang menewaskan Yulianus Okoare (23) dan 
Emanuel Mairimau (23) serta melukai beberapa warga Kamoro, dan kasus lainnya.
 Kedua, hak berdemokrasi orang Papua masih dibatasi oleh negara. Misalnya, aksi 
Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR) mendukung United Liberation 
Movement for West Papua (ULMWP), dalam pertemuan PIF di Port Moresby, 
dibubarkan oleh aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura.
 Ketiga, pembangunan yang memiskinkan orang Papua masih terlihat. Sampai hari 
ini sebagian besar orang asli Papua masih hidup dalam kemiskinan karena 
pembangunan yang tidak memberdayakan. Masih banyak orang Papua yang 
terpinggirkan karena pembangunan yang bias pendatang. Mall dan ruko yang 
dibangun di Papua bukan milik orang Papua. Jalan trans Papua yang dibuka 
dikerjakan oleh TNI/Polri, bukan pengusaha orang asli Papua.
 Akhirnya, pembohongan publik yang dilakukan oleh Nara Masista, dan para 
pejabat negara lainnya adalah penghianatan terhadap konstitusi, hati nurani dan 
nilai-nilai kemanusiaan universal. Semoga kebenaran melucuti kebohongan demi 
kemanusiaan.
 Penulis adalah pengamat sosial di Tanah Papua. Tinggal di pinggiran Numbay.

 

 

Kirim email ke