*Apakah tidak dibuat tunggu peringatan jasa mereka?*

https://tirto.id/pekerja-seks-dalam-revolusi-kemerdekaan-indonesia-cuE1


Pekerja Seks dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia

<https://tirto.id/pekerja-seks-dalam-revolusi-kemerdekaan-indonesia-cuE1>
Pekerja seks di masa pergerakan Indonesia. FOTO/Istimewa

16 Agustus 2017

Dibaca Normal 2 menit

*Rencana brilian yang imajinatif: mengirim pekerja seks ke daerah
pendudukan demi melemahkan mental serdadu Belanda dan jadi mata-mata
Republik.*

tirto.id - Revolusi demi kemerdekaan Indonesia butuh ribuan bedil, dan
untuk mendapatkannya, tak cuma mengandalkan jaringan penyelundup maupun
pedagang Republiken. Ia butuh banyak tangan agar bedil-bedil—serta
pelor-pelornya—itu bisa sampai ke tangan para pejuang yang bergerilya
melawan tentara Belanda.

Suka tidak suka, para wanita tunasusila juga punya jasa dalam perkara
tersebut. Mereka mengambil risiko dan meluangkan waktu untuk membantu para
pejuang bersenjata mendapatkan perkakas revolusi.

Setidaknya, sejarawan Australia, Robert Cribb, dalam *Gejolak Revolusi Di
Jakarta 1945-1949* (1990), mencatat bahwa “senjata- senjata itu diperoleh
dari hasil mencuri, melalui penyelundupan dari Singapura, dengan bantuan
sejumlah wanita tuna susila Senen yang memperoleh senjata-senjata itu dari
para serdadu India.”

Para pelacur itu adalah jaringan lama dari orang-orang yang tergabung dalam
Laskar Rakjat Djakarta Raja. Hal ini terjadi ketika tentara Sekutu, dalam
hal ini Inggris, berada di Jakarta.

Pada masa revolusi, keterlibatan para pelacur bukan hal baru. Pada dekade
sebelumnya, ketika Sukarno masih di Bandung dan belum dibuang, para pelacur
Bandung menolongnya.

   -

   *Baca: Sukarno & Para Pekerja Seks di Masa Pergerakan Indonesia
   
<https://tirto.id/sukarno-amp-para-pekerja-seks-di-masa-pergerakan-indonesia-csQ7>*


Tak heran seorang kolonel eksentrik-*cum*-dokter gigi bernama Moestopo
memanfaatkan para pelacur agar ikut membantu Republik Indonesia. Moestopo
sebelumnya terlibat dalam front pertempuran Surabaya, dan sempat mengaku
menteri sebelum 10 November 1945. Ia akhirnya ditarik ke front barat
sekitar Bandung. Menurut Cribb, “Ia adalah seorang perwira eksentrik tapi
imajinatif.”

   -

   *Baca: Usaha Mempertahankan Surabaya tanpa Komandan Terlatih
   
<https://tirto.id/usaha-mempertahankan-surabaya-tanpa-komandan-terlatih-b3Gw>*


Pertengahan 1946, ketika tentara Sukutu berangsur pergi dari Indonesia dan
tentara Belanda mulai menguat, Moestopo dijadikan perwira Pendidikan
Politik Tentara (Pepolit) di Subang. Ia tiba di sana dengan unit bersenjata
yang tidak biasa—disebut Pasukan Terate.

Terate adalah akronim dari Tentara Rahasia Tinggi. Selain terdiri
taruna-taruna Akademi Militer Yogyakarta, ada pula pelacur dan pencopet
dari Surabaya dan Yogyakarta. Mereka dikerahkan untuk menciptakan kekacauan
dan kebingungan di kalangan serdadu-serdadu Belanda di sekitar Bandung.

Para pencuri dan para pelacur ini, menurut Abdul Haris Nasution dalam *Memenuhi
Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda* (1990), diberi pesan: “Boleh bergiat
di daerah musuh terutama terhadap prajurit-prajurit musuh.”

Itu satu rencana yang cukup brilian, sebetulnya: Pihak Republik berusaha
mengirim penyakit masyarakat ke daerah lawan.

Bekerja di daerah pendudukan Belanda, dalam masa revolusi, agaknya bisa
lebih mendatangkan untung mengingat perekonomian daerah pendudukan lebih
baik daripada daerah Republik. Selain itu, pelacur-pelacur pro-Indonesia
bisa menjadi mata-mata bagi Republik.

[image: infografik pelacur di masa revolusi]



Bagaimanapun, tentara-tentara Belanda yang dikirimkan ke Indonesia adalah
pemuda-pemuda Belanda yang jauh dari pacar atau istri. Mereka butuh
kehangatan dan tak jarang para pelacur jadi penuntasan birahi. Pelacuran di
daerah pendudukan Belanda maupun medan perang lain di dunia adalah efek
dari peperangan juga.

Kesulitan bahan makanan dan sumber uang membuat banyak perempuan rela jadi
pelacur. Mengutip kesaksian seorang mantan veteran tentara Belanda di
Indonesia, Frans Bentschap Knook: “Ketika kami memasuki kota dengan truk
militer berkapasitas tiga ton, di sana-sini terdapat perempuan yang sudah
siap bercinta dengan tentara-tentara Belanda.”

“Tetapi Kami sudah mendapat peringatan, dan takut setengah mati akan dampak
perkencanan itu,” ujar Knook, sebagaimana dicatat dalam *Serdadu Belanda di
Indonesia 1945-1950* (2017) yang disusun Gert Oostindie.

Veteran lain, Jan Toledo, berkata: “Sewaktu masih dalam pendidikan, kami
melihat beberapa film tentang penyakit-penyakit yang mengerikan. Waktu itu,
saya masih begitu hijau sehingga mengira bahwa kami bisa tertular dengan
penyakit-penyakit itu dari setiap perempuan.”

Tarif pelacur-pelacur itu, menurut veteran tentara Belanda lain lagi, hanya
sekitar 25 sen.

Selain takut karena menderita penyakit kelamin, Polisi Militer Belanda
mengawasi serdadunya yang memakai jasa pelacuran. Namun, ada saja serdadu
yang bercinta dengan pelacur di daerah pendudukan. Larangan dan ketakutan
serdadu-serdadu itu terlupakan begitu kebutuhan akan tubuh perempuan
menguat dalam benak mereka.

Sialnya, ide “Moestopo tersebut kemudian ternyata menjadi ibarat senjata
makan tuan. Karena adanya pelacur di front itu menyebabkan prajurit kita
yang kesepian di front terkena getahnya, terkena wabah penyakit kotor,”
tulis Moehkardi dalam *Pendidikan Perwira TNI-AD di Masa Revolusi* (1979).

Selain itu, Nasution juga menerima laporan: “Ada taruna Akademi Militer
Nasional kita yang sedang praktik di front menjadi korban dari wanita tuna
susila itu.”

Penyakit kelamin itu harusnya menghinggapi pemegang bedil Ratu Belanda.
Kekeliruan fatal Kolonel Moestopo yang eksentrik dan imajinatif: ia tidak
memisahkan daerah operasi pelacuran dan terkesan mencampurkannya.

Jika Moestopo jadi sasaran kesalahan mengirimkan pelacur-pelacur itu
menyusupi daerah pendudukan, di sisi sebaliknya, membiarkan para pekerja
seks terus beroperasi di daerah Republik pun tak terlalu baik bagi
pendukung Republik yang kebanyakan menganggap mereka hanya sebagai penyakit
masyarakat.


Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA
<https://tirto.id/q/sejarah-indonesia-dwA?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
<https://tirto.id/author/petrikmatanasi?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>

(tirto.id - Humaniora)

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam

Kirim email ke