Politik Romantisisme GBHN

Oleh :


       A. Ahsin Thohari

Rabu, 14 Agustus 2019 07:05 WIB

Keinginan untuk menghidupkan kembali haluan negara model GBHN merupakan pekerjaan yang diseriusi oleh MPR.Keinginan untuk menghidupkan kembali haluan negara model GBHN merupakan pekerjaan yang diseriusi oleh MPR.

*A. Ahsin Thohari*
/Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta/

Sejumlah partai politik berencana memperkuat kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Meskipun ide ini terlihat absurd di tengah transformasi ketatanegaraan yang bergerak menuju penyebaran kekuasaan secara horizontal, pengusung ide ini berkeras mengegolkannya melalui amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945. Tak hanya itu, dukungan pengusung ide ini terhadap calon Ketua MPR 2019-2024 juga dikaitkan dengan komitmennya atas amendemen itu.

Tak bisa dimungkiri, negara modern membutuhkan perencanaan pembangunan yang cermat, komprehensif, dan terukur. Begitu pentingnya perencanaan pembangunan itu dilakukan oleh sebuah negara, sehingga keberhasilan dalam merumuskannya akan memuluskan jalan bagi tercapainya tujuan negara. Sebaliknya, kegagalannya akan membuat jalan untuk mencapai tujuan tersebut terjal dan berliku.

Saking pentingnya perencanaan pembangunan, sampai-sampai salah seorang tokoh pendiri Amerika Serikat, Benjamin Franklin, pernah berujar, "If you fail to plan, you are planning to fail," (Gold dan Mindset, 2015). Gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan.

Dalam praktik ketatanegaraan kita pada masa akhir Orde Lama, Orde Baru, dan awal-awal reformasi, perencanaan pembangunan dimaktubkan dalam GBHN, yang merupakan kewenangan MPR dengan produk hukum Ketetapan MPR. Beberapa GBHN yang pernah menjadi panduan pembangunan kita adalah Manifesto Politik RI sebagai GBHN 1960 (yang kemudian berubah nama menjadi Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana), GBHN 1973, GBHN 1978, GBHN 1983, GBHN 1988, GBHN 1993, GBHN 1998, dan GBHN 1999.

Dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan bahwa MPR berwenang menetapkan UUD dan GBHN. Rumusan ini ada semata-mata karena kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang dikukuhkan dengan Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 juncto Tap MPR Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar-Lembaga-lembaga Tinggi Negara.

Soepomo mengistilahkan kedudukan MPR seperti ini sebagai penyelenggara negara tertinggi sekaligus pemegang kuasa negara tertinggi (die gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan implikasi dianutnya prinsip supremasi parlemen yang menempatkan parlemen sebagai entitas pemegang kedaulatan absolut. Prinsip ini tentu saja meniadakan pemisahan kekuasaan dan meniadakan dimungkinkannya uji materi undang-undang produk parlemen oleh peradilan (judicial review).

Namun, setelah perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Predikat hukum "supremasi MPR" telah beralih bentuk menjadi "sistem saling mengawasi dan mengimbangi" (checks and balances system) di antara masing-masing lembaga negara yang berada di cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Walaupun MPR tetap berwenang menetapkan UUD, lembaga itu tak lagi berwenang menetapkan GBHN.

Saat ini, MPR juga tak lagi berwenang memilih presiden dan wakil presiden seperti diatur dalam Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 sebelum perubahan. Sebab, Pasal 6A ayat 1 Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanatkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan sebagai konsekuensinya, tak bertanggung jawab kepada MPR.

ADVERTISEMENT

Sebagai sebuah nama, GBHN memang telah tiada. Namun perencanaan pembangunan tetap eksis dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai landasan perencanaan pembangunan nasional untuk menggantikan GBHN. Bahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 berfungsi sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap selama 20 tahun.

Maka, amat berlebihan menyatakan bahwa sekarang ini kita telah kehilangan haluan negara. Malah, kita telah memiliki dokumen hukum di bidang perencanaan pembangunan yang memadai dan tinggal dilaksanakan. MPR juga tak perlu diberi kewenangan untuk menetapkan GBHN lagi karena lembaga itu sejatinya sekadar sidang gabungan (joint session) antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

Keinginan menghidupkan kembali GBHN hanyalah ekspresi politik romantisisme masa lampau. Jika sekarang ini perencanaan pembangunan nasional dianggap belum maksimal menjawab tantangan besar, bisa dicari solusinya tanpa reinkarnasi GBHN. Cukup revisi saja dua undang-undang mengenai perencanaan pembangunan tadi.




---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com

Kirim email ke